Jangan heran bila melihat internet telah jadi taman bermain anak. Anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) di Indonesia sudah bisa mengakses internet untuk kebutuhan hiburan, mengerjakan tugas sekolah, bermedia sosial, bahkan mengakses surat elektronik (email/surel).
Padahal, Anda tidak boleh menggunakan Facebook jika berusia di bawah 13 tahun. Itu peringatan yang lazim ditemukan dalam Terms of Service atau Ketentuan Layanan penggunaan situs atau platform di internet. Mulai dari berbagai layanan milik Google, Facebook, atau media dan jejaring sosial yang lain.
Tim Lokadata Beritagar.id menelisik data mikro BPS pada hasil Survei Ekonomi dan Sosial (Susenas BPS 2016), utamanya ihwal internet yang jadi taman bermain baru bagi anak usia sekolah dasar (SD).
Sebanyak 66,9 persen anak usia sekolah dasar tahun lalu menggunakan internet untuk kebutuhan hiburan, misalnya main games, menonton acara televisi, atau mendengarkan radio. Berikutnya untuk mengerjakan tugas sekolah, untuk media sosial (Facebook, Twitter, Whatsapp, dll), mengakses informasi, dan 6,2 persen untuk menerima/mengirim email.
Pola yang sama berlaku baik di perdesaan maupun perkotaan. Sayangnya, sebaran akses internet belum merata. Anak kota jauh lebih banyak yang bisa mengakses internet. Bila dibandingkan, hanya 3,12 persen anak di desa yang bisa mengakses internet. Sedangkan di kota, bisa mencapai 15 persen lebih.
Anak usia sekolah dasar di Indonesia–di perdesaan dan perkotaan–secara umum baru 9 persen lebih yang mengakses internet. Bandingkan dengan 27,3 juta anak usia sekolah dasar dalam data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2016.
Anak-anak yang terlahir pada era internet , tak bisa dipinggirkan dari dunia maya. Tak sedikit orang tua yang terjebak dilema antara melarang, atau membatasi penggunaan internet sesuai usia anak. Apalagi, bila melihat penggunaan internet untuk hiburan, misalnya bermain games atau bermedia sosial.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan tidak begitu kaget dengan tingginya penggunaan internet oleh anak usia sekolah dasar untuk kepentingan hiburan. Orang tua, jadi salah satu kunci dalam mengawasi penggunaannya.
“Tsunami informasi hari ini, tidak pandang bulu kepada siapa informasi itu diberikan, termasuk anak-anak. Di sinilah peran kita, orang tua, masyarakat, hingga pemerintah dalam membatasi konten-konten yang sesuai umur dan perkembangan anak,” kata Arist kepada Beritagar.id, Selasa (11/7/2017).
Dalam hal pembatasan, menurut Arist, tidak sama dengan pelarangan. Pembatasan, dalam arti memberikan akses terbatas kepada anak dan memberitahukan konten yang layak bagi usia mereka. Selain itu, mengajarkan tentang baik-buruknya menggunakan internet.
“Jika pelarangan, itu pemberangusan hak asasi manusia. Sedangkan aturan penggunaan internet untuk anak-anak belum ada juga dari pemerintah. Maka yang paling mungkin dilakukan, para orang tua dengan membatasi tadi, menggunakan internet sesuai kebutuhan anak,” ujarnya.
Peringatan Arist senada dengan hasil survei Kemenkominfo dan Unicef pada 2014 yang bertema, “Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia”. Survei itu menyebutkan penggunaan internet di kalangan anak-anak dan remaja sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan.
Adapun rekomendasi hasil penelitian itu, perlunya meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan anak-anak dan remaja dalam berinternet, melalui sosialisasi, pendidikan Iiterasi, dan pelatihan. Upaya besar yang butuh komitmen dari pemerintah.
Mengubah kekhawatiran jadi peluang
Tingginya minat anak usia SD terhadap hiburan, termasuk games, bisa diubah menjadi sesuatu yang positif. Misalnya yang terjadi pada Kurie Suditomo (41). Cemas melihat kedua anak lelakinya lupa waktu saat main games di komputer atau gawai, ia justru terinspirasi untuk mengajari anak-anak menjadi produktif dengan komputer.
Dia cukup yakin bahwa semua anak di negeri ini bisa mempelajari coding dengan atau tanpa gawai (gadget). Mantan jurnalis tersebut menggandeng rekannya yang paham pemrograman komputer, lalu mendirikan sekolah pemrograman untuk anak pada 2013 yang diberi nama codingcamp.id.
“Sejak 2013-2017 mendirikan sekolah coding, hampir setiap hari saya bertemu anak yang semuanya suka pada gadget dan games. Mereka suka dengan tantangan game digital, cepat beradaptasi, tanpa berpikir melihat gambar atau grafik bergerak. Tinggal bagaimana kita membimbing mereka,” ujar Kurie saat dihubungi, Selasa (11/7).
Kepada Beritagar.id, ibu dua anak ini menjelaskan, perkembangan teknologi internet hari ini telah mengubah pola parenting (pengasuhan anak). Mengomentari data penggunaan internet oleh anak usia sekolah dasar belakangan ini, ia pun tidak kaget.
Dia justru meyakini, anak-anak penyuka games memiliki kecerdasan tersendiri, tinggal diarahkan menjadi lebih baik dan bermanfaat. Dia menyarankan kepada para orang tua, agar memahami kegiatan dan yang dilakukan anak dengan menemani mereka.
Namun ia juga menyadari, butuh “200 persen usaha” membesarkan anak pada zaman sekarang. Orang dewasa cenderung melihat apa yang dimainkan anak tidak berguna. Padahal, itulah kebutuhan mereka pada masa depan.
“Kebetulan dulu anak saya, saya arahkan untuk coding. Ternyata bisa membuat dia lebih baik. Dia suka games, sekalian saja saya ajak bikin game. Tools-nya ternyata sangat interaktif untuk anak-anak, mudah dipahami. Jangan bayangkan belajar coding yang rumit seperti yang kita dengar dan lihat di Indonesia,” kata Kurie.
Kesenjangan masih jadi tantangan
Jumlah pengakses internet Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hampir setengah dari populasi penduduk Indonesia terhubung internet atau mencapai 132,7 juta pengguna versi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI).
Namun, penggunaan internet oleh anak usia SD belum merata. Pengguna internet usia anak mayoritas berada di wilayah perkotaan. Di Jakarta, 25 persen anak seusia SD sudah bisa mengakses internet. Sedangkan di Lampung, hanya berkisar pada angka 3 persen.
Daerah lain di luar Pulau Jawa, akses internet untuk usia anak ini pada umumnya belum mencapai 10 persen. Kesenjangan kian tampak dari karakteristik wilayah. Di perdesaan, akses terhadap internet masih sangat rendah dibanding perkotaan.
Perlahan tapi pasti–seiring pengembangan infrastruktur–berbagai daerah tersebut akan terjangkau internet. Saat momen itu datang, orang tua pasti akan lebih tenang bila anak-anak menyambutnya dengan pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan internet secara produktif. Bukan sekadar menjadikannya taman bermain baru.
*Photo by Tatiana Syrikova from Pexels | Artikel ini aslinya terbit di Beritagar.id pada 11/7/2017 berjudul “Saat internet jadi taman bermain untuk anak“