Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Kompetensi AI Menuju Melek Akal Imitasi

Kompetensi AI Menuju Melek Akal Imitasi

Oleh: Melekmedia -- 23 Agustus, 2025 
Tentang:  –  Komentar Anda?

a woman wearing a mask

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa ChatGPT bisa menjawab pertanyaan dengan begitu cerdas? Atau bagaimana Instagram tahu persis konten yang ingin Anda lihat? Di balik semua kecanggihan teknologi itu ada: Artificial Intelligence atau Akal Imitasi (AI).

Kami pernah membahas beberapa materi soal ini, “AI Literacy” atau Melek AI. Kini ada lagi yang menulis tentang “AI Competency”. Meski, dalam banyak literatur lain, Melek AI sebenarnya sudah mencakup “bagaimana” menggunakan, bukan hanya di tingkat teknis tetapi juga di tingkat etis.

Kenapa Melek AI? Bayangkan AI seperti air. Dulu, air hanya kita temukan di sungai atau sumur. Sekarang, mengalir ke setiap sudut rumah kita melalui keran. Begitu juga AI—dulu hanya ada di lab penelitian, kini AI ada di smartphone, aplikasi belanja online, media sosial, bahkan saat googling.

Masalahnya, kebanyakan dari kita menggunakan AI tanpa benar-benar memahami cara kerjanya. Seperti menggunakan keran tanpa tahu dari mana air itu berasal dan apakah aman untuk diminum. Sebagian dari kita nekat meminumnya, alhasil banyak yang keracunan.

Artikel ini diadaptasi dari penelitian terbaru tentang AI literacy and competency yang ditulis oleh Thomas K. F. Chiu dan diterbitkan di jurnal Interactive Learning Environments (2025), dengan penyederhanaan bahasa untuk khalayak umum.

Tulisan Chiu memberi penekanan pada kompetensi, atau how to, selain pendalaman pada what dalam melek AI. Meski, tidak ada yang benar-benar baru. Sebagian besar literasi yang disebutkannya sudah ada dalam Media and Information Literacy (MIL), atau dalam Digital Competency Framework.

Melek AI vs Kompetensi AI: Apa Bedanya?

Melek AI: Memahami “Apa” itu AI

AI Literacy adalah kemampuan dasar untuk memahami apa itu AI, bagaimana cara kerjanya, dan apa dampaknya bagi kehidupan kita. Ini seperti kemampuan membaca—Anda tidak perlu jadi penulis untuk bisa membaca dan memahami buku.

Definisi ini mengintegrasikan pandangan dari berbagai kerangka internasional yang sudah ada. Framework OECD (2025) membagi AI literacy ke dalam empat domain: Interaksi dengan AI, berkreasi dengan AI, mengelola AI, dan memahami desain AI.

Sementara itu, penelitian Chiu dkk. (2024) menekankan bahwa AI literacy fokus pada “pengetahuan, pemahaman kritis, dan kesadaran etis” dibanding keterampilan teknis.

Orang yang melek AI seharusnya bisa:

  • Menjelaskan apa itu ChatGPT dan bagaimana cara kerjanya (secara umum)
  • Mengenali kapan Anda sedang berinteraksi dengan AI (misalnya, chatbot customer service)
  • Memahami bahwa AI bisa bias atau salah, jadi outputnya perlu dicek ulang
  • Menyadari risiko privasi ketika menggunakan aplikasi AI

Contoh: Anda tahu bahwa ketika Netflix merekomendasikan film, itu dilakukan oleh AI berdasarkan riwayat tontonan Anda. Anda juga sadar bahwa rekomendasi itu mungkin tidak selalu tepat dan bisa “terjebak” dalam preferensi yang sama.

Kompetensi AI: Terampil “Menggunakan” AI

AI Competency atau kompetensi AI adalah kemampuan praktis menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas-tugas konkret dengan efektif dan bertanggung jawab. Ini seperti perbedaan antara tahu cara kerja mobil vs. bisa mengemudikan mobil dengan mahir.

Konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh Zhou dkk. (2025) yang menekankan bahwa individu yang kompeten dalam AI harus memiliki “kepercayaan diri dan kemampuan untuk menggunakan AI menyelesaikan tugas spesifik secara etis, sehat, bertanggung jawab, dan produktif.”

Framework UNESCO (2024) mengeluarkan dua dokumen terpisah—AI Competency Framework for Teachers dan AI Competency Framework for Students—mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum untuk mempersiapkan siswa menjadi pengguna dan pencipta AI yang bertanggung jawab.

Orang yang kompeten dalam AI seharusnya bisa:

  • Menggunakan ChatGPT untuk membantu menulis email profesional dengan prompt yang tepat
  • Memanfaatkan AI untuk menganalisis data penjualan toko online
  • Mengintegrasikan tools AI ke dalam workflow pekerjaan sehari-hari
  • Menggunakan AI sambil tetap menjaga standar etika dan kualitas

Contoh: Seorang guru yang tidak hanya tahu bahwa AI bisa membantu membuat soal ujian, tapi juga tahu cara menulis prompt yang tepat untuk menghasilkan soal berkualitas, lalu mereview dan menyesuaikan hasilnya sesuai kebutuhan siswa.

Sepuluh “Keterampilan Dasar” untuk Melek AI

Untuk benar-benar “melek AI”, menurut Chiu dkk. kita perlu menguasai 10 keterampilan dasar lainnya. Ini seperti memasak—untuk jadi chef yang baik, Anda perlu tahu tentang bahan-bahan, teknik memotong, api, bumbu, dan sebagainya.

Usul Thomas K.F. Chiu ini sebenarnya juga sudah dibahas oleh sejumlah lembaga. Chiu menambahkan bahwa melek AI sesungguhnya bersifat interdisipliner. Seperti yang dijelaskan dalam Media and Information Literacy (MIL) UNESCO, sudah mencakup trans-literasi.

Di sana ada melek media, data, dan computational thinking sejak bertahun-tahun lalu. Framework Digital Competency juga sudah membahas aspek teknis dan etis teknologi digital. Tulisan Chiu menunjukkan bagaimana semua literasi ini berinteraksi secara spesifik ketika berhadapan dengan AI.

Misalnya: “Memahami bias algoritma memerlukan analisis data training (literasi data) untuk distribusi yang miring (literasi matematika) yang mungkin mencerminkan prasangka masyarakat (literasi media/etika).”

Memulai Kompetensi AI Menuju Melek AI

Langkah 1: Mulai dari Literasi

Kompeten di sini bukan menjadi ahli atau pengembang AI. Itu ranah yang lebih teknis. Seperti definisi sebelumnya, sangat penting bagi awam memilki kemampuan praktis penggunaan AI dalam menyelesaikan tugas-tugas konkret secara efektif dan bertanggung jawab.

Langkah awalnya dengan memahami dulu konsep dasar AI. Bacalah artikel, tonton video edukatif, atau ikuti kursus online tentang AI untuk pemula. Kami pernah mengulas dasar-dasar tentang teknologi AI di artikel ini: Warga Perlu Melek AI.

Langkah 2: Praktik dalam Konteks Kecil

Mulailah eksperimen dengan tools AI dalam pekerjaan sehari-hari:

  • Gunakan ChatGPT, Gemini, Claude alat GenAI lainnya untuk membantu curah pendapat ide;
  • Coba Canva AI untuk membuat desain sederhana;
  • Pakai Google Translate yang berbasis AI untuk memahami teks asing.

Langkah 3: Evaluasi dan Perbaikan

Selalu tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah hasil AI ini akurat?
  • Bagaimana cara memperbaiki prompt agar hasilnya lebih baik?
  • Apakah penggunaan AI ini etis dan tidak merugikan orang lain?

Langkah 4: Integrasikan secara Etis

Pastikan penggunaan AI Anda transparan, adil, dan tidak menggantikan human judgment yang penting.

Mengapa Ini Penting untuk Indonesia?

Indonesia sedang bergerak cepat menuju transformasi digital. Dari petani yang menggunakan aplikasi prediksi cuaca berbasis AI hingga UMKM yang memanfaatkan chatbot untuk customer service, AI sudah menjadi bagian dari kehidupan kita.

Namun, tanpa melek AI yang memadai, kita berisiko:

  • Menjadi konsumen pasif teknologi tanpa memahami implikasinya;
  • Tertinggal dalam kompetisi global karena tidak bisa memanfaatkan AI secara optimal;
  • Mudah tertipu oleh informasi palsu yang dibuat AI;
  • Tidak sadar akan bias dan diskriminasi yang mungkin ada dalam sistem AI.

Sama seperti melek media yang menjadi misi kami, melek AI kini menjadi kebutuhan mendesak. Kita tidak perlu menjadi programmer untuk memahami AI, tapi kita perlu menjadi pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab.

Mulailah dari hal kecil:

  • Ketika menggunakan aplikasi, sadari kapan Anda berinteraksi dengan AI;
  • Jangan langsung percaya 100% dengan output AI—selalu verifikasi;
  • Pelajari cara menggunakan AI tools untuk membantu pekerjaan atau hobi Anda;
  • Diskusikan dengan keluarga dan teman tentang pengalaman menggunakan AI.

Ingat, tujuan melek AI bukan membuat kita menjadi ahli teknologi, tapi membuat kita menjadi warga digital yang bijak di era AI. Karena AI yang baik adalah AI yang dipahami, digunakan dengan bijak, dan dikontrol oleh manusia yang cerdas.

*Photo by Darkhan Basshybayev via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?



Exit mobile version