Halloween atau Hallowe’en merupakan tradisi perayaan malam tanggal 31 Oktober. Perayaan ini populer di Amerika Serikat, namun Irlandia disebut-sebut sebagai salah satu tempat lahirnya.
Dikisahkan Linda S. Watts dalam “Encyclopedia of American Folklore” (2006), tradisi ini berawal dari era pagan (penyembah berhala), sebelum masuknya ajaran Kristen, sebagai peringatan Hari Orang Mati atau Festival Samhain (baca sow-in).
Bagi para penganut pagan di Kelt atau Celtic, suku bangsa Eropa Tengah pada zaman kuno, ini adalah momen untuk menghormati arwah dan merefleksikan perubahan dalam hidup mereka.
Samhain dalam bahasa Gaelic berarti “akhir musim panas”, tulis BBC. Festival ini dipercaya sebagai akhir dari masa bercocok tanam, dan persiapan menuju datangnya musim dingin. Karena itu kaum pagan sering merayakannya dengan memotong hewan sebagai bekal.
Ikon Halloween berupa wajah seram yang diukir pada labu, disebut Jack-o’-lantern, konsep awalnya adalah menggunakan buah atau sayur untuk meniru penampakan wajah manusia. Tradisi ini makin populer dalam festival Samhain yang dikenal di Irlandia, Inggris, dan Skotlandia pada era tradisi kuno (Old World).
Akhir Oktober, atau malam menjelang 1 November, arwah orang mati dipercaya akan menghampiri mereka yang masih hidup. Untuk mengusir roh-roh yang gelisah itu, orang-orang akan mengenakan kostum dan menggambar wajah-wajah mengerikan pada tanaman sayur sejenis lobak, kentang, atau turnip—yang biasanya melimpah karena sedang musim panen.
Tradisi yang berevolusi
Saat ajaran Kristen mulai menyebar, festival ini diadopsi untuk melancarkan proses kristenisasi terhadap para penganut pagan. Encyclopaedia Britannica menyatakan, tanggal ini mungkin telah terpilih “dalam upaya untuk menggantikan hari suci pagan dengan ketaatan pada Kristen”.
Tanggal 31 Oktober pun dijadikan “All Hallows’ Eve”, sehari sebelum “All Hallows’ Day” yang juga dikenal sebagai “Hari Para Orang Suci”. Selanjutnya hingga kini, oleh para non-pagan, jadilah Halloween, perayaan yang lekat dengan hal-hal seputar roh atau arwah.
Mulai abad ke-20 pertengahan, Halloween dirayakan anak-anak dengan mengenakan kostum seram dan berkeliling dari pintu ke pintu rumah tetangga. Mereka akan meminta permen atau cokelat sambil mengancam, “Trick or treat!” Ancaman itu berarti “Beri kami (permen), atau kami jahili.”
Selain ukiran wajah pada sayur labu, beberapa “monster” seram juga mewarnai Halloween. Situs News.com.au pernah membuat ranking 10 monster Halloween yang dianggap menyeramkan, seperti Drakula, Werewolf, Mummy, atau Vampire. Semuanya pernah dijadikan tema film horor. Ternyata, Drakula juaranya.
Hantu impor vs hantu lokal
Kalau Halloween juga dirayakan secara luas di Indonesia, apakah arwah “impor” tersebut cocok untuk menakut-nakuti orang Indonesia? Rasanya stok berbagai makhluk seram lokal, beberapa di antaranya diangkat ke layar lebar, tidak jadi masalah.
Dalam katalog film bergenre horor di situs FilmIndonesia.or.id, tak kurang dari 250 film tercatat. Jawaranya adalah karakter yang diperankan mendiang Suzzanna pada era 80-an, Sundel Bolong (1981). Suzzanna dikenal sebagai ratunya film horor Indonesia.
Bila merujuk kepercayaan lama yang melatari Halloween, kepercayaan yang mirip juga berlaku di Indonesia: tentang arwah yang gentayangan karena penasaran, dan upaya mereka yang masih hidup untuk mengusir roh jahat.
Dibandingkan dengan daftar di media Australia itu, hanya terdapat sedikit kemiripan tipe karakter. Misalnya, Indonesia punya drakula peminum darah versi lokal.
Mitos tentang jenglot, sering diangkat dalam film ataupun sinetron, adalah golongan jin atau siluman yang menghisap darah manusia (darah perempuan haid). Atau genderuwo, raksasa yang konon doyan darah manusia.
Indonesia juga punya kuntilanak, jenis hantu langganan layar lebar. Sejak 2006 sampai dengan 2008, sutradara tersohor, Rizal Mantovani, pernah menggarap trilogi Kuntilanak. Lalu ada pocong, dan berbagai jenis hantu lainnya.
Mau hantu impor ataupun lokal, yang menarik adalah cerita-cerita ini bisa mendulang cuan. Sebaran genre per 2017, misalnya, drama mendominasi 47 judul, sedangkan genre horor 25 film.
Meski genre horor bukan yang terbanyak diproduksi, penelusuran Beritagar.id berdasarkan data situs Film Indonesia menunjukkan genre horor merupakan penghasil penonton terbanyak: 14.774.740 penonton.
Cuan di balik Halloween
Populer ke seluruh dunia lewat film, ada motif ekonomi di baliknya. Data survei Federasi Retail Nasional AS menunjukkan, bisnis di balik ajang Halloween di Amerika Serikat berpotensi mencapai $10,1 miliar, atau lebih dari Rp142 triliun pada 2021.
Nilai belanja itu meningkat drastis dibanding 10 tahun lalu, saat totalnya mencapai $6,9 miliar. Penurunan sempat terjadi pada 2020, terutama karena pandemi Covid-19 yang membuat perayaan sangat terbatas. Demi Jack-o-lanterns, Forbes mencatat pada 2018 warga AS rela mengeluarkan uang sebesar $575,26 juta untuk belanja labu.
Sekitar 62% warga bersiap dengan permen, membuat nilai belanjanya $11 lebih banyak pada 2020, selain belanja untuk dekorasi. Kostum menjadi pengeluaran terbesar, meski warga yang berkostum “mengerikan” pada 2020 sedikit menyusut, menjadi 46% dibandingkan pada 2019 yang mencapai 47%.
Kostum dewasa terpopuler pada 2020 adalah penyihir, vampire, kucing, Batman, dan hantu-hantuan. Adapun untuk anak-anak, pilihannya kostu putri, Spiderman, superhero, hantu-hantuan, dan Batman. Rupanya, tak semua tentang tokoh mistis.
Halloween, bagi perekonomian AS, jadi tolok ukur daya beli masyarakat setiap tahun. Halloween bukan sekadar soal tradisi dan budaya. Musim liburan memang momen untuk belanja–karenanya jadwal cuti bersama di sini sering direkayasa untuk mengoptimalkan masa liburan demi mendorong perilaku belanja.
Apakah hantu-hantu Halloween juga laku di sini? Kita bisa buktikan saat lebih banyak “hantu” berkeliaran pada akhir Oktober. Tepat sebulan setelah hantu lainnya selalu bangkit tiap tahun: G30S/PKI.
*Diterbitkan ulang ulang dari sini: Beritagar.id, dengan sejumlah penambahan ulasan.