Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Mimi Ito: Pentingnya Literasi Digital untuk Anak

Mimi Ito: Pentingnya Literasi Digital untuk Anak

Oleh: Melekmedia -- 16 September, 2012 
Tentang: , , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Mimi Ito: Pentingnya Literasi Digital untuk Anak

Mimi Ito

Mizuko Ito atau akrab dipanggil Mimi Ito, adalah seorang antropolog kebudayaan yang meneliti mengenai media baru. Ia pernah terlibat penelitian tentang bagaimana anak-anak (dan remaja) belajar dari electronic games, media sosial, dan produksi media digital. Kesimpulannya, literasi digital sangat penting untuk anak.

Ia baru saja menyelesaikan Digital Youth Project, sebuah studi yang didukung oleh MacArthur Foundation tentang bagaimana generasi muda memanfaatkan media baru (internet). Pada September 2010, ia ditunjuk sebagai Ketua di John D. and Catherine T. MacArthur Foundation, untuk urusan Digital Media and Learning.

Di awal wawancaranya dalam video di bawah tulisan ini, ia mengajukan beberapa pertanyaan kunci yang menarik untuk kita renungkan. “So, my question is this: Why do we assume that kids’ socializing and play is not a site of learning? And, on the flip side: Why do we assume that schools can’t have a spirit of entertainment and play as part of what they are doing?”

Mimi mempertanyakan mengapa kita berasumsi bahwa saat anak-anak bersosialisasi atau bermain, tidak dianggap sebagai tempat mereka belajar sesuatu? Pun sebaliknya, mengapa kita berasumsi sekolah “tak bisa” dianggap sebagai tempat hiburan dan bermain bagi anak?

Membangun literasi digital ala anak

Menurut Mimi, aktivitas anak-anak sekarng dengan teknologi digital tak jauh berbeda dibandingkan dengan generasi lama. Ketika anak sekarang bersosialisasi melalui media online, sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan di dunia nyata.Apa yang dilakukan anak di ranah daring bisa dikategorikan pula sebagai “aktivitas belajar”.

Mereka belajar keterampilan yang kompleks seperti berkomunikasi dengan publik, bahkan memproduksi media di ranah daring. Ketika terlibat percakapan di media sosial, sebenarnya mereka belajar cara berkomunikasi yang baik, sebaliknya tentang cara-cara yang tak diterima.

Selain itu, banyak topik di media daring yang menjadi sumber pembelajaran mereka saat ini, dan tampil dengan sangat menarik. Teknologi audio visual, cukup mendominasi konten di internet saat ini.

Pertanyaan kedua, bagaimana sekolah bisa mengadopsi ekosistem yang dibuat oleh media daring? Mampukah sekolah membangun ekosistem yang menyenangkan seperti ketika anak terlibat di dunia maya? Ini tantangan besar yang harus dijawab sekolah.

Cara pandang terhadap aktivitas anak-anak sekarang dengan teknologi digital harus diubah, dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Dunia maya jangan terlalu dicurigai sebagai penyebab segala keburukan yang terjadi pada anak.

Dalam situsnya, Ito menjelaskan bahwa studi mereka menunjukkan banyak alasan untuk berharap dunia maya dapat membelajarkan anak-anak dalam hal bersosialisasi, partisipasi, dan belajar berbasis kebutuhan dan ketertarikan individu.

Mereka juga melihat bahwa anak-anak sekarang belajar tentang skil yang kompleks dari dunia maya, seperti membuat dan menyebarkan konten digital, terlibat dalam aksi sosial, dan mendalami pengetahuan tertentu.

Di sisi lain, muncul kekhawatiran karena tidak semua anak mendapat privilese mengakses internet. Bukan saja dalam hal akses terhadap infrastruktur, tetapi dalam hal kemahiran menggunakan teknologi di dunia maya. Ini akan membuat jurang antar-anak segenerasi.

Inilah mengapa, literasi digital anak menjadi sangat penting. Tidak semua anak dapat menikmati kemewahan di internet untuk hal-hal positif, seperti memproduksi media digital, atau mempelajari pengetahuan baru. Tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan literasi digital yang cukup, anak-anak rentan jadi incaran predator.

Perlu dukungan orang tua

Bagaimana sebaiknya orang tua menyikapi perkembangan ini? Semua anak pada dasarnya tak suka kalau dunia mereka diintervensi orang dewasa. Bayangkan kalau anak-anak muda yang nongkrong ditemani orang tuanya.

Analogi yang sama berlaku di media sosial, ketika akun anak dan orang dewasa (orang tuanya) menjadi setara. Apakah lazim bila orang tua menjadi “teman” mereka di Facebook? Atau di Twitter?

Mungkin iya, tetapi sebaiknya tidak. Ketika ada akun orang dewasa terlibat dalam percakapan di Facebook anak-anak, akan menimbulkan ketidaknyamanan di antara mereka. Orang tua sebaiknya tahu menjaga jarak, cukup mengamati, dan mendiskusikannya tidak di ruang publik.

Berikan kepercayaan secukupnya pada anak untuk belajar terlibat di dunia maya secara sehat. Kepercayaan yang cukup akan mematangkan kemampuan literasi digital anak.

Persepsi umum saat ini, orang dewasa menganggap aktivitas anak-anak di depan komputer (daring) adalah pemborosan waktu yang sia-sia. Persepsi ini, menurut Ito, sama persis ketika generasi lama menganggap bermain itu sia-sia, dan lebih baik anak-anak itu mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Perbedaan persepsi antara orang dewasa dengan anak dalam pemanfaatan teknologi daring sebaiknya dibereskan, agar media baru ini bisa berguna bagi mereka. Bagaimanapun, belajar dari media baru di internet adalah salah satu bentuk pendidikan informal, yang seharusnya sejalan dengan pendidikan formal di sekolah.

Selamat menyimak videonya.

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.