Beranda  »  Tata Laksana   »   Mengawal Periklanan lewat Etika Pariwara Indonesia

Mengawal Periklanan lewat Etika Pariwara Indonesia

Oleh: rahadian p. paramita -- 10 Februari, 2010 
Tentang: , , , ,  –  2 Komentar

Pariwara Indonesia, sudah berulang kali menjadi sorotan. Kode etik periklanan sudah dibuat, tapi implementasinya boleh dibilang masih setengah hati. Dari web PPPI, kode etik ini pernah disempurnakan dan disosialisasikan ulang pada tahun 2006, setelah tahun 2005 diresmikan.

Sosialisasi substansi Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang merupakan penyempurnaan kedua terhadap kitab Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, dilakukan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) pada tanggal 10 Mei 2006 di Tiara Room, Hotel Crown Plaza, Jakarta.

Berikut kutipan dari web PPPI Official Website tentang proses/jejak langkah penyempurnaan Etika Pariwara Indonesia (EPI):

Para Panelis terdiri dari Hery Margono – Ketua Hukum dan Perundang-undangan Pengurus Pusat PPPI 2005 – 2008, serta Ridwan Handoyo – Ketua Badan Pengawas Periklanan 2005 – 2008, dan Baty Subakti- Ketua Badan Pengawas Periklanan 2002-2005, dikawal moderator diskusi Ricky Pesik, Sekretaris Umum Pengurus Daerah PPPI DKI.

Di hadapan para peserta yang terdiri dari praktisi periklanan, pengiklan serta para mahasiswa dan dosen komunikasi periklanan, Narga S Habib, Ketua Umum PPPI membuka kegiatan ini dengan mengingatkan pentingnya penegakan etika periklanan di kalangan perusahaan periklanan para anggota PPPI, demi kepentingan masyarakat seluas-luasnya.

Sosialisasi ini merupakan akhir proses setelah dilakukannya dua kali uji publik terhadap penyempurnaan tatanan etika periklanan oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI), sejak Juli 2005 lalu.

DPI beranggotakan: PPPI, Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Assosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Serikat Pekerja Surat Kabar (SPS), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI); kemudian menyepakati sebutan tatanan etika periklanan Indonesia baru, yaitu: Etika Pariwara Indonesia (EPI).

Beberapa penyempurnaan dirasa perlu mengingat lompatan teknologi komunikasi dan informasi dalam globalisasi, yang mengakibatkan konvergensi media serta kebutuhan berkampanye pemasaran terpadu yang secara signifikan mempengaruhi munculnya bentuk-bentuk jasa dan metode baru dalam berprofesi dan berpraktik usaha.

Kalau kita baca secara teliti, lalu kita coba cocokkan dengan fakta di lapangan, jangan heran kalau masih banyak penyelewengan terhadap kode etik ini. Lalu kita harus bagaimana?

Kode etik ini seharusnya ditegakkan oleh Dewan Periklanan Indonesia, yang sampai saat ini belum terdengar kabarnya. Ketika dicoba mencari kata kunci Dewan Periklanan Indonesia di mesin pencari di internet, kami tidak temukan apa-apa.

Maka, salah satu yang ingin kami sarankan adalah laporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia, melalui form pengaduan di alamat ini: Pojok Aduan KPI.

Pemutakhiran

DPI telah terbentuk, bahkan kini sudah punya webesitenya sendiri. Di sana dijelaskan Dewan Periklanan Indonesia (DPI) adalah lembaga independen dan nirpamong (non-government) yang didentuk oleh komunitas periklanan Indonesia.

Secara resmi DPI berdiri sejak tanggal 17 September 1981, bertepatan dengan diikrarkannya untuk kali pertama Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (KTKTCPI). Pengikrarkan tersebut dilakukan di hadapan Menteri Penerangan RI oleh tujuh asosiasi dan satu yayasan. Mereka mewakili pengiklan, perusahaan periklanan, dan media.

Selama kurun 1999-2005 BP3 ikut berperan sebagai nara seumber, penengah atau saksi, dalam beberapa kasus besar yang melibatkan baik pihak biro iklan, maupun pengiklan dan media. Kasus-kasus ini adalah:

  • Penyidangan perkara gugatan hukum terhadap Anlen dari Frisian Flag yang iklannya di media cetak dianggap telah merendahkan produk pesaingnya Dancow produksi Nestle.
  • Somasi terhadap produsen-produsen rokok oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dimotori oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga ini menganggap iklan-iklan rokok sudah terang-terangan melanggar etika maupun hukum posiitif terkait periklanan produk tembakau. Ini sebenarnya somasi kedua oleh YLKI terhadap produsen rokok. Sebelumnya YLKI juga menyomasi perusahaan rokok Bentoel yang menjadikan remaja sebagai pasar sasaran.
  • Extra Joss vs Enerjos. PT Bintang Toedjoe sebagai pemilik merek Extra Joss menggugat PT Sayap Mas Utama sebagai pemilik merek produk pesaingnya, Enerjos. Gugatan, menurut penggugat, didasarkan pada dugaan adanya itikad Enerjos untuk mendompleng popularitas Extra Joss yang sudah dikenal masyarakat dan 10 tahun lebih dulu terdaftar di Direktorat Jenderal HAKI.
  • Oli Top 1 vs ASPELINDO (Asosiasi Produsen Pelumas Indonesia). Asosiasi ini mengajukan keberatan kepada BP3 tekait isi iklan perbandingan pelumas Top 1. ASPELINDO menganggap iklan tersebut menyesatkan dan bertentangan dengan TKTCPI, maupun hukum positif dalam UU Perlindungan Konsumen.

Lihat dokumen EPI yang telah diperbarui (2020) di sini.

Artikel lain sekategori:

2 Komentar untuk “Mengawal Periklanan lewat Etika Pariwara Indonesia”

  1. Jefri dika chandra

    Saya boleh bergabung???

  2. prajnamu

    Silakan. Tinggal klik Register, dan seterusnya… Selamat datang di komunitas media literasi…

    Salam!