Menyoal Model Bisnis Media Daring – Melék Media


Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Menyoal Model Bisnis Media Daring

Menyoal Model Bisnis Media Daring

Oleh: rahadian p. paramita -- 16 Desember, 2016 
Tentang: ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Menyoal Model Bisnis Media Daring

Bisnis media daring

Pesatnya pertumbuhan media daring di Indonesia, tak pelak memicu kreativitas upaya komersialisasi yang pas. Persaingan ketat bukan saja dalam hal menarik pembaca, tetapi juga bagaimana menghasilkan uang untuk kelanjutan hidupnya.

Menurut perkiraan eMarketer, belanja iklan di ranah daring pada 2015 baru mencapai 7,3 persen, atau sekitar $0,95 miliar. Nilai tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan total belanja iklan media di Indonesia yang diperkirakan mencapai $12,94 miliar (sekitar Rp163 triliun).

Meskipun, prediksi belanja iklan daring menunjukkan peningkatan 80 persen, dibandingkan dengan 4,7 persen dari total belanja iklan pada 2014. Ceruk yang masih sempit, diperebutkan oleh beragam pemain, adalah tantangan media daring.

Di sisi lain, pengiklan merasa lebih mudah menjangkau konsumen. Peran media, sebagai medium pengantar pesan kepada khalayak, seolah digugat di era digital. Meski belum bisa menjangkau semua orang, seiring waktu penetrasi internet akan semakin dalam.

Media daring tak hanya bersaing dengan sesama media, tetapi juga dengan (hampir) siapa saja di internet. Ranah daring sudah dikuasai oleh pemain besar seperti mesin pencari atau platform berbayar lain.

Netizen yang berkicau di Twitter, narablog yang menulis sebagai individual, jenama yang membuat medianya sendiri, atau tawaran jejaring sosial dan/atau media sosial mendekatkan jenama kepada konsumen.

Konsumen pun perilakunya ikut berubah. Tantangan bagi media daring bakal semakin beragam. Mencari model bisnis media daring yang paling berkelanjutan, menjadi tantangan terbesar.

Mengutip tulisan dari situs TechInAsia Indonesia, terdapat beberapa jenis model bisnis media daring di Indonesia. Media daring mencoba berkembang dengan model bisnis masing-masing.

Ringkasnya, ada lima model yang disebut dalam tulisan tersebut: Display Ads, Content Creation, Community Engagement, Community Insight, dan Premium Content Subscription.

Pada tahap awal perkembangan media daring, Display Ads atau iklan display digadang sebagai “model bisnis sejuta umat”. Hingga saat ini, model ini masih populer. Tiga model berbasis konten yang disebutkan di atas akan dibahas dalam tulisan ini.

Cukup mudah memahami, mengapa model ini yang pertama kali berkembang. Model tersebut tak ubahnya seperti membeli ruang di media cetak, baik koran maupun majalah, untuk menampilkan pesan pengiklan. Rumusnya sederhana, semakin besar sirkulasi atau oplah media, semakin besar pula kemungkinan pesan itu tersebar.

Hal serupa ada di televisi atau radio. Acara yang mengundang banyak pemirsa atau pendengar, akan semakin mahal harga jual “waktu”-nya, karena kemungkinan penyebaran pesannya lebih luas.

Masalahnya, model ini dipilih pengiklan jika lalu lintas pengunjung media/acara tersebut sudah memadai (baca: cukup tinggi).

Karena itu, tak mengherankan jika media daring berlomba-lomba mendapatkan pembaca. Jumlah konten diperbanyak, sudut pandang tulisan diperluas, tampilan dipercantik, dan proses penerbitan berita pun dipercepat.

Asumsi yang berkembang, semakin banyak konten, mengundang semakin banyak pembaca.

Model ini, belakangan mulai turun pamornya, karena berbagai alasan. Majalah The Economist melaporkan hal ini, dalam artikelnya berjudul “Block Shock” edisi Juni 2015.

Dilaporkan, pengguna aktif aplikasi tambahan atau extension untuk memblokir iklan saat membuka laman tertentu, sudah mencapai 200 juta per bulan (MAUs – Monthly Active Users).

Eyeo, produsen Adblock Plus, salah satu aplikasi pemblokir iklan terpopuler, menyatakan aplikasi mereka sudah diunduh lebih dari 400 juta kali. Pada umumnya pengguna memblokir iklan dari komputer desktop atau laptop mereka. Belakangan, pemblokir lewat peranti bergerak juga mulai populer.

The Economist menulis, “Hal ini mengancam model bisnis utama para penerbit, yang menggratiskan konten untuk pembaca dengan imbalan menampilkan iklan kepada mereka”.

Peminat terbesar ada di kalangan pembaca generasi muda, yang kian tinggi penolakannya pada iklan. Seiring waktu, mereka kini menjadi dewasa dan melahirkan generasi baru serupa.

Pertumbuhan pengguna aplikasi pemblokir iklan pada periode 2010-2015 PageFair dan Adobe

Data yang dilansir dari hasil studi PageFair dan Adobe awal Agustus itu, menyatakan pula bahwa 198 juta MAUs pada kuartal kedua 2015 memang hanya mewakili 6 persen dari populasi global di internet. Namun pemblokiran iklan telah membuat penerbit (media) merugi hingga USD22 miliar (sekitar Rp309 triliun dengan kurs saat ini) selama 2015, atau 14 persen dari total belanja iklan global.

Pertumbuhan penggunanya secara global pun cukup mencengangkan, 41 persen dalam 12 bulan terakhir. Khusus di Indonesia, tercatat 3,1 juta pengguna aktif per bulan memblokir iklan di perambannya, atau 7 persen dari populasi di internet Indonesia. Inilah generasi baru pembaca anti-iklan saat berselancar di internet.

Josh Hopkins, seorang Digital Marketing Manager & Strategist, pada 2014 menulis di LinkedIn, “Display Ads are Dead“. Ia menyatakan tiga argumennya.

Pertama, iklan-iklan tersebut tak layak dibagikan. Menurutnya, iklan yang baik bisa mengundang emosi dan selanjutnya mendorong orang untuk membagikannya kembali, terutama lewat media atau jejaring sosial.

Iklan display, dinilainya tak bisa menjawab hal tersebut. Ia membandingkan dengan kampanye Ice Bucket Challenge yang menyebar luas di media sosial secara global.

Kedua, pembaca mulai terlatih untuk menghindari iklan display. Ia merujuk penelitian Jakob Nielsen, seorang pionir di bidang desain web pada 2007.

Penelitian itu menyatakan, “Pengguna jarang melihat iklan display di situs web. Dari empat elemen desain yang berhasil menarik perhatian, satu di antaranya dinilai tak etis, dan mengurangi nilai (baca: reputasi) jejaring iklan itu sendiri”.

Hopkins memang mengakui, iklan display tetap laris, bahkan setelah tujuh tahun penelitian itu berlalu. Hal ini terjadi karena cara tersebut dinilai paling mudah digunakan, dan mudah pula bagi pengelola media untuk menjualnya ke pengiklan.

Ketiga, menurut Hopkins, adalah menurunnya tingkat klik atas iklan display. Ia membandingkan CTR (click through rate) 20 tahun lalu yang mencapai 50 persen. Artinya, dari 1 dari 2 pengunjung sebuah laman bisa mengklik iklan pada laman tersebut. Kini, rasionya turun drastis.

Mengutip data Google Doubleclick, rata-rata klik atas sebuah iklan display mencapai 0,1 persen, atau hanya 1 dari 1.000. Sedangkan untuk iklan display berukuran 468×60 piksel, hanya mencapai 0,04 persen, atau 1 dari 2.500 pengunjung.

Data Google terkini untuk CTR iklan display di Indonesia, sedikit lebih baik. Pada periode Juni 2014 hingga Juni 2015, CTR rata-rata untuk semua ukuran dan format iklan display adalah 0,07 persen, atau 1 dari 1.428 pengunjung.

Butuh kurang lebih 150 ribu pengunjung hanya untuk mendapatkan 100 klik saja. Sedangkan khusus iklan display berukuran 300×200 piksel, rata-rata mencapai 0,06 persen, atau 1 berbanding 1.666 pengunjung.

Angka ini tentu bervariasi untuk masing-masing media.

Reaksi pengelola media

Di Indonesia, beberapa media daring mulai mencoba metode baru. Namun iklan display belum mati. Menengok daftar harga iklan media-media daring terkini, ruang untuk memasang iklan display tetap ada.

Jenama (brand) atau para pengiklan pun masih menjadikan iklan display sebagai pilihan untuk menyampaikan pesan komersial. Tak jauh berbeda seperti yang diungkapkan Josh Hopkins.

Seperti ditulis TechInAsia, metode lain yang berkembang antara lain Content Creation. Model ini memberi ruang pada produk atau jenama untuk menampilkan konten komersial. Melalui model ini, pesan-pesan sponsor disampaikan secara halus melalui konten-konten berbentuk tulisan maupun multimedia. Nyaris tak ada beda antara konten dari redaksi dengan konten komersial model ini.

Iklan yang menyaru konten ini pun punya banyak sebutan atau jargon. Ada yang menyebutnya sponsored contentpromoted contentbranded content, yang mengacu pada tren baru, Content Marketing.

Ada pula yang menggunakan istilah native advertising. Intinya, upaya pemasaran (bukan penjualan) melalui konten ini, dinilai mengatasi keengganan pembaca terhadap iklan display.

Meski modelnya tak jauh berbeda dengan advertorial –konten mirip tulisan redaksi namun berisi pesan berbayar dari pengiklan– konten komersial model ini biasanya lebih berorientasi pada kebutuhan pembaca.

Isinya tak melulu tentang pengiklan, tetapi tentang hal-hal yang menjadi kebutuhan pembaca. Penampilannya pun tak mencolok, tak membedakan diri dari tampilan konten media yang ditumpanginya.

Lagi-lagi, karena konten yang terlalu mementingkan pengiklan mulai dikenali pembaca, dan ada generasi yang alergi dengan konten semacam itu.

Situs Mic.com termasuk salah satu media daring yang mendeklarasikan tak lagi menggunakan iklan display. “Kami tahu generasi milenial tak lagi merespon dengan baik iklan dalam bentuk display,” ujar CEO Mic, Chris Altchek kepada AdWeek (2014). Media ini mengincar target pembaca generasi milenial (lahir pada 1980-an dan setelahnya).

“Pembaca kami sangat mempercayai kami, dan kami tahu banyak jenama yang berusaha mendapatkan kepercayaan dari kaum milenial,” lanjutnya.

Sedangkan TechInAsia mencatat, media daring di Indonesia yang sudah mencoba metode ini di antaranya KompasMalesBanget, dan situs yang digadang sebagai BuzzFeed-nya Indonesia, Hipwee. Media yang terakhir ini menggunakan istilah “custom editorial content“.

Model lain yang masih mengandalkan konten adalah langganan konten premium (Premium Content Subscription). Seperti media cetak, produknya dijual lewat langganan. Namun, bahkan di media cetak, pendapatan mereka tak hanya mengandalkan model berlangganan ini.

Edi Taslim (Kompas.com), Digital Group Director dari Kompas Gramedia, saat ajang diskusi Obsat edisi 18 Februari 2013 (kala itu masih dikelola Komunitas Langsat dan Beritagar.com), menyatakan media masih menggantungkan pendapatannya dari iklan, selain langganan.

“Poinnya adalah, kita nggak bisa lepas ngomong dari sisi iklan. Kalau kita ngomong media, revenue terbesar pasti iklan. Ada yang 60-40, 70-30, yang 60 dari iklan, dan yang 40 dari sirkulasi, ada pula yang lebih tinggi,” ujarnya kala itu.

Namun, seperti yang mengemuka dalam diskusi tersebut, kue iklan di ranah daring tak hanya diincar oleh sesama media daring. Ada pemain besar seperti Google, Facebook, atau Amazon yang mendominasi. Merekalah yang mencaplok sebagian besar kue iklan di ranah daring.

Konsep model bisnis media daring

Konsep berlangganan, masih diterapkan pada konten media cetak yang disebarkan secara daring. Misalnya Kompas dengan Kompas ePaper yang menjual langganan versi digital dari koran Harian KompasKompas.com, yang murni sebagai media daring, bisa diakses gratis.

Majalah Tempo juga menerapkan bisnis yang sama, langganan versi digital dari majalah yang terbit setiap minggu. Sedangkan Tempo.co, tetap gratis. Baik Kompas.com maupun Tempo.co, lalu mengandalkan iklan daring.

Model berlangganan konten di media daring yang dinilai sukses salah satunya adalah The New York Times. Setelah empat setengah tahun menjalani model ini, mereka berhasil menembus 1 juta pelanggan digital pada 2015.

The New York Times menerapkan pembatasan jumlah berita gratis untuk pembaca di internet, hanya sepuluh artikel gratis sebulan. Lebih dari itu, pembaca diwajibkan berlangganan, atau tunggu bulan berikutnya sebelum bisa mengakses lagi secara gratis.

Ada pula gagasan model bisnis alternatif seperti dirintis perusahaan asal New York, Amerika Serikat, Thrillist. Berawal dari bisnis nawala (newsletter), mereka membeli situs JackThreads.

Mereka lalu membangun kombinasi media dengan situs belanja daring. Model ini punya argumen sendiri, antara lain menyatakan, pembaca bisa langsung mendapatkan produk yang ditulis dalam konten media.

Konten dirancang sedemikian rupa sehingga memicu keinginan dan kebutuhan untuk berbelanja. Kebutuhan itu kemudian langsung ditangkap di tempat yang sama.

Beda lagi dengan pendapat Shane Snow, CCO dari Contently, sebuah perusahaan yang melayani produksi konten komersial untuk jenama. Dalam tulisannya “The Business Model That Will ‘Save’ Journalism“, ia berargumen bahwa jurnalisme dan iklan ibarat minyak dan air, yang sulit disatukan dalam wadah yang sama.

Karenanya, ia memilih untuk mensubsidi media daring, dari uang yang tak ada hubungannya dengan aktivitas di media. Misalnya dengan memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.

Contently pun mendirikan The Contently Foundation, situs media yang mereka klaim menjalankan prinsip jurnalisme seutuhnya, dibiayai dengan menyisihkan sebagian pendapatan perusahaan induknya.

Masih banyak gagasan lain yang tak dapat disebutkan satu per satu. Misalnya model donasi, konten dari publik (user generated content – UGC), dan lain-lain. David Bauer, seorang jurnalis yang juga digital strategist, membuat daftar yang terus diperbarui mengenai beragam gagasan model bisnis media daring di blog pribadinya.

Apapun model bisnis yang dipilih, media daring tetaplah penerapan jurnalisme, yang kini populer dengan istilah jurnalisme daring (digital atau online journalism). Saran jurnalis senior AS, Jeff Jarvis, jadi patut dipertimbangkan.

Berbicara pada ajang “World News Media Congress” di Washington DC, AS, ia mendorong para pelaku media (daring) mengurangi fokus pada jumlah kunjungan dan platform media, tetapi memandang berita sebagai layanan. Demikian menurut Jarvis, seperti dikutip Journalism.co.uk, Juni 2015.

Dalam bukunya yang dipublikasikan daring di Medium, Jarvis memperjelas maksudnya, “…jurnalisme sebaiknya fokus pada dampak, mendengar kebutuhan dan apa yang diinginkan publik. Jurnalisme menjawab kebutuhan tersebut, dan mengukur keberhasilan berdasarkan dampaknya terhadap publik”.

Ide Jarvis tentu mulia, namun media pasti butuh model bisnis yang selalu relevan dengan perkembangan zaman, dan berkelanjutan. Bila tidak, eksistensinya bisa terancam.

*Photo by Raka Miftah from Pexels | Artikel ini pertama terbit di Beritagar.id pada 31 Agustus 2015, berjudul “Tantangan media daring tak kunjung padam”.

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.



Exit mobile version