Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Melek Media Tak Cukup Lagi

Melek Media Tak Cukup Lagi

Oleh: Melekmedia -- 1 Agustus, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

woman in black hoodie holding round mirror

Di tengah derasnya arus informasi digital dan banjir konten hasil akal imitasi generatif (GenAI), Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga integritas informasi. Ini bukan sekadar peringatan bagi Indonesia, ini juga sudah jadi masalah global.

Laporan terbaru World Economic Forum (WEF) bertajuk Rethinking Media Literacy: A New Ecosystem Model for Information Integrity (Juli 2025) menyatakan bahwa misinformasi dan disinformasi adalah risiko global terbesar dalam dua tahun ke depan.

WEF menegaskan pendekatan lama tidak cukup. Disinformasi bukan sekadar persoalan orang tidak tahu; ia adalah hasil dari insentif platform digital, algoritma yang mengedepankan keterlibatan emosional, dan lemahnya regulasi.

Model baru yang ditawarkan WEF untuk literasi media, atau melek media, menyarankan pendekatan ekosistem yang menyentuh lima tingkat: individu, hubungan antarpribadi, komunitas, institusi, dan kebijakan publik.

Dengan kata lain, memperkuat ketahanan informasi tidak bisa hanya mengandalkan edukasi; ia harus ditopang oleh kebijakan, tata kelola platform, budaya komunitas, dan kesadaran kolektif.

Selama ini, pendekatan melek media dan informasi (MIL) di Indonesia belum jelas. Meski ada, cenderung berfokus pada edukasi individu, seperti cara mengenali hoaks atau menggunakan media sosial secara bijak.

MIL tak hanya soal kemampuan individu, tetapi soal tanggung jawab bersama — dari individu hingga pemerintah dan platform digital. Kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan memproduksi informasi menjadi esensial di era digital.

Sungguh ironis, lantaran melek media belum menjadi diskursus yang utama di Indonesia. Melek media absen dari pengarusutamaan di pendidikan, misalnya. Sementara di tempat lain, kajian tentangnya sudah mau dimutakhirkan, karena sudah dianggap kurang relevan.

AI dan Disinformasi: Musuh Tak Terlihat

Dengan kemunculan GenAI, produksi konten palsu menjadi makin murah, cepat, dan meyakinkan. Di masa depan, pengguna internet—terutama anak muda—akan makin sulit membedakan informasi asli dengan manipulasi.

Tanpa pemahaman mendalam tentang cara kerja algoritma, bias data, dan dampak ekonomi-politik akal imitasi (AI), masyarakat akan mudah menjadi korban manipulasi digital.

Negara-negara seperti Inggris dan Uni Eropa telah mulai mengembangkan regulasi yang menyasar akar masalah disinformasi, dari sistem rekomendasi konten hingga transparansi iklan digital. Mereka tidak lagi hanya mengatur isi, tetapi juga mekanisme distribusi dan insentif platform.

Padahal di Inggris, melek media pun sedang mendapat sorotan karena terhitung gagal mempersiapkan warga menghadapi era AI. Dalam laporan terakhir, masih dibutuhkan komitmen untuk meningkatkan kapasitas melek media warganya.

Sementara kurikulum seputar melek digital di Indonesia belum banyak menyentuh aspek ini. Melek AI, pemahaman tentang ekosistem informasi digital, dan kesadaran terhadap ekonomi atensi belum menjadi bagian wajib dalam sistem pendidikan maupun pelatihan profesional.

Indonesia belum punya kebijakan menyeluruh yang menjamin integritas informasi. Program literasi digital yang ada masih terpencar dan belum masuk dalam kerangka kebijakan nasional yang terukur dan lintas sektor.

Dalam laporan WEF dijelaskan bahwa tanpa dukungan kebijakan dan insentif sistemik, upaya edukasi publik akan terus kalah cepat dari penyebaran konten palsu.

Menjawab Tantangan, Membangun Ketahanan

Laporan WEF menyebut bahwa MIL harus diintegrasikan ke berbagai sektor: pendidikan, pelatihan kerja, komunitas, media, dan teknologi. Indonesia bisa memulai dengan:

  1. Menyusun kebijakan nasional MIL lintas kementerian dan sektor.
  2. Mengintegrasikan AI literacy dan pemahaman ekosistem digital dalam kurikulum sekolah.
  3. Mewajibkan pelatihan MIL di sektor publik, media, dan teknologi.
  4. Membangun kolaborasi antarpihak: pemerintah, media, akademisi, platform digital, dan masyarakat sipil.

Selain memperluas sektor, model baru yang ditawarkan WEF menyarankan pendekatan ekosistem yang menyentuh lima tingkatan: individu, hubungan antarpribadi, komunitas, institusi, dan kebijakan publik.

Artinya, integritas informasi bukan hanya soal keterampilan individu dalam menilai berita, tetapi juga hasil dari kondisi sosial, budaya, dan teknologi di sekitarnya.

Di tingkat individu, fokusnya adalah membekali orang dengan kompetensi untuk memahami, mengevaluasi, dan membagikan informasi secara etis.

Di tingkat hubungan antarpribadi, norma sosial dan tekanan dari lingkungan dekat mendorong perilaku berbagi informasi yang lebih hati-hati.

Di tingkat komunitas, peran kelompok—baik luring maupun daring—dalam membentuk opini dan menyebarkan informasi menjadi kunci.

Di tingkat institusi, sekolah, media, dan platform digital harus menyediakan sistem, insentif, dan tata kelola yang mendorong kredibilitas.

Di tingkat kebijakan publik, regulasi dan insentif harus menciptakan kondisi sistemik agar informasi kredibel lebih mudah diakses dan disinformasi lebih sulit menyebar.

Model ini menekankan bahwa semua lapisan masyarakat—bukan hanya individu—bertanggung jawab membentuk ekosistem informasi yang sehat dan resilien terhadap manipulasi.

Masa Depan Melek Media di Indonesia

Melek media, atau literasi media, bukan tanggung jawab personal belaka. Ia harus menjadi upaya kolektif untuk menciptakan ruang digital yang adil, aman, dan bermartabat. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus panik moral setiap kali pemilu, bencana, atau konflik terjadi.

Sejauh ini, tidak ada data yang terkait melek media yang bisa jadi acuan. Data yang ada, misalnya seputar literasi digital, dikemas dalam survei IMDI atau Indeks Masyarakat Digital Indonesia yang sudah digelar sejak 2022.

Sejak 2022 hingga tahun 2024, hasil pengukuran menunjukkan tren peningkatan, di mana skor tahun 2024 tercatat sebesar 43,34 untuk level nasional, dari total skor 100. Pilar keterampilan digital menjadi pilar dengan skor tertinggi, yaitu 58,25.

Uniknya, rentang skor pengukuran indeks ini mengkategorikan capaian Sangat Rendah pada skor lebih kecil dari 30,88; sedangkan capaian Sangat Tinggi pada skor lebih besar dari 52,47. Sementara rentang skor yang bisa dicapai adalah 0 sampai 100.

Studi yang lain terkait melek media bisa dilihat dari hasil penelitian AJI Indonesia dan Remotivi (2024). Mereka mencatat tingkat melek media responden terbilang tinggi, dengan 52,4% responden memiliki tingkat literasi tinggi dan 16,4% sangat tinggi.

Survei ini fokus pada tingkat kepercayaan publik terhadap media, dan menyimpulkan tiada korelasi nyata antara tingkat melek media dan tingkat kepercayaan media. Literasi ini diukur berdasarkan pemahaman responden atas pengetahuan dasar jurnalisme.

Hasil riset tersebut agak berbeda dengan tren di dunia. Dari laporan Impress (2022) di Inggris, rendahnya literasi berita berkontribusi pada rendahnya tingkat kepercayaan terhadap media. Ini konsisten dengan gagasan bahwa “orang tidak (atau mungkin tidak bisa) memercayai apa yang tidak mereka pahami”. Menunjukkan adanya korelasi negatif.

Laporan terkini di Inggris Raya bahkan mengkhawatirkan: Inggris, yang seharusnya menjadi pemimpin dalam inovasi digital, justru menempati peringkat ke-13 dari 41 negara dalam Indeks Literasi Media Eropa 2023, turun dari peringkat ke-11 pada 2022 dan ke-10 pada 2021.

Indonesia butuh kemauan politik dan visi jangka panjang. Dengan absennya melek media dari diskursus arus utama, sementara dunia sudah bergerak menuju pemutakhiran metode, makin banyak yang harus dikerjakan untuk mengejar ketinggalan.

*Photo by Milad Fakurian via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?



Exit mobile version