Suatu saat di waktu kecil, kita mungkin pernah mencuri. Kita tahu bahwa mencuri itu salah, tapi kita pasti punya sejuta alasan kenapa tetap melakukannya. Bahkan meski kita tahu risiko apa yang bakal dihadapi, kita cenderung tidak peduli. Bagi kita saat itu bukan ‘kenapa mencuri’ yang dipentingkan, tetapi hasil yang didapat dari kegiatan mencuri itu yang jauh lebih penting.
Jika kita perokok, sebenarnya kita tahu bahwa rokok itu tidak baik untuk kesehatan. Maka kesadaran untuk tidak merokok jadi kurang menarik, digantikan oleh kesadaran bahwa ada rokok yang memberi kita kenikmatan merokok tetapi tidak menjadikan kita sekonyong-konyong sakit. Produsen rokok menyodori kita berbatang-batang rokok sambil mengajak kita ngobrol ngalor ngidul tentang kecantikan perempuan, atau tentang keindahan alam. Ada pula yang mengajak kita bercanda, berdebat, bertanya, atau bersenda gurau bak teman sejati, bahkan ada yang mengajak kita berkhayal tentang kemewahan.
Jika suatu masa kita pernah menghilangkan ratusan bahkan ribuan nyawa orang, atau menghilangkan hak-hak mereka, tenang saja. Tak perlu menjadi trauma, atau bahkan sampai bunuh diri. Ada obat yang paling jitu. Bertobatlah dengan membuat iklan! Terutama iklan di televisi.
IKLAN dengan karakteristiknya yang mampu menguasai persepsi penonton, memiliki pengaruh yang signifikan. Iklan mampu mendorong penonton menjadi tampak bodoh, menyamarkan kejahatan seseorang di suatu masa, atau membuat seorang baik menjadi tampak sangat buruk, dan sebaliknya.
Dengan iklan kita bisa ‘membual’ di muka publik, tanpa seorang pun merasa pernah ditipu oleh ‘bualan’ kita. Akan tetapi, hampir semua orang tidak sudi ditipu mentah-mentah oleh iklan. Mereka akan menentang iklan yang terlalu vulgar menampakkan ‘bualannya’, tetapi di saat yang lain bisa senyum-senyum sendiri menyaksikan iklan-iklan sentimentil yang mampu menyentuh perasaan. Pendeknya, orang-orang lebih suka ditipu secara terstruktur dan sistematis, daripada ditipu dengan cara-cara yang ‘kampungan’. Substansinya, mereka semua tahu tampilan iklan itu bohong belaka, tapi tetap bersedia mempercayainya jika ‘kebohongan’ itu ditampilkan dengan lebih elegan.
Memang tidak semua iklan adalah sebuah ‘kebohongan’. Banyak insan periklanan yang membuat iklannya didasari atas penelitian, atau dengan menyajikan angka-angka yang akurat. Sayangnya, belum banyak penelitian untuk itu. Jika kita buat asumsinya, mungkin iklan-iklan yang menyajikan data akurat bukanlah mayoritas.
Iklan belakangan ini lebih suka menjual image atau citra yang abstrak bentuknya. Saking abstraknya, terkadang kita tak mampu membedakan iklan produk apakah ini. Pendekatan komunikasi yang digunakan, realitas yang dibungkus imajinasi. Seolah-olah produk yang dijual akan berdampak seperti imajinasi yang dikemukakan. Bungkusnya jauh lebih menarik daripada khasiat produknya.
Ini memang salah satu pendekatan paling mutakhir di bidang periklanan, atau di bidang marketing. Urusan jualan ini memang ditekuni benar oleh banyak ahli, agar kegiatan menjual bisa tetap dilakukan tanpa mengurangi rasa hormat mereka pada konsumen. Alhasil, iklan sekarang bisa membangun komunitas penggemarnya, bahkan bisa menciptakan kelompok sub-kultur yang fanatik.
Dengan pendekatan yang mutakhir ini, maka semakin hebat pula iklan memermak citra suatu produk atau jasa, atau bahkan citra seseorang. Makanya judul artikel ini adalah bagaimana iklan bisa menjadi sarana menepis rasa bersalah, atau mungkin sebuah penebusan dosa. Kita tinggal panggil agensi terkenal, utarakan maksut kita, lalu biarkan para pekerja iklan yang mengotak-atik pesan sehingga segala bintik hitam di wajah itu bisa sirna. Pekerjaannya jadi mirip tukang salon, spesialis kulit wajah.
Jadi, Anda mau membuat pengakuan dosa? Buatlah iklan! Tapi ingat, tayangnya harus prime-time, karena kalau tayang jam satu malam, ya tidak ada gunanya…
*Gambar diambil dari www.newyorksmistress.com