Pengelola media sosial dinilai gagal menindak sebagian besar kiriman anti-muslim dan islamofobia yang dilaporkan kepada mereka.
Peneliti Center for Countering Digital Hate (CCDH) telah melaporkan 530 konten negatif ke sejumlah platform, tetapi 89 persen di antaranya tak direspons. Ada karikatur rasis, teori konspirasi, atau klaim palsu.
Konten penebar kebencian terhadap muslim itu berasal dari Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, dan YouTube. Dikumpulkan selama tiga minggu, 15 Februari hingga 9 Maret 2022, dan dilaporkan per 28 April 2022.
Penelusuran menggunakan tagar atau kata kunci berbahasa Inggris, tetapi kontennya bisa saja menggunakan bahasa lain. Setelah memverifikasi pelanggaran, para peneliti melaporkannya lewat kanal masing-masing.
Dari total 530 konten yang dilaporkan, hanya 60 konten atau 11,3 persen yang ditindaklanjuti perusahaan.
Proporsi terbanyak oleh TikTok; dari total 50 konten yang dilaporkan, 18 di antaranya (36 persen) ditindaklanjuti dengan penghapusan konten atau pemblokiran akun. YouTube paling abai, tak menindak satupun dari 23 pelaporan yang dibuat.
Instagram terbanyak kedua dengan 32 tindak lanjut dari 227 konten yang dilaporkan (14,1 persen); Facebook 7 tindak lanjut dari 125 pelaporan (5,6 persen); dan Twitter dengan 3 tindak lanjut dari 105 pelaporan (2,9 persen).
Konten-konten yang sedikitnya dilihat 25 juta kali itu harusnya mudah diidentifikasi, namun pengelola lamban beraksi. Instagram, TikTok, dan Twitter seolah “membiarkan” tagar seperti #deathtoislam, #islamiscancer, dan #raghead yang menjangkau setidaknya 1,3 juta pengguna.
Temuan ini menafikan pernyataan pada 2019, saat Meta, Twitter, dan Google berikut para pihak lain berkomitmen dalam “Christchurch Call” untuk mengatasi konten terorisme dan ekstremisme daring.
“Sekali lagi [terbukti], siaran pers mereka tidak lebih dari janji-janji kosong,” kata Imran Ahmed, CEO dari CCDH dalam rilis resminya.
VICE News yang memintai komentar pihak platform, tidak mendapat respons memuaskan. Facebook, YouTube, dan Instagram bahkan tidak menanggapi permintaan komentar terhadap laporan ini.
TikTok menanggapi, tetapi normatif, dan tidak spesifik terhadap temuan CCDH. Sementara Twitter mengatakan “tidak mentolerir pelecehan atas dasar agama” dan memuji sistem otomatis miliknya untuk menangkap konten yang melanggar kebijakan.
Meskipun pernyataan-pernyataan itu tidak membahas apa pun yang ditemukan dalam laporan CCDH, ia memberi sinyal bahwa perusahaan tahu “masih ada pekerjaan yang belum selesai.”
Konspirasi anti-muslim merajalela
Penelitian menemukan setidaknya 100 konten konspiratif bertema “Penggantian Hebat” (The Great Replacement). Isinya klaim bahwa imigran non-kulit putih sedang “menggusur” orang kulit putih dan budaya di negara-negara barat.
Misalnya di Instagram, ada postingan yang menuding keluarga muslim sengaja beranak-pinak. Poster itu membandingkan keluarga kulit putih berisi sepasang suami-istri dan dua anak, sementara keluarga muslim dengan satu ayah, empat istri, dan 12 anak.
Teori konspirasi “The Great Replacement” pertama kali dipopulerkan di Eropa oleh penulis Prancis, Renaud Camus. Camus menuding “elite replacist” berusaha menggantikan kulit putih Eropa dengan imigran non-kulit putih—terutama oleh muslim—lewat tingkat kelahiran yang tinggi.
Kaum Yahudi turut dituding menjalankan praktik yang dituduhkan. Camus juga mengklaim bahwa imigrasi adalah kebijakan yang disengaja untuk mendorong “genosida melalui substitusi”. Teori ini diadopsi secara luas oleh penganut supremasi kulit putih di seluruh dunia.
Beberapa ekstremis mengutip konspirasi ini sebagai pembenaran dalam aksi pembunuhan massal. Supremasi kulit putih di balik penembakan sinagoge Tree of Life 2018 yang menewaskan 11 orang di AS, misalnya, menyalahkan orang Yahudi karena membawa imigran non-kulit putih ke AS.
Teroris Christchurch yang membunuh 51 dan melukai 50 orang-orang di Masjid di Selandia Baru pada 2019, bahkan menerbitkan manifesto online berjudul “The Great Replacement”.
Komunitas anti-muslim subur di media sosial
Grup Facebook “Fight Against Liberalism, Socialism & Islam” memiliki hampir 5.000 anggota. Ini adalah grup privat, hanya anggotanya yang bisa melihat postingan di sana. Hingga artikel ini ditulis, grup itu masih bisa ditemukan di Facebook.
Dalam salah satu butir peringatan tentang grup ini, disebutkan bahwa “Kelompok ini BUKAN demokrasi, jadi jangan berharap perlakuan sama dalam beberapa hal. Sebagai contoh, kami akan menerima konten anti Liberal/Islam yang jauh lebih keras daripada postingan anti Konservatif/agama lain.”
Kelompok tersebut dijalankan seorang pengacara Afrika Selatan bernama Mark Taitz. Ia mengklaim bahwa “Islam moderat tidak ada dan terlalu banyak orang yang gagal untuk memahami hal ini”.
Dia pun mendorong pengguna Facebook untuk “bergabung dengan grup kami untuk belajar tentang Islam dan kekejaman yang mereka lakukan atas ‘nama Tuhan.’”
Gambar spanduk di laman komunitas daring tersebut, menggambarkan Islam sebagai pistol yang diarahkan ke kepala seorang wanita kulit putih yang mewakili “peradaban barat”. Siapa pun yang melihatnya tak akan ragu tentang sifat anti-Muslim dari kelompok tersebut.
Ini baru satu dari setidaknya 20-an halaman (pages) dan grup yang ditemukan di Facebook. Gabungan anggota semua komunitas itu totalnya mencapai 361 ribu. Plus-minus karena kemungkinan ada satu akun yang bergabung di lebih dari satu grup.
Di panggung lain, Twitter gagal bertindak atas tweet berisi gambar yang mengklaim muslim pada dasarnya memuja kekerasan dan tidak toleran. Kicauannya bisa dilihat lewat tagar #RejectIslam atau #IslamIsCancer.
Meski tak banyak, tagar serupa bisa ditemukan dalam kicauan berbahasa Indonesia. Kicauannya menunjukkan kebencian kepada umat muslim.
Di Instagram ditemukan ratusan ribu postingan dengan tagar bernada anti-Muslim. Laporan CCDH menganalisis postingan yang menampilkan tagar seperti #deathtoislam, #islamiscancer, atau #stopislamization.
Hasilnya menunjukkan ini tagar ini telah digunakan pada 131.365 postingan di Instagram. Di antaranya berisi propaganda bahwa umat muslim sedang menjalankan rencana “hijrah” lewat hukum syariah. Sebuah postingan bergambar jam dinding, berisi tahapan rencana tersebut.
Pengabaian sudah jadi preseden
Semua platform dalam penelitian ini menyatakan bahwa “pelaporan” adalah garis pertahanan pertama terhadap konten berbahaya. Meski begitu, kagagalan bertindak sudah jadi preseden.
Dulu mereka berkomitmen, menjanjikan “kapan” sebuah konten dapat dilaporkan, peninjauannya, dan penghapusan bila bertentangan dengan Standar Komunitas.
Namun, janji tersebut omong-kosong. Ini bukan pertama kalinya CCDH melaporkan bahwa pengelola platform gagal bertindak atas pelaporan.
CCDH pun berkesimpulan pengaturan mandiri oleh pengelola platform media/jejaring sosial telah gagal. Perusahaan disarankan lebih proaktif dalam mengatasi bahaya daring dan informasi yang salah sebelum menjadi viral dan menginfeksi komunitas yang lebih luas.
“Para pengelola platform harus lebih responsif terhadap laporan dari pengguna yang telah terpapar konten berbahaya dan informasi yang salah, dan meningkatkan kewaspadaan,” begitu salah satu rekomendasi mereka.
Saat ini, menurut CCDH, saat pengguna membunyikan alarm tanda bahaya, tak terjadi apapun. Hal ini dimungkinkan karena dua alasan:
Platform mendapat untung dari pengguna yang melihat iklan di samping konten, bahkan saat kontennya berbahaya, dan enggan melakukan apa pun yang mengganggu aliran pendapatan dari iklan tersebut.
Alasan lainnya, pengelola menolak untuk berinvestasi lewat staf yang memoderasi konten untuk menanggapi laporan dari pengguna secara baik dan tepat waktu.
Dugaan ini selaras dalih platform bahwa tugas ini tidak mungkin dibereskan atau mereka mengklaim sudah melakukan sesuatu hanya karena memiliki “kebijakan yang cantik”. Klaim yang belum terbukti benar.
CCDH pun menggelar petisi di laman mereka yang ditujukan kepada para pengelola platform. Tuntutannya, tindakan nyata untuk berhenti mengambil untung dari, dan menghentikan kampanye anti-muslim di platform mereka.
*Photo by Shamia Casiano