Fenomena “mengemis online” jadi wacana. Pemerintah ikut ambil bagian dengan melarang. Pelaku bilang bukan mengemis, tapi tantangan (berbayar). Ada pula teori Schadenfreude dan Poverty Porn.
Sekilas mirip topeng monyet sejak abad-20. Atraksi dalam topeng monyet dimaksudkan untuk menghibur penonton, lewat aksi lucu atau akrobatik si monyet. Aksi paling populer misalnya menaiki sepeda motor mainan berkeliling arena, atau berlagak belanja ke pasar.
Si pawang menabuh gendang mengiringi aksi si monyet sambil membawakan narasi untuk penonton. “Sarimin pergi ke pasar,” celotehnya. Ia pula yang memungut pemberian penonton—biasanya berupa uang koin tak seberapa. Netizen generasi 90-an pasti pernah mengenalnya.
Kini pada abad-21, saat Revolusi Industri konon telah mencapai 4.0, mengubah peradaban pencetus spesies baru berjuluk “homo digitalis”, masyarakat bingung dihadapkan pada aksi serupa tapi tak sama. Konten TikTok ekstrem tak wajar belakangan populer dan jadi pergunjingan.
Duduk di atas kursi di tengah kolam air berukuran sekitar 1,5 meter x 1 meter, seorang nenek melakukan siaran langsung di panggung TikTok dengan mengguyurkan air ke tubuhnya. Selama dua jam beraksi dalam sekali tayang, si nenek bisa menangguk uang jutaan rupiah.
Video-video rekaman aksi tersebut lalu jadi viral di media sosial. Warganet menilainya sama dengan mengemis secara online. Namun “si pawang” membantahnya. SA, sang empu akun Tiktok yang membuat tayangan live tersebut menyebutnya “tantangan”.
“Kalo ini sih bukan pengemis sih menurut saya. Kenapa saya bisa bilang kaya gitu karena kita punya challenge satu mawar satu kali guyur,” ujarnya dalam sebuah acara televisi swasta, pada 19 Januari 2023 silam.
Challenge atau tantangan versi SA adalah mengguyur diri dengan air (berlumpur) dari kolam. Air yang menurutnya diambil dari sungai tersebut, diguyurkan sendiri oleh si Nenek ke tubuhnya untuk setiap “hadiah” berupa mawar—1 mawar untuk 1 gayung, 100 mawar untuk guyuran satu ember.
Mawar merah di TikTok adalah salah satu “hadiah” paling umum dari pengguna TikTok kepada akun yang melakukan tayangan langsung. Lumrahnya, ini adalah bentuk apresiasi atas aksi dalam tayangan tersebut. TikTok-ers akan memberi mawar agar/bila “tantangan” dilakukan.
Pelaku pun memanfaatkan fitur gift ini di TikTok yang dapat ditukar dengan uang. Setiap mawar bernilai AS $0,01 atau sekitar Rp200 perak. Atas argumen itulah, si pelaku berkukuh aksinya bukan mengemis. Tidak persis sama dengan aksi topeng monyet, yang harus beraksi dulu baru “dibayar”.
Fenomena “ngemis online” barusan memicu Bu Risma atau Tri Rismaharini menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 2/2023 tentang Penertiban Kegiatan Eksploitasi dan/atau Kegiatan Mengemis yang Memanfaatkan Lanjut Usia, Anak, Penyandang Disabilitas, dan/atau Kelompok Rentan Lainnya.
Menteri Sosial merasa aksi “mud bath” itu eksploitatif. Ia mengimbau para gubernur dan bupati/wali kota mencegah kegiatan mengemis, baik offline maupun online di media sosial, yang mengeksploitasi para lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, dan/atau kelompok rentan lainnya.
Beleid itu diteken per 16 Januari 2023, sekitar tiga pekan setelah tayangan “guyur berbayar” mulai jadi viral dan menuai beragam respons. Polisi pun sempat turun tangan, tetapi tidak menemukan adanya tindak pidana di balik aksi viral itu.
Polda NTB menyelidikinya karena telanjur jadi perhatian publik. Pasangan suami istri berinisial SA dan IK, pemilik akun TikTok pembuat konten video, sempat diperiksa. Mereka bahkan sudah turun ke lokasi di Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah (Loteng).
Hasil penyelidikan polisi menyimpulkan, video tayangan lansia mandi lumpur tersebut tidak memuat unsur paksaan. ”Dilakukan secara sukarela. Tidak ada paksaan,” kata Dirreskrimum Polda NTB Kombespol, Teddy Ristiawan, dalam laporan Lombok Post (23/1/2023).
Pemilik akun dikabarkan sudah meminta maaf dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Di akun Tiktok dimaksud, belakangan sudah tidak ditemukan sisa-sisa konten mandi lumpur. Akun berpengikut 63 ribu itu menyisakan konten ibu-ibu—sesekali menampilkan anak dan keluarganya.
Beragam analisis bermunculan, mencari jawaban mengapa hal ini bisa terjadi. Mengapa aksi bak “Topeng Monyet” yang diganjar recehan oleh penonton, kini bisa berlaku pada manusia dan ada yang menganggapnya wajar?
Menurut Angga Prawadika Aji, Dosen Jurusan Komunikasi, Universitas Airlangga, media sosial sekarang kerap menjadi tempat penggunanya untuk mencari ketenaran dan uang. Dua hal tersebut yang menjadi daya dorong perilaku tak masuk akal bisa berlaku.
“… eksploitasi kemiskinan dan rasa iba, sudah lama menjadi ‘bahan jualan’ pembuat konten. Ini bisa dilihat dari banyaknya reality show dan sinetron di Indonesia yang mengambil tema tentang kemiskinan dan kesedihan sejak zaman dulu,” ujarnya dalam siniar di The Conversation.
Angga juga menyoroti rendahnya literasi digital netizen Indonesia sehingga lebih menikmati konten demikian, alih-alih konten lain yang lebih bermanfaat. Di sisi lain, pemilik panggung tak begitu peduli kualitas konten yang meramaikan panggungnya—pokoknya mendatangkan pengunjung.
Di mata Ismail Fahmi, penyebabnya adalah hasrat untuk menjadi viral. Karena uang atau bukan, pendiri Drone Emprit yang menganalisis konten media sosial itu menilai siapapun terjebak pada konten yang asal viral. Baik si miskin maupun si kaya, ingin menjadi pemengaruh di media sosial.
“Media sosial khususnya TikTok ini telah menimbulkan keinginan orang untuk menjadi influencer. Semuanya ingin menjadi influencer dan untuk jadi influencer, kan, harus menghasilkan viralitas,” ujar Ismail kepada Kumparan.
Viralitas dapat dicapai setidaknya dengan kontroversi, atau menyentuh emosi. Karakteristik inilah yang menurutnya menjelaskan mengapa fenomena “ngemis online” lewat mandi lumpur ramai penonton. Ini pula yang menyebabkan anak-anak nekat menghentikan truk di pinggir jalan—demi konten viral.
Adapun sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono menyebut pemicunya bisa karena simpati, perhatian, dan uang. Indonesia terkenal dengan kedermawanan sosial yang tinggi, sehingga bisa dipengaruhi untuk mendapat belas-kasihan.
Menurut dia, pola meminta-minta di dunia nyata maupun virtual sebenarnya sama, memanfaatkan manajemen kesan. Manipulasi kesan lewat penampilan lumrah dilakukan. Untuk melihat seseorang pura-pura miskin atau benar-benar butuh di dunia nyata lebih mudah dilakukan. Berbeda soal ketika dilakukan di dunia maya atau digital.
Eksploitasi kemiskinan atau kesengsaraan jadi sorotan sejak 1980-an, lantaran konser Live Aid yang berdalih pengumpulan donasi untuk kelaparan di Ethiopia. Para bintang rock manggung di hadapan ribuan penonton, sembari menayangkan gambar-gambar anak kelaparan.
Pihak Live Aid berargumen kegiatan sosial itu menguntungkan korban. Meski begitu citra yang diwariskan telanjur terbentuk: Sebuah konser yang menggerus citra sebuah negara, sebuah kebudayaan dan krisis, mengubahnya menjadi stereotipe penderitaan ala Afrika.
Muncul istilah poverty porn, atau pornografi kemiskinan, menggunakan rumusan serupa dengan travel porn atau food porn. Semuanya meminjam istilah pornografi yang mengeksploitasi aksi seksual. Seperti seksualitas yang lantas memberi kepuasan bagi penikmatnya, begitu pula pada dua istilah belakangan.
Namun, terasa tidak pas saat disematkan dalam konteks kemiskinan. Menatap ekspresi dan fisik anak-anak kelaparan, tak lantas membuat penikmatnya membayangkan dirinya dalam kondisi tersebut, lalu terpuaskan—kecuali ia punya kelainan jiwa.
Ketika menonton atau melihat konten-konten travel porn atau food porn, penikmatnya bisa meneteskan liur saking tergiur dengan tontonannya. Bila tak sanggup meniru, menonton pun dianggap sudah cukup memuaskan. Berbeda dalam isu kemiskinan.
Memang, ada nilai uang yang ditempatkan pada penderitaan liyan. Orang dan komunitas menjadi komoditas untuk konsumsi orang lain (meski konsumsinya dalam bentuk donasi). Mengeksploitasi empati, sehingga tak sama persis dengan konteks travel atau food porn.
Bila menggunakan konteks poverty porn saat melihat fenomena “mengemis online”, tidak berarti penonton tertarik karena ingin menikmati sensasi kedinginan seperti dialami pelaku aksi. Pemberi mawar pun sepertinya tidak berempati atas aksi si nenek, karena justru memberi insentif atas aksi tersebut.
Ia tidak seperti penonton konser yang disuguhi foto-foto anak kurus kering kelaparan lalu berempati kemudian berdonasi. Penikmat tayangan langsung mandi lumpur itu sepertinya sudah melampaui empati—ia menikmati “penderitaan” yang nekat dilalui si obyek demi uang.
Itu lebih mirip perasaan gembira atas penderitaan orang lain: Schadenfreude. Filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche, menjelaskannya sebagai perasaan senang yang didapat bukan dengan membuat orang lain menderita, tetapi cukup dengan “melihat” mereka menderita.
Mereka yang tetap menyumbangkan sejumlah uang—mengetahui bahwa uang itu akan menyebabkan orang lain menderita—sepertinya cocok dengan penjelasan barusan. Alih-alih menyumbang karena berempati, mereka “menyumbang” untuk menikmati kemalangan orang lain.
Tetapi ada sedikit ketidakcocokan. Prediktor kuat Schadenfreude biasanya ada tiga, (1) ketika pengamat mendapatkan keuntungan dari kemalangan; (2) kemalangan itu dinilai pantas didapatkannya; dan (3) ketika kemalangan menimpa orang yang dicemburui.
Perasaan iri hati sebagai dasar Schadenfreude dipicu perbedaan status dan daya saing. Pengidap senang ketika kemalangan menimpa target berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan target lainnya. Schadenfreude berkurang ketika kelompok sasaran memiliki status lebih rendah atau kooperatif.
Bila penonton menikmati nenek mandi lumpur, apakah mereka iri dengan kondisi si nenek? Sepertinya tidak. Apakah status sosial mereka lebih rendah dibandingkan si nenek? Tidak juga. Apakah penonton mendapat keuntungan? Tidak dari sisi finansial, tetapi mungkin saja dari hal lain.
Di antara ketiga motif di atas, sulit mencocokkannya pada kasus mandi lumpur. Mungkin ada “keuntungan” lain yang dirasakan penonton setelah melihat pelaku “menderita”. Kepuasan atas rasa penasaran saat si pelaku melakukan hal konyol, bisa jadi wujud dari “keuntungan” itu.
Narasi barusan, mengingatkan pada film Nerve (2016). Ceritanya tentang sebuah game online bernama Nerve, yang memberikan berbagai tantangan kepada pemainnya dengan iming-iming uang. Siapa pun dapat bermain baik sebagai pemain (player) atau pengamat (watcher).
Dalam gim ini pemain akan mendapat tantangan—dari yang konyol sampai mematikan. Jika bisa memenangkan permainan ia mendapat hadiah uang. Sebaliknya bagi watcher, dia harus membayar sejumlah uang untuk bisa melihat player menyelesaikan tantangan.
Hanya beda tipis bila kita tengok ulang kasus mandi lumpur: 1 mawar untuk guyuran 1 gayung, dan 100 mawar untuk guyuran satu ember.
*Photo by Solen Feyissa via Pexels