Meski durasinya cenderung singkat dibandingkan total durasi film horor, adegan jumpscare sukses bikin merinding. Tidak hanya lewat gambar, bunyi-bunyian pun dipakai meneror.
“Aaaaa!” Perempuan itu berteriak. Tubuhnya terlonjak sembari telapak tangan menutup kedua mata. Air mata pun mulai menitik saking ketakukan.
Alih-alih berempati, empat kawan di samping perempuan itu justru menyuruhnya diam dan menghentikan tangis: “Lebay. Sudah enggak usah menangis. Mainkan lagi filmnya!”
Dorothea Verdiani (21) tengah menonton film Danur (2017) bersama empat kawannya menggunakan laptop RoG berukuran 15,6 inch di sebuah rumah di bilangan Tangerang Selatan, awal Mei 2019 lalu. Mereka sedang menelisik jumpscare dalam film.
Rambut panjang berantakan, muka pucat, gigi tak beraturan dan kotor sang tokoh, sukses menerornya. Potret hantu bergaun pendek selutut di film besutan Awi Suryadi itu membekas di ingatannya.
“Saya trauma. Enggak mau lanjutin nonton film (Danur). Selama-lamanya saya tidak akan menonton film horor lagi, dibayar juga ogah,” ujar mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara itu, saat mengingat peristiwa tersebut.
Selang beberapa menit, Asih kembali muncul dalam pantulan bayangan di cermin bersama seorang anak kecil. Kali ini dia lebih agresif–berusaha mencoba keluar dari cermin dan menerkam Risa, aktor perempuan dalam film tersebut.
Denny, yang saat itu tengah menonton bersama Dorothea, ikut meloncat, kena efek jumpscare. Tangannya mengepal. Wajahnya meringis. Lalu beringsut mundur. “Ngeri banget,” ujar Denny sambil menggerakkan kedua tangannya pertanda jeri.
Dorothea, Denny, dan tiga teman lainnya terpaksa harus melawan ketakukan hingga akhir film. Kemunculan jumpscare—adegan mengagetkan dalam film horor yang tak diprediksi penonton—jadi bahan utama tulisan ini.
Tak hanya Danur, adu kejut versi visual dan audio juga dilakukan di dua film lainnya, yakni Pengabdi Setan (2017) dan Jailangkung (2017).
Ketiga film dipilih lantaran paling banyak ditonton selama 10 tahun terakhir. Data filmindonesia.or.id, Pengabdi Setan mencatat rekor 4.206.103 penonton, sementara Danur yakni 2.736.391, dan Jailangkung mencapai 2.550.271 penonton.
Meski demikian, adegan menakutkan ini bukan berarti ukuran prima sebuah film horor. Ada pula yang irit menampilkan jumpscare. Dalam hitungan situs Where’s The Jump, misalnya, 14 adegan mengagetkan dalam film sudah terhitung banyak.
Hitungan itu ditemukan pada film A Quiet Place (2018). Sedangkan dalam Annihilation (2018), terhitung hanya ada 4 jumpscare. Film lokal Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018), adalah contoh lain film horor yang tetap seram meski minim jumpscare.
Adegan ngeri juga dari bunyi
Meski adegan ngeri bikin jantung bak mau copot ini menyisakan memori tersendiri, durasinya jauh lebih singkat dibandingkan total durasi film.
Dari ketiga film horor tersebut, rata-rata kemunculan jumpscare selama tiga detik. Setelah itu, penonton diberi jeda sebelum dihadapkan dengan jumpscare yang lain.
Pada film Pengabdi Setan besutan Joko Anwar, total durasi jumpscare hanya 106 detik dari 107 menit. Namun, pembagian jumpscare ke dalam beberapa babak membuat penonton tak menyadari pendeknya durasi jumpscare yang dilihat dan didengarnya.
Begitu pula pada Danur yang memiliki durasi jumpscare 32 detik dari 78 menit, dan Jailangkungyang memiliki durasi jumpscare 25 detik dari total durasi film 86 menit.
Durasi yang singkat sudah cukup membuat emosi bak roller coaster. Perpaduan gambar dan suara yang memekik tajam menjadi bumbunya. Misalnya, kemunculan mendadak para hantu, dentam pintu dibanting, gemerincing benda-benda jatuh, suara lonceng yang identik pada Pengabdi Setan, atau kursi goyang ala film Danur.
Pada ketiga film, ada pola yang sama: mayoritas jumpscare ditandai dengan kemunculan hantu atau tokoh secara tiba-tiba. Seperti di film Pengabdi Setan, sosok hantu yang berwujud dua sosok di dalam kamar sukses membuat bulu kuduk berdiri kaku.
Latar suara juga berperan penting menambah kengerian, seperti suara teriakan, jeritan tokoh, atau bunyi-bunyian dari benda mati. Tinggi rendahnya pekikan suara ditandai dengan kenaikan desibel (dB) ketika jumpscare hadir.
Semakin tinggi suara yang dihasilkan, maka semakin menyeramkan.
Kenaikan suara tertinggi terdapat pada film Pengabdi Setan, yakni sebesar 33 dB. Pekikan ini terjadi pada adegan Bondi (tokoh anak kecil) yang tiba-tiba muncul saat Ian (adiknya) sedang buang air kecil di dekat sumur.
Mulanya suasana gelap, hampir tanpa cahaya. Nihil suara. Tiba-tiba, Bondi muncul diiringi suara piano berdenting kencang. Suara itu memunculkan intensitas tertinggi yang mengagetkan penonton.
Kenaikan audio tertinggi pada film Danur terjadi dalam adegan Asih yang tiba-tiba melintas di samping Risa tanpa sepengetahuannya. Inilah pertama kalinya penonton melihat sosok Asih dalam film tersebut.
Hal serupa terjadi di film Jailangkung. Kenaikan audio tertinggi terjadi ketika Sarah, almarhum ibu dari kedua tokoh utama, tiba-tiba muncul pertama kalinya saat dipanggil sang ayah melalui Jailangkung. Adegan ini menggambarkan awal mula kedatangan tokoh hantu Matianak dalam film tersebut.
Momen lompatan audio tertinggi ketiga film memberikan pengalaman jumpscare tidak melalui sosok hantu. Alih-alih, pekikan tinggi ini menjadi pengantar menuju konflik kemunculan hantu.
Kemunculan Sarah pada rekaman yang ditemui di rumah tersembunyi pada film Jailangkung memberikan gambaran latar belakang kemunculan Matianak sebagai sosok utama yang siap menghantui penonton.
Bukan sekadar mengagetkan penonton
Jumpscare tidak tiba-tiba muncul. Untuk membangun drama dan ketakutan, mesti ada pengaturan waktu kemunculan jumpscare. Pun, agar menarik penonton, jumpscare perlu didukung dengan latar cerita yang kuat.
“Membangun jumpscare itu kan sebenarnya membangun tensi. Harus ada set up, kemudian brighten period, kasih dulu diam sebentar, dan baru punch line atau jumpscare,” ujar penulis naskah film Jailangkung, Baskoro Adi, ketika ditemui.
Pengamat film sekaligus praktisi di Festival Film Indonesia, Lulu Ratna, mengungkapkan film horor tetap perlu memiliki kerangka cerita, penokohan, dan situasi yang baik.
Penjelasan informasi dasar harus digambarkan. Misalnya, mengambil gambar bingkai foto untuk menunjukkan kedekatan antara tokoh utama dengan sosok hantu dan hal kecil lainnya.
Terkadang, hal ini yang membuat film Indonesia kalah populer dengan film Hollywood. Kebanyakan film Hollywood memberikan informasi dasar yang berangkat dari logika dan memberikan kejelasan alur sejak awal, tidak lompat-lompat.
“Informasi soal karakter utama biasanya juga sering tidak lengkap. Misalnya, ada orang yang logis dan tiba-tiba ketakukan, (kalau tidak dijelaskan), itu tiba-tiba seperti loncat jadi psikologi filmnya tidak ada. Kurang digarap,” ujar Lulu ketika ditemui.
Selain itu, perlu mengambil ide cerita yang dekat dengan kultur mistis orang Indonesia agar mudah diterima masyarakat alih-alih sekadar mengagetkan penontonnya melalui jumpscare.