
Meski blog ini berjudul Melekmedia, mungkin Anda bertanya-tanya kenapa intens membahas Akal Imitasi (AI), atau kecerdasan artifisial (KA). Baiklah, kita akan paparkan mengapa kedua bidang ini beririsan sangat erat.
Melek Media dan Informasi (Media & Information Literacy – MIL) berisi kompetensi yang menekankan pengembangan keterampilan penyelidikan, terlibat dengan pelbagai bentuk konten dan mediator, apapun teknologinya.
Ia bukan sekadar keterampilan tambahan. MIL menjadi perisai dan kompas agar masyarakat dapat menavigasi era digital ini dengan bijak, bertanggung jawab, dan aman. Ia merupakan konseptualisasi tiga ranah: melek media, melek informasi, dan melek digital.
Tanpanya, potensi besar GenAI dalam sekejap dapat berubah menjadi ancaman serius, mulai dari penyebaran disinformasi hingga erosi kepercayaan dan pelanggaran hak asasi. Generasi emas yang dicita-citakan, bisa-bisa menjadi generasi lemas.
Maka, investasi dan penguatan MIL adalah langkah strategis yang tak terhindarkan untuk memastikan masyarakat siap menghadapi masa depan yang didominasi oleh kecerdasan buatan, kecerdasan artifisial, alias AI.
Catatan ini menyadur dari risalah kebijakan UNESCO (2024) tentang MIL, melingkupi masyarakat maupun lingkungan akademik, serta lingkungan kerja. Artinya, MIL relevan dan wajib diterapkan di berbagai situasi.
Memahami Lanskap GenAI
Mari kita mulai dengan mengulas GenAI atau AI generatif. Pada intinya, ia adalah sistem kecerdasan buatan yang mampu menciptakan konten baru—teks, suara, gambar, video—berdasarkan pola dan data yang dipelajarinya.
Namun, potensi besar teknologi tersebut bukan tanpa risiko. Sifat GenAI yang mampu menghasilkan konten “sintetis” secara massal membuka celah bagi penyalahgunaan yang serius.
Salah satu ancaman terbesar adalah disinformasi dan deepfake yang semakin sulit dideteksi. GenAI dapat menciptakan narasi palsu atau memanipulasi media secara meyakinkan, mengaburkan perbedaan antara fakta dan fiksi—menggerus kepercayaan publik.
Penggunaan GenAI yang luas juga meningkatkan risiko terhadap privasi dan keamanan data, mengingat volume besar informasi yang diproses dan dianalisis oleh sistem ini. Jika data pelatihan GenAI mengandung bias, sistem akan mereplikasi dan bahkan memperkuatnya.
Laporan UNESCO tentang “Efek AI pada Kehidupan Kerja Perempuan” (2022) menemukan bagaimana kesenjangan gender dapat melebar, dengan contoh asisten suara AI yang terus-menerus digambarkan sebagai wanita muda.
Belakangan, isu pelanggaran hak cipta dan kepemilikan intelektual muncul karena GenAI dilatih menggunakan miliaran data yang seringkali tak berizin, menimbulkan pertanyaan serius tentang kompensasi yang adil dan perlindungan kekayaan intelektual.
Bagi MIL, respons terhadap GenAI adalah mengintegrasikan melek AI sebagai bagian dari nested literacies — literasi yang saling terkait dan bertingkat, mencakup data, algoritma, dan AI. Tujuannya agar guru dan murid lebih akrab dan siap menghadapi perkembangan teknologi ini.
Sejalan dengan prinsip MIL, melek AI adalah seperangkat kompetensi yang memungkinkan individu mengevaluasi secara kritis, berkomunikasi, dan berkolaborasi secara efektif dengan sistem AI (Hargittai et al, 2020). Melek AI bukan sekadar kemampuan teknis.
Alih-alih dipisahkan sebagai literasi tersendiri, pengetahuan tentang data, algoritma, dan AI dalam MIL bisa meliputi seluruh rantai informasi-komunikasi: Mulai dari proses produksi informasi hingga cara informasi tersebut dikonsumsi oleh pengguna.
Pendekatan holistik ini menjadi ciri khas MIL sebagai bentuk transliterasi (Frau-Meigs, 2012)—sebuah pendekatan lintas-media dan lintas-modalitas. Begitulah pengalaman nyata manusia ketika mereka bersentuhan dengan informasi (seperti media, dokumen, dan data).
MIL: Kompetensi untuk Masa Depan
MIL membekali individu dengan seperangkat kompetensi kritis agar tidak sekadar melindungi diri dari risiko, juga bisa memanfaatkan GenAI secara efektif. Pembelajaran etika AI di sekolah jadi salah satu aspek krusial untuk memahami dan menganalisis dampak AI terhadap masyarakat.
Pertama, MIL menanamkan kemampuan berpikir kritis yang mendalam, melatih individu untuk tidak menerima informasi begitu saja. Di era GenAI, berarti bersikap skeptis pada konten buatan AI; mempertanyakan motivasi di baliknya, membedakan fakta dengan disinformasi.
Kedua, MIL mengajarkan dasar-dasar cara kerja AI. Agar interaksi dengan GenAI efektif, seseorang harus memahami dasar-dasar teknologi ini bekerja, termasuk konsep “halusinasi”. Lazimnya ada dalam melek AI, penting untuk mengelola ekspektasi dan menyadari keterbatasan AI.
Ketiga, MIL mendorong penggunaan AI yang bertanggung jawab dan etis. Hal ini mencakup penghormatan terhadap hak cipta, menghindari plagiarisme, dan komitmen tidak menyebarkan disinformasi buatan AI.
Keempat, MIL membekali individu dengan strategi perlindungan diri. Dengan MIL, individu dapat mengenali dan melindungi diri dari berbagai risiko GenAI. Contohnya penipuan, pengawasan ilegal, dan pelanggaran privasi.
Kelima, MIL mendorong partisipasi aktif dalam tata kelola AI. MIL mendorong warga negara tidak hanya jadi konsumen, melainkan aktif dalam pembentukan masa depannya. Menyuarakan pendapat, menuntut akuntabilitas, dan memastikan regulasi AI berpusat pada kepentingan manusia.
Terakhir, MIL berkontribusi pada peningkatan keterampilan kerja yang adaptif. MIL membekali individu keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan adaptabilitas untuk berinteraksi dengan alat AI di tempat kerja, memastikan bahwa tenaga kerja tetap relevan dan kompetitif.
Tantangannya adalah membereskan pekerjaan rumah seperti literasi dan numerasi di jenjang pendidikan dasar-menengah yang belum meyakinkan.
Fondasi Kokoh di Berbagai Lingkungan
MIL melampaui ruang lingkup melek media tradisional; mencakup dimensi baru seperti melek data atau melek algoritma. Integrasi ini menjadikan MIL kerangka kerja yang ideal untuk membangun melek AI secara komprehensif.
Daripada menciptakan literasi baru dari nol, kita dapat memanfaatkan fondasi MIL yang sudah ada untuk melatih berbagai komunitas agar siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang GenAI.
Penerapan MIL untuk melek AI dapat dan harus dilakukan di berbagai setting. Di lingkungan sekolah, MIL dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum sejak dini, membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis terhadap konten digital dan AI.
Di perguruan tinggi, MIL dapat menjadi bagian dari mata kuliah lintas disiplin, mempersiapkan mahasiswa dari berbagai jurusan—bukan hanya STEM—untuk memahami implikasi AI dalam bidang profesional mereka dan berpartisipasi dalam penelitian serta pengembangan AI yang etis.
Sementara di komunitas, program-program MIL dapat menjangkau masyarakat umum, termasuk pendidik, pustakawan, pekerja muda, dan orang tua, melalui lokakarya, seminar, atau kursus daring.
Pendekatan lintas setting ini memastikan bahwa pemahaman tentang AI dan dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi juga menyentuh setiap lapisan masyarakat.
Pemerintah dan institusi pendidikan memegang tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan dan program MIL tidak hanya dipertahankan, tetapi juga diperkuat dan disesuaikan secara berkelanjutan.
Dengan investasi yang tepat dalam MIL, kita dapat memberdayakan setiap individu untuk menjadi warga negara digital yang cerdas, kritis, dan berdaya saing, membangun masyarakat yang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat di era Generative AI.
*Gambar tangkapan layar dari dokumen MIL UNESCO