Dalam kurun waktu setahun terakhir hoaks seputar Covid-19 belum ada tanda-tanda mereda. Dibandingkan setahun silam jumlahnya dua kali lipat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) per 16 April 2022 mencatat sebanyak 5.825 konten hoaks seputar Covid-19 beredar di media sosial. Terdapat 2.171 isu dalam konten tersebut.
Hoaks terbanyak beredar di Facebook, mencapai 5.107 unggahan. Media sosial “sarang hoaks” kedua di Twitter, mencapai 577 unggahan.
Sebaran hoaks seputar Covid-19 berikutnya lewat YouTube, sebanyak 55 unggahan. Tempat penyebaran paling sedikit di Instagram (52 unggahan) dan TikTok (34 unggahan).
Angka-angka ini jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan temuan per 10 Maret 2021 silam. Saat itu Kementerian Kominfo melaporkan sebaran hoaks seputar Covid-19 total isunya “hanya” 1.470.
Dari ribuan isu tersebut, termuat dalam 2.697 konten. Paling banyak di Facebook, 2.128 konten. Disusul Twitter dengan 496 konten, lalu YouTube 49 konten, dan di Instagram terdapat 24 konten hoaks seputar Covid-19.
2.697 berbanding 5.825, jumlah kontennya berlipat ganda dalam waktu kurang lebih setahun. Meskipun, dari sisi jumlah isu peningkatannya tak sebanyak itu.
Di balik hoaks seputar Covid-19
Kinerja media pada isu Covid-19
Riset termutakhir tentang kinerja media selama pandemi menelisik kinerja pers dalam meliput dan memberitakan Covid-19 berdasarkan kerangka ideal kerja wartawan.
Responden cenderung setuju bahwa pers Indonesia telah memenuhi standar kerja dalam peliputan dan pelaporan Covid-19 berdasarkan rujukan-rujukan kunci dalam survei, termasuk UU Pers 1999.
Dewan Pers yang melakukan riset tersebut pada periode Mei-Juni 2021, bekerja sama dengan Tim Peneliti Universitas Multimedia Nusantara.
Survei dilakukan melalui platform Jajak Pendapat (Jakpat). Data dikumpulkan melalui survei daring, karena model survei tatap muka tidak memungkinkan dilakukan dalam situasi pandemi.
Dari sisi kepuasan terhadap pemberitaan media massa, sebanyak 42,6 persen responden menyatakan dapat membayangkan realita, namun tidak tahu atau tidak dapat memastikan yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Sementara itu, sebanyak 21,4 persen responden meyakini ada perbedaan antara realita dengan apa yang diberitakan media massa; sedangkan 20,3 persen responden meyakini bahwa pemberitaan media adalah gambaran realistis atas apa yang terjadi di lapangan.
Sebanyak 10,1 persen yang menganggap media hanya membesar-besarkan isu Covid-19, dan 5,6 persen lainnya menganggap pemberitaan yang dilakukan media membuat mereka lelah.
“Ada indikasi bahwa kelompok usia muda belum sepenuhnya yakin pada kinerja pers atau media massa telah memenuhi kebutuhan mereka akan informasi terkait Covid-19,” begitu sebagian simpulan dalam laporan itu.
Ketidakpercayaan pada pemerintah
Ketidakpercayaan pada media massa akan menjadi celah masuknya konten hoaks. Tapi media bukan satu-satunya yang masalah.
Sejak awal pandemi, langkah pemerintah menuai kritik berbagai pihak. Betul bahwa pandemi ini adalah hal yang sama sekali baru bagi pemerintah, dan tak mudah diantisipasi.
Meski begitu, respons pemerintah dinilai lamban. Ketidakpercayaan publik terhadap informasi yang disampaikan pemerintah, terungkap dalam focus group discussion (FGD) terhadap para praktisi komunikasi dan jurnalis yang telah bekerja sekurangnya tiga tahun di bidang mereka.
Hasil FGD yang berlangsung April 2021 tersebut, dilaporkan di situs CSIS. Mayoritas partisipan diskusi mengatakan mereka tidak percaya informasi yang disampaikan pemerintah pusat terkait Covid-19.
Mereka menilai sejak awal pemerintah pusat terkesan menyepelekan pandemi dan tidak segera menutup akses bandara International.
Faktor lain yang membuat partisipan tidak percaya adalah data yang tidak transparan. Mayoritas menganggap data ODP, PDP, dan pasien yang dinyatakan positif tidak reliabel.
“Permasalahan utama yang kami temukan adalah tidak adanya integrasi dan sinkronisasi kebijakan, intervensi, dan pesan-pesan dari pemerintah secara vertikal lintas tingkatan pemerintahan, maupun secara horizontal lintas lembaga,” demikian tulis para peneliti.
Bayangkan seperti pilot yang mengumumkan terjadinya turbulensi, ia tidak sedang menakut-nakuti. Penumpang pun tahu apa yang harus dilakukan, sehingga tak bingung dan panik.
Bila penumpang tak percaya pada pilot, atau pramugari, dia mungkin melawan dan memilih desas-desus dari penumpang lain—yang tak tahu menahu kondisi di luar pesawat.
Penyebaran dan antisipasinya
Penyebaran hoaks seputar Covid-19
Saking banyaknya peredaran berita palsu soal Covid-19, konon penyebarannya lebih cepat dari penyebaran virusnya. Terdengar seram, tapi mungkin tak sedramatis itu.
Bila membandingkan jumlah orang yang terinfeksi virus korona baru ini dengan data jumlah konten seputar Covid-19—pada periode yang sama—angkanya tidak meyakinkan.
Per 16 April 2022, jumlah total orang yang terinfeksi Covid-19 adalah 6.039.266 orang. Tengoklah jumlah kasus pada 10 Maret 2021, totalnya “hanya” 1.368.069 orang. Naik sekitar 5 kali lipat.
Bila dibandingkan dengan jumlah konten hoaks seputar Covid-19 pada periode yang sama, 2.697 berbanding 5.825, rasionya tak sebanding.
Sekilas bisa disimpulkan bahwa penularan Covid-19 lebih cepat dari pertumbuhan jumlah hoaks. Namun, mungkin beda bila kita bisa menghitung berapa banyak yang “terinfeksi” hoaks tersebut.
Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi penyebaran informasi bohong tersebut: insting dasar manusia yang serba ingin tahu, teknologi komunikasi modern, bias konfirmasi, dan ruang gema.
Demikian menurut Anto Mohsin, dari Liberal Arts Program, Northwestern University. Dalam tulisannya di The Conversation (2020) ia menguraikan kenapa penyebaran hoaks bisa begitu cepat.
Kita bisa menambahkan satu faktor lagi: amygdala hijack. Hoaks menyebar cepat karena lewat jalan pintas—tak melalui logika di otak. Kita pernah membahasnya di artikel ini.
Hoaks juga butuh vaksin
Suburnya hoaks seputar Covid-19, setidaknya bisa dianalogikan seperti gulma. Gulma tumbuh di sekitar tanaman budidaya yang pertumbuhannya tidak dikehendaki.
Meski pertumbuhannya tak dikehendaki, ia bisa subur karena kondisi menghendakinya demikian. Takaran pas curah hujan, suhu rata-rata harian, kelembaban harian, dan intensitas cahaya matahari.
Hoaks menemukan celah untuk tumbuh, saat tingkat kepercayaan pada institusi yang menjadi sandaran sumber informasi sangat rendah.
Bila otoritas dan media massa pun kehilangan kredibilitas, yang tumbuh adalah kekacauan informasi. Disinformasi, dan misinformasi, adalah kekacauan informasi dimaksud.
Hoaks adalah istilah lain yang lebih populer, tapi tidak disarankan pemakaiannya karena terlalu problematik. Ia mudah disalahgunakan.
Seperti gulma, hoaks juga seharusnya bisa dicegah, dan ditindak bila telanjur terjadi. Persebarannya tak terkendali karena alat untuk mencegahnya belum siap.
Amygdala hijack mengambil alih peran logika, memicu kekacauan informasi tersebar luas. Fenomena ini patutnya bisa dilawan bila dilatih sejak dini.
Meningkatkan kekebalan terhadap hoaks, jadi sama penting seperti vaksin yang melatih kekebalan tubuh terhadap virus. Sayangnya, ia jalan yang terjal dan berliku. Namanya, pendidikan.
*Photo by Edward Jenner