Akan ada NFT di Instagram? Sejumlah pertanyaan muncul menyusul rencana Mark Zuckerberg memperkenalkan Non Fungible Token (NFT) ke Instagram dalam waktu dekat.
Tetek bengek tentang NFT sudah pernah kita bahas, silakan baca artikel itu di sini. Kini kabar terbaru, Instagram milik Meta berencana memperkenalkan NFT di panggungnya. Pertanyaan pertama yang terlintas ketika mendengar kabar ini, mau apa Instagram dengan NFT?
Selama ini, galeri NFT adalah juga lokapasar sebagai tempat “jual-beli” NFT. Ia berfungsi seperti toko online, layaknya Tokopedia atau Bukalapak. Lokapasar atau marketplace seperti Opensea, Rarible, SuperRare, atau Nifty Gateway hanyalah sebagian kecil contoh.
Kabar tentang minat Meta menggarap NFT sebenarnya sudah muncul sejak beberapa waktu lalu. Setidaknya pada awal 2022, Financial Times sudah melaporkan hal tersebut. Bahkan ketika Facebook mengubah nama menjadi Meta, indikasi ke arah itu sudah muncul.
Instagram bakal ada NFT? Maksudnya?
“Kami sedang berupaya membawa NFT ke Instagram dalam waktu dekat,” kata Mark Zuckerberg, boss Meta pemilik Instagram, Facebook, WhatsApp, dan yang lainnya, seperti dilansir Engadget (15/3/2022). Tapi tidak jelas benar apa makna pernyataan itu.
Saat pengumuman itu, ia bilang belum siap menceritakan detail apa yang akan terjadi. Tetapi selama beberapa bulan ke depan, ia membuka kemungkinan untuk menampilkan beberapa NFT ke Instagram, bahkan mungkin minting di panggung berbagi foto dan video itu.
Minting adalah proses “mendaftarkan” atau mencatatkan aset ke dalam sistem blockchain – buku besar terbuka untuk publik yang sangat aman. Butuh perubahan serius dalam infrastruktur Instagram bila ingin menambahkan fitur tersebut. Saat ini, Mark bilang mereka belum siap.
Apakah Instagram akan menjadi “marketplace” NFT?
Fortune menulis spekulasi ini dalam artikel berjudul “Mark Zuckerberg wants to make Instagram an NFT marketplace in the ‘near term’”. Pernyataan Zuckerberg yang menyinggung bagaimana atribut yang dikenakan tokoh di metaverse bisa “dijual” sebagai NFT, memperkuat argumen itu.
Praktik menjual atribut atau properti tokoh, bukan hal baru di dunia NFT. Dalam beberapa jenis gim daring, hal ini sudah lazim. Namun, gim daring bukan semata-mata lokapasar untuk NFT. Motivasinya mungkin sama-sama mendapat keuntungan, tapi bermain gim jelas tidak sama dengan galeri NFT.
NFT dalam gim daring telah mengubah paradigma pay-to-consume, menjadi play-to-earn. Mobile Legends, TheTan Arena, atau Syn City adalah beberapa contoh gim daring yang sudah mengadopsi transaksi atribut atau properti dalam gim sebagai NFT.
Mungkinkah Instagram jadi lokapasar gratis?
Mendaftarkan karya menjadi NFT butuh sejumlah biaya. Transaksi perdana di OpenSea, misalnya, butuh ratusan dolar AS. Pun transaksi berikutnya butuh puluhan dolar AS. Meskipun, ada alternatif untuk mencatatkan NFT secara gratis di lokapasar itu, menggunakan blok Polygon.
Masih ada lagi biaya yang harus dibayar pemilik NFT ke OpenSea, yaitu ongkos transaksi sebesar 2,5 persen dari harga NFT saat terjual. Bila NFT dijual oleh pemilik tangan kedua (dan seterusnya), harus membayar royalti ke pemilik pertama sebesar 10 persen.
Gizmodo menilai di antara sekian banyak pasar NFT saat ini, hambatan untuk terlibat di sana adalah biaya-biaya yang dimaksud barusan. Akankah pasar NFT Instagram gratis, selain urusan royalti? Belum tahu. Zuckerberg juga membahas Web 3, meski begitu masih belum jelas apa kaitannya.
Andaipun Instagram menuju ke sana, mereka harus waspada. Belakangan ini lokapasar NFT sedang mengalami masalah sengketa hak cipta. Gizmodo melaporkan hampir semua NFT yang dipajang gratis di OpenSea adalah konten palsu, plagiat, atau spam. Meskipun demikian, mereka belum berupaya mengurangi penyalahgunaan di situsnya.
Meta kehilangan arah?
Bagian terakhir ini adalah ide yang terlintas setelah mengamati aksi Meta belakangan. Sejak mengumumkan perubahan nama perusahaan induk Facebook menjadi Meta, berita buruk menimpa mereka. Kita bahas yang paling menonjol saja, rontoknya harga saham pada awal 2022.
Keruntuhan saham Meta Platforms Inc. dalam sehari, mencatatkan rekor terburuk dalam sejarah pasar saham. Harga saham Meta jatuh 26 persen pada perdagangan AS. Menurut Bloomberg, melenyapkan sekitar AS $251 miliar nilai asetnya. Itu hampir mencapai Rp3.600 triliun.
Michael Nathanson, analis di Moffett Nathanson, menyebut “Kerugian ini sangat dalam,” dalam catatan bertajuk “Facebook: The Beginning of the End?”. Insiden ini memang berhasil menjadi kepala berita utama di mana-mana, tetapi tidak dalam cara yang baik. Meski begitu, Facebook sudah berkali-kali diramal bakal berakhir, nyatanya masih hidup hingga kini.
Sejumlah alasan muncul, misalnya kebijakan Apple yang kian ketat dengan data pribadi—berita baik bagi pengguna. Namun ini diklaim membuat Meta kesulitan menjangkau penggunanya secara akurat lewat Facebook, atau Instagram. Alasan lain, pertumbuhan pengguna Facebook mulai mentok. Jejaring sosial itu digadang kesulitan bersaing dengan Tiktok.
Penggunaan nama Meta yang sempat mengangkat metaverse, terasa hambar karena ide ini tidak bisa dibilang otentik. Sebelum Mark menggadang Meta, metaverse sudah lebih dulu jadi buah bibir di dunia maya. Publik pun tak begitu terkesan dengan metaverse yang digagas Mark lewat Meta. Di Indonesia, politisi atau pejabat pemerintah santer “menunggang” isunya.
Gagal berinovasi, mungkin itu kata yang cocok disematkan untuk Facebook belakangan. Belum ada lagi ide baru yang bisa menyuntikkan darah segar untuk keberlanjutan Meta. Saat ini mungkin belum akan berakhir, tapi untuk jangka panjang, Meta mengkhawatirkan. Seorang analis dari India, Arvind Sanger, Managing Partner dari Geosphere Capital, menyatakan publik cemas dengan perkembangan Meta.
“Perusahaan ini telah menghabiskan AS $10 miliar, tetapi belum ada jalan terang. Ini (metaverse) akan memakan waktu cukup lama, sehingga pasar benar-benar gelisah tentang transisi tersebut dan berapa lama waktu yang dibutuhkan,” kata dia dalam The Economic Times.
Sebelumnya laba kuartalan terakhir 2021 Meta turun 8 persen dibandingkan rekor tahun sebelumnya. Penurunan ini terkait investasi di divisi Reality Labs, yang membuat kacamata virtual-realitas, kacamata pintar, dan produk lain yang belum dirilis. Divisi ini kehilangan lebih dari AS $10 miliar pada 2021, untuk membangun produk-produk yang disebut kunci dari visi Zuckerberg tentang metaverse.
Penurunan laba—bukan kerugian—sudah cukup untuk membuat reputasi Meta ternoda. Bila Mark melanjutkan mimpinya dengan metaverse yang hingga saat ini belum jelas benar arahnya, ide mengadopsi NFT di Instagram pun layak dipertanyakan. Mau kemana kau, Meta?
*Instagram photo from Pixabay via Pexels