
Peran media massa tak pernah diragukan sebagai salah satu pilar demokrasi. Namun, penguatan dominasi media sosial dan erosi kebebasan pers jadi tantangan besar media di Indonesia. Tantangan semakin kencang dengan derasnya perkembangan teknologi.
Situasi ini mengingatkan dengan kisah lama media pada era Orde Baru. Media nyaris tak berdaya, ibarat “hidup enggan tapi mati pun tak mau”. Bila ingin hidup harus tunduk pada kekuasaan, karena melawan berarti harus menyabung nyawa.
Gambarannya bisa kita temukan dalam Scandal and Democracy: Media Politics in Indonesia (2019) oleh Mary E. McCoy. Salah satu buku yang menguraikan perjalanan media di Indonesia, bagaimana kebebasan yang baru diraih media (setelah transisi rezim) dapat membantu mencegah pseudo-demokrasi atau kembalinya ke pemerintahan otoriter.
Mary E. McCoy adalah pemegang gelar Ph.D. dari Northwestern University di AS, seorang pengarah program (Outreach Director) di Center for Southeast Asian Studies, dan mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi (Communication Arts) di University of Wisconsin-Madison.
Buku yang diterbitkan Cornell University Press lewat Project MUSE ini secara spesifik mengkaji bagaimana kontrol media yang rumit dan budaya politik kolusif membentuk lanskap demokrasi pasca-otoriter.
Dari total delapan bab, bab pertama spesifik mengulas hal tersebut: “Origins of Media Controls” atau riwayat kontrol media. Ia menyoroti riwayat kontrol media mulai dari era kolonial Belanda, masa pemerintahan Sukarno, hingga puncak otoritarianisme di bawah rezim Orde Baru Suharto.
Resensi ini hanya akan menyoroti bab tersebut, melihat bagaimana warisan kontrol terhadap media masih menantang konsolidasi demokrasi dan peran media sebagai pilar kebebasan di Indonesia—merefleksikan pentingnya pers yang independen dan akuntabel.
McCoy secara cermat menguraikan bagaimana ideologi integralis dan penekanan pada konsensus, yang berakar pada perdebatan konstitusional tahun 1945, justru menjadi landasan bagi penindasan kebebasan berbicara dan pembentukan pers yang “terbimbing.”
Konsepsi negara integralistik ini, yang dipengaruhi pemikiran filosof Jerman awal abad ke-19 dan diadaptasi oleh sarjana kolonial Belanda, menolak model Barat yang dianggap memicu keserakahan dan eksploitasi.
Sebaliknya, konsep ini mengedepankan visi masyarakat sebagai kesatuan organik atau keluarga besar (kekeluargaan) yang dipimpin oleh “figur ayah yang bijaksana”, yang secara inheren memahami kepentingan rakyat.
Dalam kerangka ini, perbedaan pendapat dan hak individu dipandang sebagai potensi konflik yang mengancam harmoni sosial, bukan sebagai elemen vital dalam demokrasi yang sehat.
Sadar atau tidak, narasi tersebut masih berlaku hingga kini. Pada 2019, Prabowo pernah menuding media sebagai “perusak demokrasi Indonesia”. Saat itu, Prabowo sedang memberikan sambutan di acara peringatan Hari Buruh 2019 di Jakarta Pusat, Rabu (1/5/2019).
“Itu media-media juga, gue salut sama lu masih berani ke sini. Akan tercatat dalam sejarah, hai media-media kau ikut merusak demokrasi di Indonesia,” ujarnya seperti dikutip Kompas.com, tanpa memerinci apa maksudnya.
Lalu, setelah terpilih jadi presiden, Prabowo juga mengungkit narasi ayah-anak dalam pengantar sidang kabinet di Istana Negara, Jakarta, Rabu (22/1/2025). Ini kutipan aslinya dari Kompas.com:
“Saya kira media ini masih muda-muda ya. Jadi ada hal-hal yang kalau orang tua bicara, yang muda-muda, anak-anak biasanya tunggu di luar. Kan begitu kan?” katanya—menuai respons keras AJI Indonesia.
McCoy menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dari konstitusi yang awalnya tampak inklusif, seperti musyawarah untuk mufakat (deliberasi untuk mencapai konsensus), disalahgunakan untuk melegitimasi konsentrasi kekuasaan eksekutif.
Doktrin Pancasila, yang digagas Sukarno sebagai dasar negara, pada akhirnya diinterpretasikan oleh Suharto sebagai pembenaran untuk pandangan negara yang integralis.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, digunakan secara luas untuk menekan perbedaan pendapat, mengklaim bahwa kritik terhadap pemerintah atau pemimpin adalah tindakan yang memecah belah persatuan.
Lebih lanjut, sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, yang seharusnya menjanjikan demokrasi inklusif dan egaliter, diartikan sebagai kepatuhan, bukan kesepakatan yang sesungguhnya.
Dalam praktiknya, “musyawarah untuk mufakat” dalam konteks Orde Baru berarti penerimaan seutuhnya terhadap keputusan pimpinan—menghilangkan ruang bagi perdebatan parlementer sehingga menjadikan lembaga legislatif “tukang stempel” kebijakan eksekutif.
Hal ini menggerus fungsi media, bukan sebagai pengawas kekuasaan, melainkan instrumen perjuangan nasional yang terikat pada kepentingan negara dan mempromosikan narasi tunggal pemerintah.
Buku McCoy, pada bab awal yang jadi fokus tulisan ini, secara detail juga menggambarkan mekanisme kontrol rezim, mulai dari undang-undang dan peraturan represif warisan kolonial Belanda hingga masa ORBA.
Contohnya adalah lèse majesté yang mengkriminalkan penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, atau pejabat lainnya, serta “hate-sowing articles” (haatzai artikelen) yang melarang penyebaran kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah atau kelompok masyarakat.
Peraturan-peraturan ini, meskipun telah dicabut, sering kali dihidupkan kembali atau diganti dengan versi yang lebih ketat, terutama di bawah darurat militer atau keadaan darurat politik. ORBA, misalnya, menggunakan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagai kendali atas operasi media.
SIUPP bukan sekadar izin administratif, melainkan alat kontrol bagi pemerintah untuk memblokir “elemen tidak bertanggung jawab” dari pasar media, sekaligus memberikan “uang sewa” yang menguntungkan penerbit kooperatif dengan melindungi mereka dari persaingan.
McCoy menunjukkan bagaimana PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), yang kala itu seharusnya mewakili jurnalis, justru menjadi “tangan panjang” negara, memastikan kepatuhan dan menyingkirkan jurnalis independen melalui monopoli keanggotaan dan persetujuan staf editorial.
Model ini secara fundamental menguatkan kolusi media dengan kekuasaan, mengubah independensi editorial menjadi kompromi demi kelangsungan hidup. Kolusi ini berlanjut hingga kini, menunjukkan bagaimana bias kepemilikan telah memengaruhi laporan berita.
Implikasi dari kontrol ini adalah penanaman budaya swasensor yang mendalam di kalangan jurnalis dan pemilik media. McCoy berpendapat cara ini lebih efektif daripada sensor langsung, menciptakan “iklim ketakutan” dan “kewaspadaan yang mendekati paranoia.”
Jurnalis dan editor senantiasa beroperasi di bawah bayang-bayang potensi pencabutan izin atau penangkapan, sehingga secara refleks menghindari topik-topik sensitif atau kritik langsung. Jargon “pers bebas dan bertanggung jawab” yang dipromosikan rezim melegitimasi swasensor.
Ketidakpastian mengenai batas-batas yang diperbolehkan ini mendorong konservatisme ekstrem di kalangan media. Bahasa publik pun dikorupsi dengan penggunaan eufemisme—seperti “pra-sejahtera” untuk kemiskinan, atau “ekonomi biaya tinggi” untuk korupsi.
Kita mengenal pula istilah “oknum” untuk pelaku pelanggaran HAM dari aparat, dan “jurnalisme rekaman” (mengutip pernyataan resmi tanpa analisis kritis), menghilangkan akuntabilitas dan mengaburkan kebenaran.
Seno Gumira menyebut praktik “peng-oknum-an” ini sebagai “politik bahasa”. Menurutnya, para jurnalis di masa Orde Baru tahu jika ada aparat (polisi atau militer) menjadi berita karena tindak kejahatan, mereka harus menuliskannya “oknum polisi” atau “oknum TNI”.
Pembaca terpaksa mengembangkan “seni membaca di antara baris-baris” atau “membaca di antara kebohongan” (reading between the lines) untuk memahami situasi sebenarnya, menunjukkan tingkat kesadaran kolektif terhadap manipulasi informasi.
Kasus-kasus seperti skandal Pertamina, yang diangkat Mochtar Lubis dan Indonesia Raya, serta insiden Malari, yang melibatkan protes mahasiswa terhadap korupsi dan investasi asing, adalah bukti bagaimana media yang awalnya berfungsi sebagai sistem peringatan dini terhadap salah urus ekonomi, justru dihukum karena mengungkap korupsi dan perpecahan elite.
Pembredelan Indonesia Raya atau Sinar Harapan secara efektif membungkam suara-suara kritis. Insiden Malari 1974, khususnya, menjadi titik balik yang memicu depolitisasi masyarakat sipil secara bertahap: Pembungkaman media dan pengekangan aktivitas mahasiswa.
Ini mengukuhkan klaim rezim bahwa demokrasi liberal adalah “eksperimen yang gagal” di Indonesia, sebuah narasi yang secara strategis dikembangkan Suharto untuk membenarkan penekanan hak-hak demokratis dan konsentrasi kekuasaan di tangannya.
Secara keseluruhan, Scandal and Democracy menunjukkan bahwa korupsi endemik dan penyalahgunaan kekuasaan Orde Baru bukan sekadar gaya kepemimpinan Suharto, melainkan konsekuensi dari sistem kontrol yang terlembaga dan budaya kolusi yang berakar dalam politik Indonesia.
Manipulasi kekuasaan eksekutif untuk memperkaya keluarga dan kroni melalui proyek-proyek monopoli, pinjaman negara, dan akuisisi saham di bawah harga pasar, hampir tidak pernah disorot media. Pun dari parlemen yang telanjur jadi “tukang stempel” eksekutif.
Keadaan media yang dikebiri ini secara langsung berkontribusi pada ketidaktransparan pemerintahan, yang pada akhirnya membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap guncangan krisis keuangan Asia pada 1997. Buntutnya, “keruntuhan” rezim ORBA pada 1998.
McCoy berargumen tugas reformasi pasca-otoriter tidak hanya melibatkan tantangan kontrol regulasi, tetapi juga transformasi budaya politik media yang mendasar, yang tercemar kolusi, dilegitimasi oleh ideologi, dan diabadikan melalui swasensor.
*Photo by Afif Ramdhasuma on Unsplash
Komentar Anda?