Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Fokus dalam Tujuan Pendidikan di Era AI

Fokus dalam Tujuan Pendidikan di Era AI

Oleh: Melekmedia -- 9 Mei, 2025 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Fokus dalam Tujuan Pendidikan di Era AI

katja anokhina unsplash kecerdasan artifisial

Kemunculan kecerdasan artifisial (KA) atau akal imitasi (AI) mendisrupsi dunia pendidikan. Kemampuan AI yang dapat menyelesaikan berbagai tugas siswa dalam hitungan detik membuat sistem tradisional terasa “usang” dan memaksa kita untuk memikirkan kembali tujuan pendidikan itu sendiri.

Fokus utama dalam tujuan pendidikan AI di era ini sebaiknya pada kemampuan untuk mendayagunakan teknologi tersebut secara etis dan optimal. Lagipula, sasarannya jenjang pendidikan dasar dan menengah sehingga kemampuan wajib yang harus dikuasai adalah: Melek AI.

Pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial (pemerintah lebih suka menggunakan istilah ini, disingkat KA), mahadata (big data), dan Internet of Things (IoT) makin mendominasi berbagai sektor. Digitalisasi mengubah cara manusia bekerja, berkomunikasi, dan memecahkan masalah.

Pemerintah telah menggagas pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA), dengan klaim sebagai kebutuhan mendasar dunia pendidikan modern, bukan sekadar mengikuti tren. Integrasi Koding dan KA dalam pendidikan memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama.

Sejak awal mengikuti diskusi tentang tema ini, “Koding dan KA”, pertanyaan pertama yang terbersit adalah: Mengapa koding dan AI dalam satu tarikan nafas?

Pertama, koding adalah disiplin ilmu yang luas, ia dimanfaatkan untuk pemrograman, dalam berbagai bahasa, dan berbagai aplikasi—bukan hanya untuk mengembangkan kecerdasan artifisial.

Kedua, ada kesan bahwa mengenalkan koding dan KA seolah kita mendorong siswa belajar tentang pembuatan aplikasi KA, menjadi produser bukan sekadar konsumer.

Kemampuan dalam koding dan KA, mungkin benar dapat membuka peluang ekonomi baru, mendukung inovasi, mendorong pertumbuhan industri digital, dan memungkinkan generasi muda berkontribusi pada ekonomi kreatif.

Kompetensi dalam penelitian dan pengembangan teknologi pun dapat bermanfaat untuk menyelesaikan berbagai tantangan. Daripada menjadi gangguan, AI seharusnya bisa dimanfaatkan.

Namun, di balik potensi dan peluang besar ini, pembelajaran koding dan KA juga menghadapi berbagai tantangan. Misalnya risiko dalam penggunaan teknologi. KA dan sistem otomatisasi membawa tantangan seperti keamanan data, bias algoritma, dan dampak sosial yang lebih luas.

Pembelajaran koding dan KA, yang melibatkan akses terbuka terhadap perangkat digital dan internet, dapat menimbulkan distraksi pada hal-hal di luar pembelajaran. Kekhawatiran ini juga ditemukan di berbagai belahan dunia dan disampaikan oleh guru di Indonesia.

Catatan dari naskah akademik Koding dan KA

Tidak terkait teknis bikin koding

Kurikulum “Koding dan KA” mencakup kompetensi peserta didik di setiap jenjang, dari SD hingga SMA/SMK. Fokusnya pada berpikir komputasional, literasi digital, algoritma pemrograman, analisis data, dan etika KA.

Dari situ, tampaknya tidak menyiratkan kemampuan teknis seperti koding. Gagasan ini menyentuh kemampuan dasar, tidak menjamin anak jago koding atau jago membuat/memanfaatkan KA. Penggunaan istilah “koding” di situ rentan mengalihkan perhatian.

Implementasi pembelajaran Koding dan KA pun tidak wajib alias opsional—dapat diterapkan melalui intrakurikuler, kokurikuler, atau ekstrakurikuler—mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan politis. Ini daftarnya:

  • Berpikir Komputasional: Melatih peserta didik untuk memecahkan masalah secara sistematis dan efisien melalui dekomposisi masalah, pengenalan pola, abstraksi, dan penyusunan algoritma.
  • Literasi Digital: Kemampuan memahami, memanfaatkan, memproduksi, dan mendiseminasikan konten digital, serta memahami manfaat, dampak, dan etika penggunaan teknologi digital.
  • Algoritma Pemrograman: Belajar menyusun langkah-langkah logis untuk menyelesaikan masalah, mulai dari instruksi sederhana hingga algoritma yang lebih kompleks.
  • Analisis Data: Memahami konsep dasar basis data dan mampu menerapkan pengolahan data.
  • Literasi dan Etika Kecerdasan Artifisial: Memahami konsep dasar KA, cara kerjanya, manfaat dan dampaknya, isu-isu seperti bias dan ketergantungan, serta etika dan hukum dalam penggunaannya.
  • Pemanfaatan dan Pengembangan Kecerdasan Artifisial: Menggunakan perangkat KA sederhana secara kritis dan membangun model atau aplikasi KA sederhana.

Literasi dan etika AI malah opsional

Karena implementasi pembelajaran Koding dan KA tidak wajib, yang perlu disoroti dari daftar materi di atas adalah penggabungan Literasi dan Etika Kecerdasan Artifisial. Mengapa dua materi ini bisa disatukan? Bila materi ini tidak wajib, apa kata dunia?

Nanti kita akan melihat bahwa dalam versi yang lain, dua materi ini penting sehingga punya posisinya sendiri.

Pemerintah Indonesia, melalui Komdigi, sangat peduli dan ingin memastikan “pisau AI” ini dipakai untuk hal-hal baik dan aman bagi semua orang. Saking seriusnya telah terbit Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.

Ini semacam panduan resmi bagi perusahaan atau siapa saja yang mengembangkan dan menggunakan AI di Indonesia. Ada beberapa alasan kuat yang dipaparkan:

  • Supaya AI Bermanfaat dan Tidak Menyesatkan. Pernah lihat video palsu atau “deepfake” yang terlihat sangat asli, seolah-olah seseorang berbicara padahal tidak? Nah, pemerintah ingin ada aturan etika agar pembuat AI tidak membuat hal-hal seperti itu, dan masyarakat bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu (literasi).
  • Agar AI Adil untuk Semua. Bayangkan ada sistem AI yang dipakai untuk menyeleksi lamaran kerja, tapi tanpa sadar, sistem itu lebih sering memilih laki-laki dibanding perempuan, atau orang dari suku tertentu dibanding yang lain. Ini namanya bias. AI harus dirancang dan digunakan secara adil, tanpa diskriminasi, dan semua orang punya kesempatan yang sama.
  • Membangun Kepercayaan Masyarakat. Kalau Anda tahu bahwa aplikasi yang Anda pakai melindungi data pribadi Anda dan tidak akan menyalahgunakannya, Anda pasti lebih tenang dan percaya, kan? Dengan etika dan pedoman yang jelas, masyarakat lebih percaya pada teknologi AI.
  • Menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia. Calon dan para pekerja harus tahu bagaimana menggunakan AI secara cerdas dan aman, mirip seperti mereka tahu cara menggunakan internet dengan bijak. Ini bukan cuma soal bisa mengoperasikan AI, tapi juga memahami etika dan risiko di baliknya.
  • Mengikuti Aturan Main Dunia. Banyak negara di dunia, bahkan lembaga internasional seperti PBB (UNESCO atau OECD), sudah punya pedoman etika untuk AI. Indonesia tidak mau ketinggalan dan ingin memastikan tata kelola AI kita sejalan dengan standar global.

Penjelasan barusan isinya nyaris semua tentang etika. Bagian literasi hanya dibahas sedikit, itupun terkotak dalam kemampuan “membedakan mana yang asli dan mana yang palsu”. Ini menunjukkan perspektif yang sempit dalam hal literasi AI, atau melek AI.

Ketika semua materi tersebut tidak diwajibkan, artinya anak-anak kehilangan dasar-dasar kemampua untuk menghadapi era AI. Ini artinya fokus tujuan pendidikan AI di Indonesia telah keluar jalur.

Fokus Pendidikan di era AI: Melek AI

Apa itu ada Melek AI, atau AI Literacy? Melek AI adalah kemampuan memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan teknologi AI secara kritis dan bertanggung jawab. Cocok diajarkan pada jenjang dasar dan menengah, membekali siswa (dan guru) saat menghadapi teknologi KA.

Kerangka Melek AI yang bisa dirujuk, bisa diambil dari OECD. Di sana semua aspek yang digagas “Koding dan KA” sebenarnya sudah diakomodir Melek AI. Etika tetap menjadi aspek krusial yang harus dipahami peserta didik, bahkan berdiri sendiri, terpisah dari materi tentang literasi AI.

Dalam versi ini, Melek AI atau AI Literacy adalah fokusnya. Lihatlah bagaimana ia membangun orbit dalam semesta pembelajaran AI. Melek digital, etika AI, bahkan melek media jadi “planetnya”. Didukung materi teknis computer science dan data science, dilandasi kerangka pikir desain.

Semesta Melek AI dari OECD va MIL for ASEAN Network

OECD menganut prinsip berikut soal implementasi AI, bagi pengambil kebijakan maupun pelaku industri:

Mendorong Pertumbuhan Inklusif, Pembangunan Berkelanjutan, dan Kesejahteraan: AI harus bermanfaat bagi individu, masyarakat, dan lingkungan, termasuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi, sosial, gender, dan lainnya, serta melindungi lingkungan alam.

Menghormati Hak Asasi Manusia dan Nilai-nilai Demokratis: Sistem AI harus dirancang untuk menghormati supremasi hukum, hak asasi manusia, nilai-nilai demokratis, dan keragaman. Ini mencakup non-diskriminasi, kesetaraan, kebebasan, martabat, otonomi individu, privasi, dan perlindungan data.

Transparansi dan Keterjelasan: Pembuat dan pengembang AI harus berkomitmen pada transparansi dan pengungkapan yang bertanggung jawab mengenai sistem AI. Informasi yang bermakna, sesuai konteks, harus diberikan untuk memahami hasil berbasis AI dan dapat menantangnya.

Ketahanan, Keamanan, dan Keselamatan: Sistem AI harus berfungsi dengan tepat dan tidak menimbulkan risiko keselamatan dan/atau keamanan yang tidak wajar saat digunakan, baik penggunaan yang dapat diperkirakan, maupun saat penyalahgunaan, serta kondisi merugikan lainnya.

Akuntabilitas: Organisasi dan individu yang mengembangkan, menyebarkan, atau mengoperasikan sistem AI harus bertanggung jawab atas fungsi yang tepat sesuai dengan prinsip-prinsip di atas.

Dibandingkan dengan istilah “koding dan kecerdasan artifisial” yang terasa sangat teknis, Melek AI jauh lebih pas untuk membangun citra “pendidikan yang mengembangkan berpikir komputasional, literasi digital, algoritma pemrograman, analisis data, dan etika KA.”

Dengan dasar ini, fokus pembelajaran AI harus diubah menjadi Melek AI, bahkan harus didorong untuk menjadi materi wajib, bukan pilihan seperti yang dilekatkan pada gagasan pendidikan Koding dan KA oleh Pemerintah. Anda setuju kan?

*Photo by Katja Anokhina on Unsplash

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.



Exit mobile version