Artikel ini bagian kedua dari 2 seri melek media atau literasi media dari sisi akademik. Bagian pertama seri artikel ini dapat dibaca di sini: Pandangan Akademik tentang Melek Media (1).
MacArthur Foundation, pernah melakukan lima tahun penelitian, antara lain berupaya mengembangkan dokumen untuk membantu lembaga pendidikan memikirkan kembali praktik mereka saat mengajar.
Dokumen ini cukup beragam isinya dalam pendekatan teoretis dan disiplin ilmu. Di dalamnya memuat pemahaman umum yang mendasari pentingnya media digital—baik sebagai subjek studi dan sebagai lingkungan belajar.
Melihat berbagai masalah yang dimuat dalam seri penelitian MacArthur dan karya lain terkait, Menurut Jonathan Fanton, presiden MacArthur Foundation, paling tidak ada lima ranah penelitian dalam literasi media atau melek media yang cakupannya luas, dan saling berhubungan (sering tumpang tindih).
Keterampilan Literasi Media
Dalam paper mereka, Jenkins et al (2006) mengidentifikasi sejumlah keterampilan sosial terkait dengan ide literasi baru dalam budaya partisipatif. Keterampilan tersebut di antaranya:
- Keterampilan berorientasi pada interaksi dengan dan dalam lingkungan, improvisasi dan eksperimentasi terhadap identitas seseorang dengan lingkungan sekitarnya (bermain dan unjuk kerja).
- Keterampilan berkaitan dengan kemampuan untuk mencari, mengakses, mengubah dan mendistribusikan konten (berjejaring dan apropriasi)
- Keterampilan berkaitan dengan kemampuan untuk menyimpan, mengolah, dan mengambil informasi – secara individual, dengan bantuan piranti digital atau dalam sekelompok orang yang mengumpulkan informasi/pengetahuan untuk mencapai tujuan bersama (kognisi terdistribusi, kecerdasan kolektif).
- Keterampilan berkaitan dengan kemampuan untuk mengalihkan perhatian di antara beberapa aliran informasi atau mengikuti alur cerita dari beberapa format media (multitasking, navigasi lintas media)
- Keterampilan berkaitan dengan kemampuan untuk mengolah, menafsirkan dan menampilkan informasi (simulasi, visualisasi)
- Keterampilan berkaitan dengan kemampuan untuk secara kritis mengevaluasi/menilai informasi, dan berhasil memandu lingkungan beragam (penilaian dan negosiasi).
Tantangan Literasi Media
Para ahli telah berupaya menjawab tantangan literasi media dengan berbagai perspektif. Sebuah titik utama yang menjadi perhatian adalah ketimpangan dalam hal akses, kesempatan partisipasi, pengalaman atau pengetahuan–semuanya merupakan bagian dari apa yang Jenkins et al (2006) sebut sebagai ‘kesenjangan partisipasi’.
Orang muda berdaya sebagai konsumen, tetapi tidak dalam hal penciptaan konten (Buckingham, 2007c, Selwyn, 2009). Menurut Hargittai & Walejko (2008), bahkan juga juga tidak terjadi dalam hal berbagi konten.
Terpinggirnya generasi muda, penurunan pengetahuan politik, motivasi dan kemampuan memproduksi juga merupakan tema sentral di sini (Bennett, 2007; Livingstone, 2007).
Bidang lain yang bermasalah, berkaitan dengan kemampuan untuk mengevaluasi informasi dalam ruang digital secara kritis – sesuatu yang bahkan di tingkat mahasiswa masih jarang (Flanagin & Metzger, 2008).
Hal ini juga menyebabkan masalah pada kredibilitas dan kepercayaan di lingkungan online. Kekhawatiran lainnya terkait etika di dunia maya, privasi online, keamanan, isu-isu hak cipta dan kepemilikan (James, et al, 2008.).
Konstruksi Identitas
Dalam hampir semua bentuk partisipasi di Web selalu melibatkan aspek manajemen identitas dan pembentukan citra. Apa yang dilakukan pengguna di dunia maya, membentuk identitas dan citra mengenai dirinya.
Kehadiran secara online, secara strategis dapat dilakukan melalui pembentukan tanda-tanda atau ciri yang mengarah pada identitas yang diinginkan, dan membuat khalayak mudah membayangkannya.
Hal ini dipelajari dengan baik dalam konteks situs jaringan sosial (Boyd, 2007; Boyd & Ellison, 2007) dan multiplayer game online yang melibatkan banyak pengguna (Gee, 2003).
Penelitian Ito et al (2008) menunjukkan bahwa peran konten media online semakin sentral terhadap praktik pembentukan identitas dan upaya orang-orang muda untuk menegosiasikan posisi dirinya, di antara teman-teman mereka.
James et al (2008) menyatakan bahwa media baru telah berperan sebagai ruang untuk bereksperimen dan mengeksplorasi mengenai identitas diri. Secara online, remaja bisa mengadakan eksperimen jenis kelamin, usia, ras, etnis atau peran sosial dalam lingkungan yang dianggap rendah risikonya.
Mereka bereksperimen dengan identitas dan umpan balik, sehingga mereka berpotensi memicu perubahan dalam aspek dirinya dalam kehidupan nyata.
Generasi muda harus memiliki kemampuan untuk menjelajah ruang online, menyesuaikan tingkat pengungkapan diri yang aman untuk melindungi informasi pribadi mereka. Keputusan untuk memanfaatkan identitas imajiner harus dibuat dengan memperhatikan norma-norma etika dan praktek sosial yang diterima lingkungan digital tertentu.
Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat
Jenkins (2006) mengeksplorasi potensi budaya partisipatif – sebuah budaya yang memberikan dukungan sosial dan interaksi, mendorong dan mempromosikan kegiatan berbagi serta belajar secara informal.
Partisipasi terkait dengan keanggotaan dalam komunitas online dan pemecahan masalah secara kolaboratif, serta pembuatan dan penyebaran isi media. Kapasitas untuk terlibat merupakan bagian integral dari budaya partisipatif.
Alat digital yang digunakan untuk ekspresi kreatif, berkolaborasi, berhubungan dengan teman sebaya, atau penyebaran isi media juga bisa dimanfaatkan untuk latihan kewarganegaraan (Rheingold, 2007).
Salah satu fungsi pendidikan literasi media dapat membekali siswa dengan keterampilan untuk melakukan hal-hal tersebut. Untuk lebih memahami partisipasi di era digital, penelitian Livingstone (2007) menunjukkan bahwa para praktisi pendidikan di lapangan harus melihat strategi analitik untuk meneliti keberhasilan dan kegagalan platform partisipatif yang ditargetkan untuk kalangan generasi muda.
Konsep keterlibatan masyarakat sipil itu sendiri adalah subyek diskusi. Dua paradigma bertentangan melihat generasi muda sebagai pelaku aktif dan terlibat (dalam komunitas online dan jaringan peer), atau sebaliknya sebagai pelaku pasif dan “liar” (dalam pemungutan suara dan mengikuti berita politik).
Bennett (2007) berpendapat bahwa konflik definisi kewarganegaraan, struktur dan bentuk tugas warga negara penyebab ketegangan antara dua sisi pandangan yang berlawanan tersebut.
Kependidikan vs Praktik Lapangan
Tema yang sering muncul di ranah literasi media baru adalah aplikasi dari ide-ide yang dikembangkan di lapangan, hingga di ranah pendidikan formal. Tempat pembelajaran, serta peran lembaga dalam upaya mendorong generasi muda menjelajah lingkungan digital, menjadi titik awal dalam diskusi itu (Ito, et al, 2008.).
Sebagaimana Buckingham (2007a) nyatakan, saat ini ada perbedaan yang tajam antara pengalaman anak-anak muda dengan teknologi di luar kelas, dan pembelajaran yang terjadi di sekolah.
Perbedaan di dua lingkungan yang berbeda tersebut tidak hanya dalam isi dan keterampilan, tetapi juga dalam bentuk keterlibatan yang dominan – aktif vs pasif, kolaboratif vs individual.
Jenkins et al (2006) menekankan pada tiga isu utama yang perlu diperhatikan sistem pendidikan, terkait dengan peluang pemuda untuk mengakses dan berpartisipasi, kapasitas untuk evaluasi kritis terhadap isi media, dan memahami nilai-nilai etika yang diperlukan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial yang kompleks di dunia online.
Gagal untuk mendukung, menanggapi atau terlibat dengan aktivitas online para generasi muda itu, dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Sayangnya, banyak institusi saat ini tampaknya meremehkan risiko-risiko keterlibatan generasi muda di dunia online (Livingstone, 2007).
Ognyanova, F. (2010). Talking past each other: Academic and media framing of literacy. Digital Culture & Education, 2:1, XX-XX. URL: https://www.digitalcultureandeducation.com/
Satu Komentar untuk “Pandangan Akademik tentang Melek Media (2)”
Trackbacks: