Melek Media dan Informasi di Era GenAI – Melék Media


Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Melek Media dan Informasi di Era GenAI

Melek Media dan Informasi di Era GenAI

Oleh: Melekmedia -- 4 Juli, 2025 
Tentang: , ,  –  Komentar Anda?

Payung literasi

Meski blog ini berjudul Melekmedia, mungkin Anda bertanya-tanya kenapa intens membahas Akal Imitasi (AI). Baiklah, kita akan paparkan mengapa kedua bidang ini beririsan sangat erat.

Melek Media dan Informasi (Media & Information Literacy – MIL) merupakan kompetensi penting di tengah gelombang inovasi Generative AI (GenAI), yang mengubah lanskap informasi dan media secara fundamental.

Ia bukan sekadar keterampilan tambahan. MIL menjadi perisai dan kompas agar masyarakat dapat menavigasi era digital ini dengan bijak, bertanggung jawab, dan aman. Ia merupakan konseptualisasi tiga ranah: melek mediamelek informasi, dan melek digital.

Konsep MIL mengusung kompetensi yang menekankan pengembangan keterampilan penyelidikan, terlibat dengan pelbagai bentuk konten dan mediator, apapun teknologinya.

Tanpanya, potensi besar GenAI dalam sekejap dapat berubah menjadi ancaman serius, mulai dari penyebaran disinformasi hingga erosi kepercayaan dan pelanggaran hak asasi. Generasi emas yang dicita-citakan, bisa-bisa menjadi generasi lemas.

Maka, investasi dan penguatan MIL adalah langkah strategis yang tak terhindarkan untuk memastikan masyarakat siap menghadapi masa depan yang didominasi oleh kecerdasan buatan alias AI.

Catatan ini menyadur dari risalah kebijakan UNESCO (2024) tentang MIL, melingkupi masyarakat maupun lingkungan akademik, serta lingkungan kerja. Artinya, MIL relevan dan wajib diterapkan di berbagai situasi.

Ruang lingkup MIL (UNESCO)

Memahami Lanskap GenAI

Mari kita mulai dengan mengulas GenAI atau AI generatif. Pada intinya, ia adalah sistem kecerdasan buatan yang mampu menciptakan konten baru—teks, suara, gambar, video—berdasarkan pola dan data yang dipelajarinya.

Kemampuannya menghasilkan output yang koheren—masuk akal, logis, dan terhubung satu sama lain membentuk suatu kesatuan yang mudah dicerna—membuatnya cepat diadopsi. Teknologi ini memudahkan akses informasi, cepat, memproses serta menyajikan data besar secara efisien.

Selain itu, GenAI mendorong peningkatan partisipasi dan ledakan kreativitas dengan menghilangkan hambatan teknis dalam pembuatan konten, memberdayakan individu untuk berpartisipasi lebih aktif dalam ekosistem digital. Dalam melek media unsur mengkreasi itu penting.

Lebih jauh lagi, kemampuan GenAI untuk mengotomatisasi tugas-tugas rutin telah memicu inovasi di berbagai industri, menciptakan peluang kerja baru dengan keterampilan adaptif dan relevan dengan perkembangan teknologi.

Namun, potensi besar ini diiringi oleh risiko yang tidak boleh diabaikan. Sifat GenAI yang mampu menghasilkan konten “sintetis” secara massal membuka celah bagi penyalahgunaan yang serius.

Salah satu ancaman terbesar adalah gelombang disinformasi dan deepfake yang semakin sulit dideteksi. GenAI dapat menciptakan narasi palsu atau memanipulasi media dengan tingkat realisme yang tinggi, mengaburkan perbedaan antara fakta dan fiksi—menggerus kepercayaan publik.

Penelitian menunjukkan bahwa “alat AI dan deepfake, termasuk bikinan GenAI, telah menghasilkan disinformasi dan ujaran kebencian serta menyajikannya seolah-olah kredibel kepada pengguna.”

Para peneliti bahkan menunjukkan kemungkinan “jailbreak“—kueri khusus untuk menginduksi respons tak terduga dari sistem AI dan melampaui batasan LLM—menyoroti rentannya sistem ini terhadap penyalahgunaan.

Penggunaan GenAI yang luas juga meningkatkan risiko terhadap privasi dan keamanan data, mengingat volume besar informasi yang diproses dan dianalisis oleh sistem ini. Lebih lanjut, jika data pelatihan GenAI mengandung bias, sistem akan mereplikasi dan bahkan memperkuatnya.

Laporan UNESCO tentang “Efek AI pada Kehidupan Kerja Perempuan” (2022) menemukan bagaimana kesenjangan gender dapat melebar, dengan contoh asisten suara AI yang terus-menerus digambarkan sebagai wanita muda.

Erosi keandalan sumber informasi juga menjadi perhatian serius; dengan konten yang dihasilkan AI, melacak asal-usul informasi dan memverifikasi keasliannya menjadi semakin menantang, mengikis kepercayaan terhadap sumber berita dan pengetahuan tradisional.

Terakhir, isu pelanggaran hak cipta dan kepemilikan intelektual muncul karena GenAI dilatih menggunakan miliaran data yang seringkali tidak memiliki izin eksplisit dari pencipta aslinya, menimbulkan pertanyaan serius tentang kompensasi yang adil dan perlindungan kekayaan intelektual.

Isu hak cipta ini telah memicu gerakan seperti “No to AI generated images” dan bahkan aksi mogok kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Writers Guild of America, yang memprotes dampak buruk praktik AI terhadap pekerjaan dan karier mereka.

Manish Surapaneni via Linkedin

MIL: Membangun Kompetensi untuk Masa Depan

Mengingat kompleksitas dan dampak GenAI, Melek Media dan Informasi (MIL) membekali individu dengan seperangkat kompetensi kritis agar tidak sekadar melindungi diri dari risiko, tetapi juga secara aktif memanfaatkan peluang yang ditawarkan GenAI.

Pertama, MIL menanamkan kemampuan berpikir kritis yang mendalam, melatih individu untuk tidak menerima informasi begitu saja. Di era GenAI, ini berarti mampu menganalisis secara skeptis konten yang dihasilkan AI.

Publik juga harus mampu mempertanyakan motivasi di baliknya, serta membedakan antara fakta yang kredibel dan disinformasi yang dibuat secara otomatis. Tanpa kemampuan ini, masyarakat rentan terhadap manipulasi dan polarisasi.

Kedua, MIL memfasilitasi pemahaman fundamental tentang cara kerja AI. Untuk berinteraksi secara efektif dengan GenAI, seseorang harus memahami dasar-dasar bagaimana teknologi ini menghasilkan konten, termasuk konsep “halusinasi”.

Pemahaman yang lazimnya ada dalam kerangka melek AI ini sangat penting untuk mengelola ekspektasi dan mengidentifikasi keterbatasan AI. Contohnya adalah kursus daring “Elements of AI” dari Universitas Helsinki, yang telah diakses dari 170 negara, menunjukkan pentingnya pendidikan dasar AI.

Ketiga, MIL mendorong penggunaan AI yang bertanggung jawab dan etis. Hal ini mencakup penghormatan terhadap hak cipta, menghindari plagiarisme, dan komitmen tidak menyebarkan disinformasi buatan AI.

Keempat, MIL membekali individu dengan strategi perlindungan diri yang proaktif. Dengan MIL, individu dapat mengenali dan melindungi diri dari berbagai risiko digital oleh GenAI, seperti penipuan canggih, pengawasan yang tidak diinginkan, dan pelanggaran privasi.

Kelima, MIL mendorong partisipasi aktif dalam tata kelola AI. MIL mendorong warga negara untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif teknologi, tetapi juga peserta aktif dalam pembentukan masa depannya.

Dengan pemahaman yang kuat tentang implikasi AI, masyarakat dapat menyuarakan pendapat, menuntut akuntabilitas, dan memastikan bahwa pengembangan serta regulasi AI berpusat pada kepentingan manusia dan keadilan sosial.

PBB sedang membentuk Badan Penasihat Multi-Pemangku Kepentingan tentang AI untuk memajukan rekomendasi tata kelola AI di tingkat internasional, sebuah inisiatif yang sangat membutuhkan masukan dari masyarakat yang literat informasi.

Terakhir, MIL berkontribusi pada peningkatan keterampilan kerja yang adaptif. MIL membekali individu keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan adaptabilitas untuk berinteraksi dengan alat AI di tempat kerja, memastikan bahwa tenaga kerja tetap relevan dan kompetitif.

Tantangannya adalah membereskan pekerjaan rumah seperti literasi dan numerasi di jenjang pendidikan dasar-menengah yang belum meyakinkan.

Materi presentasi Melekmedia

Fondasi Kokoh di Berbagai Lingkungan

MIL melampaui ruang lingkup melek media tradisional; mencakup dimensi baru seperti melek data atau melek algoritma. Integrasi ini menjadikan MIL kerangka kerja yang ideal untuk membangun melek AI secara komprehensif.

Daripada menciptakan literasi baru dari nol, kita dapat memanfaatkan fondasi MIL yang sudah ada untuk melatih berbagai komunitas agar siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang GenAI.

Penerapan MIL untuk melek AI dapat dan harus dilakukan di berbagai setting. Di lingkungan sekolah, MIL dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum sejak dini, membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis terhadap konten digital dan AI.

Di perguruan tinggi, MIL dapat menjadi bagian dari mata kuliah lintas disiplin, mempersiapkan mahasiswa dari berbagai jurusan—bukan hanya STEM—untuk memahami implikasi AI dalam bidang profesional mereka dan berpartisipasi dalam penelitian serta pengembangan AI yang etis.

Sementara di komunitas, program-program MIL dapat menjangkau masyarakat umum, termasuk pendidik, pustakawan, pekerja muda, dan orang tua, melalui lokakarya, seminar, atau kursus daring.

Pendekatan lintas setting ini memastikan bahwa pemahaman tentang AI dan dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi juga menyentuh setiap lapisan masyarakat.

Pemerintah dan institusi pendidikan memegang tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan dan program MIL tidak hanya dipertahankan, tetapi juga diperkuat dan disesuaikan secara berkelanjutan.

Dengan investasi yang tepat dalam MIL, kita dapat memberdayakan setiap individu untuk menjadi warga negara digital yang cerdas, kritis, dan berdaya saing, membangun masyarakat yang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat di era Generative AI.

*Gambar tangkapan layar dari dokumen MIL UNESCO

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?



Exit mobile version