Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama dengan organisasi masyarakat lintas agama, mendeklarasikan 14 sikap etika bermedia sosial yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila. Isinya, membingungkan.
Deklarasi dilakukan setelah dialog kebangsaan yang digelar di Yogyakarta, Rabu (30/3/2022). Melalui 14 sikap etika bermedia sosial tersebut, BPIP berharap masyarakat mampu memfilter konten di media sosial.
Hadir dalam deklarasi ini, berbagai organisasi keagamaan sampai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Para influencer dan pegiat media sosial turut hadir dan ikut merumuskan naskah deklarasi, seperti Sakdiyah Makruf, Gusdurian, Setara Institut, dan Maarif Institut.
“Media sosial menjadi platform penting dalam mengenalkan mata pelajaran Pancasila kepada siswa dan mahasiswa kita. Dalam mata pelajaran Pancasila, 30% materi bersifat teoritis dan 70% materi lebih bersifat menggali Pancasila pada kehidupan masyarakat melalui tradisi dan kebudayaan,” jelas Kepala BPIP RI, Yudian Wahyudi, kepada KompasTV.
Etika bermedia sosial bagian dari empat pilar utama literasi digital di Indonesia: Cakap Bermedia Digital (digital skill), Etis Bermedia Digital (digital etics), Budaya Bermedia Digital (digital culture), dan Aman Bermedia Digital (digital safety).
Ia bisa jadi panduan nilai dan tata aturan berperilaku di dunia digital. Bagian dari melek media dan informasi (MIL), yang merupakan konseptualisasi tiga ranah: melek media, literasi informasi, dan literasi digital.
Etika bermedia sosial yang ambigu
Di antara ke-14 butir sikap etika yang dideklarasikan, salah satu bunyinya “Mengutamakan norma kesantunan dalam menggunakan media sosial.” Butir ini cukup mudah dipahami, mengingatkan pengguna agar senantiasa santun dalam berkomunikasi lewat media sosial.
Namun, agak berkerut kening bila membaca butir lainnya, semisal “Memperkuat kerja sama antar-lembaga keagamaan dalam menolak ajaran kebencian.” Atau butir terakhir soal “Mendorong dan mendesak negara menjadi katalisator dan regulator…”.
Lalu, bandingkan dengan tujuan, “memfilter konten di media sosial”. Selain terdengar terlalu sempit sebagai sebuah “etika”, butir barusan lebih terdengar seperti misi organisasi—menjauh dari maksud menjadikannya panduan bermedia sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Rasanya masih ambigu, kurang jelas siapa khalayak yang jadi target panduan tersebut; apakah publik secara luas, lembaga-lembaga masyarakat sipil, atau apa?
Pernah ada versi pendahulunya
Versi lain dari BPIP bisa ditemukan di situs resminya. Artikel berjudul “Etika Berkomunikasi dalam Menggunakan Sosial Media Sesuai dengan Pancasila“, itu berargumen publik terkadang lupa adab dalam berkomunikasi lewat media sosial, seperti menghina suku, budaya, bahkan agama lain.
Maka, etika berkomunikasi dalam berinteraksi saat bersosial media dianggap penting. Etika berkomunikasi dengan baik, bila dikaitkan dengan Pancasila, bunyinya menjadi sebagai berikut:
- Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia terdapat 6 agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu. Dalam berkomunikasi di media sosial, kita tidak berhak menghina agama lain yang buka agama kita.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Berlaku adil kepada sesama, saling menghormati segala bentuk perbedaan dengan adab dan etika yang baik
- Persatuan Indonesia. Indonesia memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang beraneka ragam. Dengan hal tersebut kita harus saling menghormati budaya lain, membanggakan satu sama lain, dan mengagungkan budaya sendiri tanpa harus menjatuhkan budaya yang lain.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Setiap warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Maka dalam menggunakan sosial media, ketika pendapat kita berbeda dengan pendapat orang lain kita harus menghargainya, seperti contoh pada pemilu harus menciptakan suasana “LUBERJUDIL”.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam bersosial media kita harus menghormati hak orang lain, mengembang kan sikap adil terhadap sesama, dan menghargai hasil karya orang lain.
Panduan ini terdengar lebih luas dan luwes sebagai etika bermedia sosial—sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang diinginkan BPIP.
Warganet atau platform yang butuh etika
Etika dalam teknologi
Pembicaraan tentang etika media sosial di internet sudah berlangsung sejak lama. Etika terkait teknologi, telah dikaji dalam berbagai penelitian. Etika yang dipersoalkan lebih luas dari panduan ihwal apa yang boleh atau tidak disampaikan lewat medsos, tetapi menyasar kebaikan umat manusia.
“Etika bisa menjadi istilah yang sarat muatan,” kata Casey Fiesler—seorang peneliti etika dan teknologi dari University of Colorado Boulder. “Terkadang kita berbicara tentang tanggung jawab. Apakah orang-orang yang merancang teknologi bertanggung jawab dan memikirkan potensi bahaya produk mereka?” imbuhnya kepada Forbes.
Menurutnya etika teknologi seperti “perancangan teknologi yang lebih baik bagi dunia.” Casey mengingatkan Facebook, yang awalnya meranking para gadis. “Gagasan ini tentu terdengar konyol, mengingat hari ini Facebook mempengaruhi kehidupan sosial dan demokrasi di dunia!” kata dia. Facebook tak akan memblokir presiden bila berkukuh pada ide awalnya.
“Tidak ada jawaban benar atau salah. Ini berkaitan dengan bagaimana orang menilai sesuatu secara berbeda,” papar Casey. “Satu orang akan memberi tahu Anda, kebebasan berbicara adalah nilai paling penting. Yang lain akan memberi tahu Anda, melindungi orang dari ujaran kebencian atau pelecehan adalah nilai yang paling penting. Platform harus membuat keputusan tentang ini,” tegasnya.
Apapun nilai etika teknologi yang dianut pengelola platform, secara tidak langsung akan ditularkan dalam aturan penggunaannya.
Etika bermedia sosial dalam platform
Saat diterapkan oleh platform, sasaran etika adalah pengguna. Contoh, Twitter. Perannya semakin signifikan dalam proses demokratisasi di dunia. Di sisi lain, ada batas-batas yang tak bisa dilanggar—ukurannya bisa berbeda di tiap wilayah.
Twitter pun menerbitkan panduan integritas sipil, yang menyatakan “Anda tidak boleh menggunakan layanan Twitter untuk tujuan memanipulasi atau mencampuri pemilihan umum, atau proses sipil lainnya.”
Dengan jelas disebutkan bahwa perilaku pengguna yang tak bisa diterima di antaranya memposting atau berbagi konten yang dapat menekan partisipasi.
Atau, menyesatkan orang tentang kapan, di mana, atau bagaimana berpartisipasi dalam sebuah “proses sipil”. Istilah ini dijelaskan sebagai pemilihan umum, sensus, atau semacam referendum.
Namun sudah jadi rahasia umum; media sosial dituding jadi alat merekayasa opini publik. Beragam penelitian menunjukkan bagaimana media sosial membahayakan demokrasi. Bukan semata karena nilai yang dianut pengelolanya, tetapi karena penggunaannya. Misalnya lewat pasukan siber.
Dalam proses perumusan kebijakan publik, tentu akan ada pro dan kontra terhadap kebijakan yang diusulkan. Pro-kontra tersebut lumrah dalam demokrasi. Merekayasa semesta percakapan seolah-olah hanya diisi oleh mereka yang setuju, adalah tindakan tak etis.
Pengelola platform bisa saja “cuci tangan” dengan menyatakan melarang perilaku manipulatif lewat panduan integritas milik Twitter, atau Facebook. Patut diingat, setumpuk dokumen panduan bukan solusi utamanya.
Benturan kepentingan etika dan bisnis
Penelitian membuktikan akar masalahnya adalah model bisnis yang ekstrem dengan mengandalkan penargetan. Hal ini diungkap peneliti Anthony M. Nadler dan Matthew Crain di The Conversation (2018).
Penelitian itu merekomendasikan tidak memberi izin pengiklan menjadikan platform sebagai laboratorium “mengetes” pengguna tanpa konsen. Seperti pemasar dan peneliti akademis pada umumnya, eksperimen macam ini harus mendapatkan izin dari subjek pengujian mereka.
Usul lainnya, semua pengiklan politik harus diminta untuk mengungkapkan donor utama mereka dalam format yang dapat diakses dengan mudah oleh pengguna. Harus jelas siapa yang membuat iklan, tak boleh bersembunyi lewat identitas aspal atau pseudonim.
Baik Facebook maupun Twitter, adalah entitas bisnis. Mereka juga terlibat dalam proses demokratisasi—atau kehidupan sosial masyarakat sipil pada umumnya. Di sinilah peran etika dalam teknologi, membuat batas yang jelas agar hasrat menumpuk modal tak mengorbankan keadaban sipil.
Masih ingat netiket?
Warganet Indonesia kurang beradab
Perilaku warganet Indonesia memang kurang membanggakan. Dalam riset Microsoft tentang Indeks Keadaban Digital atau Digital Civility Index pada 2020, ranking Indonesia termasuk buruk.
Laporan atas survei pada 16.000 responden di 32 negara antara April-Mei 2020 itu menunjukkan Indonesia ada di peringkat 29—alias ranking keempat dari dasar klasemen.
Meski, indikatornya memang sangat luas; dari risiko penyebarluasan berita bohong, ujaran kebencian, trolling, diskriminasi, hingga penipuan, doxing atau pengumpulan data pribadi secara ilegal.
Ida Bagus Putu Adnyana dari Program Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar menggunakan data Microsoft tersebut dalam riset lanjutan. Ia mengemukakan telah terjadi disequilibrium dalam citra dan realita etika masyarakat Indonesia.
Lalu apa yang sebenarnya dibutuhkan?
Di dunia internet, dikenal adanya netiquette, atau netiket. Asal katanya internet etiquette atau network etiquette. Salah satu panduan populer adalah buku Netiquette karya Virginia Shea (1994).
Panduan itu berisi 10 butir netiket, meski belum spesifik tentang media sosial, ia bisa berlaku umum. Misalnya soal mengendalikan diskusi.
Di Indonesia populer istilah twitwar yang asalnya adalah diskusi menjurus pertengkaran. Sepanas-panasnya diskusi, netiket mengatur Anda untuk tidak mengumbar amarah.
Ibaratnya kepala boleh panas, tetapi hati harus tetap dingin. Diistilahkan flaming atau bisa disetarakan dengan ngotot dalam diskusi.
Bila flaming tidak selalu dilarang dalam komunikasi virtual, flame wars—ketika dua atau tiga orang saling bertukar posting dengan penuh amarah—harus dikendalikan. Jangan menyiram bensin ke api; padamkan kemarahan mereka dengan membimbing diskusi kembali ke arah yang lebih produktif.
Netiket yang lebih operasional
Netiket, seperti karya Virginia Shea setebal 160 halaman, lebih operasional dan bermanfaat bagi panduan publik (pengguna), apapun platformnya.
Linimasa media atau jejaring sosial, ibarat pasar tempat bertemunya banyak orang. Meski ada aturan khusus yang ditetapkan pengelola pasar, ada pula aturan yang berlaku umum.
Aturan di pasar swalayan, mungkin berbeda dengan aturan di pasar ikan tradisional. Tidak ada yang salah dengan perbedaan pengaturan itu.
Sama seperti aturan berperilaku di Twitter dan Instagram, tak sepenuhnya sama dengan di Reddit atau Quora. Meski semuanya tergolong media/jejaring sosial.
Bila BPIP mengkhawatirkan sejumlah konflik yang dipicu media sosial karena mengandung pelecehan SARA, doronglah sosialisasi netiket agar lebih dipahami publik.
Etika yang terlampau generik dan abstrak cenderung sulit dioperasionalkan, dan berakhir jadi pajangan belaka. Etiket sebaiknya berlaku lintas-platform, aturan lebih spesifik biar diatur setiap platform.
Jangan lupakan para pengacau informasi
Selain menyasar publik, perlu memperhatikan fenomena pasukan siber yang sengaja menciptakan polarisasi. Mereka ini jelas diorganisir, baik lewat teknologi (bot) maupun secara organik (sekelompok orang). Aparat penegak hukum harus turun tangan.
Kelompok-kelompok ini berupaya mengontrol wacana, lewat topik tren yang rutin dinaikkan setiap pekan. Ada atau tidak ada cantolan isu, mereka asik meracuni linimasa tanpa terusik. Mereka, ditengarai ada di berbagai sisi; baik pro-pemerintah maupun oposisinya.
Riset Oxford Internet Institute (OII) menemukan setidaknya tiga kategori kapasitas pasukan siber di tingkat global. Pertama, kapasitas pasukan siber yang tinggi melibatkan sejumlah besar staf, dan pengeluaran anggaran yang besar untuk operasi psikologis atau perang informasi.
Kapasitas pasukan cyber tingkat sedang melibatkan tim yang memiliki bentuk dan strategi yang jauh lebih konsisten, melibatkan anggota staf penuh waktu yang dipekerjakan sepanjang tahun untuk mengontrol ruang informasi. Kategori ini berkoordinasi dengan beberapa tipe aktor, dan bereksperimen dengan berbagai macam alat dan strategi untuk manipulasi media sosial.
Adapun kapasitas pasukan siber tingkat rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilu berikutnya. Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi.
Mereka ini tak terjangkau etika atau netiket, tetapi dampaknya nyata. Kerusakan yang ditimbulkannya tidak hanya dalam jangka pendek, juga jangka panjang. Mereka bak parasit dalam demokrasi; menikmati kebebasan tetapi secara perlahan membunuhnya.
*Photo by Ruca Souza from Pexels