
Kemunculan Kecerdasan Artifisial (KA) atau Akal Imitasi (AI) menghadirkan gangguan signifikan di dunia pendidikan. Kemampuan AI yang dapat menyelesaikan berbagai tugas siswa dalam hitungan detik membuat sistem tradisional terasa “usang” dan memaksa kita untuk memikirkan kembali tujuan pendidikan itu sendiri.
Pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial (pemerintah lebih suka menggunakan istilah ini, disingkat KA), mahadata (big data), dan Internet of Things (IoT) makin mendominasi berbagai sektor, dan digitalisasi telah mengubah cara manusia bekerja, berkomunikasi, dan memecahkan masalah. Daripada menjadi gangguan, teknologi ini baiknya dimanfaatkan.
Pemerintah kemudian menggagas pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA), dengan klaim bukan sekadar mengikuti tren, melainkan kebutuhan mendasar dalam dunia pendidikan modern. Integrasi Koding dan KA dalam pendidikan untuk memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk menghadapi tantangan ini.
Sejak awal mengikuti diskusi tentang tema ini, “Koding dan KA”, pertanyaan pertama yang terbesit adalah: Mengapa koding dan AI dalam satu tarikan nafas? Pertama, koding adalah satu disiplin ilmu yang luas, ia dimanfaatkan untuk pemrograman, dalam berbagai bahasa, dan berbagai aplikasi—bukan hanya untuk mengembangkan kecerdasan artifisial.
Kedua, ada kesan bahwa mengenalkan koding dan KA seolah kita akan mendorong siswa belajar tentang pembuatan aplikasi KA, menjadi produser bukan sekadar konsumer. Tapi tidak begitu kenyataannya. Koding dianggap penting karena bagian dari pengembangan KA, dan meskipun kurikulum KA nanti lebih berat pada pemanfaatannya, koding juga dianggap satu paket.
Sebenarnya ada Melek AI, atau AI Literacy yang bisa dikenalkan ke siswa, mengingat ini adalah sekolah tingkat dasar dan menengah. Kemampuan ini sudah cukup untuk membekali siswa agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan KA, atau paling tidak membekali mereka saat berhadapan dengan produk KA. Maka kemampuan koding dan berpikir komputasional lebih prioritas, plus Melek AI.
Kemampuan dalam koding dan KA, mungkin benar mampu membuka peluang ekonomi baru, mendukung inovasi, mendorong pertumbuhan industri digital, dan memungkinkan generasi muda berkontribusi pada ekonomi kreatif. Pendidikan berbasis koding dan KA harus bisa mencetak generasi inovator yang mampu berkontribusi pada penelitian dan pengembangan teknologi untuk menyelesaikan berbagai tantangan.
Namun, di balik potensi dan peluang besar ini, menghadirkan pembelajaran koding dan KA di kelas juga menghadapi berbagai tantangan dan potensi ancaman. Misalnya potensi risiko dalam penggunaan teknologi. Kecerdasan artifisial dan sistem otomatisasi membawa tantangan seperti keamanan data, bias algoritma, dan dampak sosial yang lebih luas.
Pembelajaran koding dan KA, yang seringkali melibatkan akses terbuka terhadap perangkat digital dan internet, dapat menimbulkan potensi peserta didik terdistraksi dengan hal-hal di luar pembelajaran. Kekhawatiran ini juga ditemukan di berbagai belahan dunia dan disampaikan oleh guru di Indonesia. Sekolah dituntut tidak hanya menyediakan infrastruktur yang memadai, tetapi juga andal.
Catatan dari naskah akademik Koding dan KA
Pemerintah menegaskan kurikulum pendidikan perlu memasukkan literasi digital, termasuk pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial, untuk memastikan pendidikan bermutu dapat diakses oleh semua peserta didik. Urgensi integrasi ini makin meningkat seiring dengan perkembangan Industri 4.0 dan 5.0, yang menuntut sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan digital yang kuat.
Tanpa literasi digital dan penguasaan teknologi yang memadai, generasi muda akan kesulitan bersaing di dunia kerja yang berbasis digital. Pembelajaran Koding dan KA tidak hanya meningkatkan literasi digital dan kemampuan penyelesaian masalah, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan esensial. Keterampilan ini mencakup berpikir komputasional, analisis data, algoritma pemrograman, etika KA, human-centered mindset, design system KA, dan teknik KA.
Dalam naskah akademik Koding dan KA, materi utama yang akan diajarkan di antaranya adalah:
- Berpikir Komputasional: Melatih peserta didik untuk memecahkan masalah secara sistematis dan efisien melalui dekomposisi masalah, pengenalan pola, abstraksi, dan penyusunan algoritma. Ini adalah fondasi dari pembelajaran koding dan KA.
- Literasi Digital: Meliputi kemampuan memahami, memanfaatkan, memproduksi, dan mendiseminasikan konten digital, serta memahami manfaat, dampak, dan etika penggunaan teknologi digital.
- Algoritma Pemrograman: Belajar menyusun langkah-langkah logis untuk menyelesaikan masalah, mulai dari instruksi sederhana hingga algoritma yang lebih kompleks.
- Analisis Data: Memahami konsep dasar basis data dan mampu menerapkan pengolahan data.
- Literasi dan Etika Kecerdasan Artifisial: Memahami konsep dasar KA, cara kerjanya, manfaat dan dampaknya, isu-isu seperti bias dan ketergantungan, serta tanggung jawab etis dan hukum dalam penggunaannya.
- Pemanfaatan dan Pengembangan Kecerdasan Artifisial: Belajar menggunakan perangkat KA sederhana secara kritis dan membangun model atau aplikasi KA sederhana.
Berpikir komputasional, yang merupakan fondasi pembelajaran Koding dan KA, mengajarkan peserta didik untuk menyelesaikan masalah secara sistematis dan efisien melalui proses dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma. Pembelajaran ini juga membangun kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan pemecahan masalah, yang sangat dibutuhkan di dunia yang terus berubah.
Inti dari berpikir komputasional bukanlah berpikir seperti komputer, tetapi lebih kepada menggunakan konsep dasar ilmu komputer untuk memecahkan masalah secara efisien. Kemampuan ini lebih bersifat kognitif dan logis, bukan semata-mata keterampilan teknis pemrograman.
Kemampuan ini dilandasi keterampilan dalam pemecahan masalah. Ini adalah dasar utama. Berpikir komputasional adalah alat atau metode untuk memecahkan masalah. Tanpa keinginan atau kemampuan dasar untuk mengidentifikasi masalah dan mencari cara menyelesaikannya, berpikir komputasional sulit diterapkan.
Selain itu, perlu daya berpikir logis dan kritis: Kemampuan untuk berpikir secara runtut, mengikuti alur sebab-akibat, dan membuat kesimpulan berdasarkan penalaran yang valid. Ini krusial dalam proses dekomposisi dan perancangan algoritma. Juga harus kritis, mampu mengevaluasi informasi, asumsi, dan potensi solusi secara objektif. Penting dalam memilih pendekatan yang tepat dan memvalidasi algoritma.
Berpikir komputasional juga mensyaratkan kemampuan analisis dan mengenali pola. Siswa harus mampu menguraikan suatu informasi atau masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk dipahami secara mendalam. Ini berkaitan erat dengan dekomposisi. Kepekaan terhadap keberadaan pola, tren, atau kesamaan dalam data atau situasi yang berbeda juga sangat dibutuhkan.
Mengingat banjir informasi belakangan ini, penting bagi siswa untuk fokus pada hal-hal yang esensial dan relevan sambil mengabaikan detail tidak penting. Ini memungkinkan penyederhanaan masalah agar lebih mudah dikelola. Meski begitu, tidak bisa mengabaikan ketelitian dan sistematika, bekerja runtut, langkah demi langkah, dan memperhatikan detail untuk memastikan algoritma atau solusi yang dirancang akurat serta berfungsi sebagaimana mestinya.
Itu baru satu hal, terkait dengan berpikir komputasional. Berikutnya, kemampuan literasi digital. Data terakhir yang bisa kita lihat dari survei literasi digital yang dilakukan per 2022. Indeks Literasi Digital Indonesia 2022 naik dibandingkan tahun sebelumnya, tapi kenaikannya tidak signifikan sehingga belum tergolong advance. Meski tidak spesifik menyasar anak sekolah, data ini bisa jadi gambaran awal.
Survei yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Katadata pada 2022 itu mencatat kenaikan Indeks Literasi Digital Indonesia sebesar 0,05 poin; dari 3,49 menjadi 3,54 (maksimal nilai 5). Dari empat pilar, tiga yang meningkat, Digital Skill; Digital Ethics; dan Digital Safety. Sedangkan pilar Digital Culture turun meskipun capaiannya masih paling tinggi.
Bila yang diukur adalah kemampuan memahami, memanfaatkan, memproduksi, dan mendiseminasikan konten digital, serta memahami manfaat, dampak, dan etika penggunaan teknologi digital, keempat pilar barusan bisa memberi gambaran: kemampuan literasi digital kita masih pas-pasan. Perlu upaya lebih untuk meningkatkan sektor ini, terutama di kalangan anak-anak sekolah.
Dalam riset lanjutan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) merilis Skor Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI). Pada 2024 tercatat capaiannya 43,34 atau naik dibandingkan capaian 2023 yang sebesar 43,18. Menurut pemerintah, pengukuran IMDI dilakukan untuk mengukur tren keterampilan dan literasi digital.
Mirip Indeks Literasi Digital, IMDI juga punya empat pilar, yakni infrastruktur dan ekosistem, keterampilan digital, pemberdayaan, dan pekerjaan. Masing-masing pilar paling tinggi bernilai 100 untuk mencapai kondisi sempurna. Bagaimana dengan guru-gurunya? Apakah mereka sudah cukup melek digital? Tidak ada angka yang spesifik untuk meyakinkan.
Sama seperti pada aspek berpikir komputasional, kita tak punya gambaran jelas apakah guru-guru yang mengajarkan koding dan KA ini cukup mumpuni. Dua aspek ini bisa dibilang pengetahuan baru yang populer seiring maraknya teknologi digital—dalam banyak literatur disebut sejak lahirnya revolusi industri 4.0. Rasanya kita bisa sepakat bahwa PR pertama adalah menghasilkan guru-guru 4.0 yang mumpuni.
Berikut catatan lain dari dokumen naskah akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pada Pendidikan Dasar dan Menengah yang dirilis Maret 2025 silam:
- Pengakuan Urgensi: Dokumen ini dengan tegas menyoroti kebutuhan fundamental untuk mengintegrasikan Koding dan KA dalam kurikulum sekolah demi membangun SDM unggul dan adaptif, bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan.
- Landasan Komprehensif: Naskah ini didasarkan pada berbagai landasan, termasuk filosofis (Ki Hadjar Dewantara, perenialisme, progresivisme, dll.), pedagogis (berpikir logis, kritis, analitis, pembelajaran berdiferensiasi), sosiologis (pendidikan bagian dari masyarakat), yuridis (UU Sisdiknas, RPJPN, Permendikbudristek), dan empiris (praktik di negara lain). Hal ini menunjukkan upaya penyusunan yang mendalam.
- Kerangka Kurikulum Jelas: Dokumen ini mengusulkan elemen pembelajaran Koding dan KA yang mencakup berpikir komputasional, literasi digital, algoritma pemrograman, analisis data, literasi dan etika KA, serta pemanfaatan dan pengembangan KA. Capaian belajar dirumuskan secara bertahap sesuai jenjang (Fase C, D, E, F).
- Fleksibilitas Implementasi: Dokumen menawarkan beberapa opsi penerapan (wajib, pilihan, terintegrasi/kokurikuler, ekstrakurikuler) dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan politis serta kesiapan sekolah. Pendekatan bertahap disesuaikan dengan kesiapan sekolah juga ditekankan.
- Fokus pada Etika KA: Pengenalan konsep dan etika penggunaan KA yang bertanggung jawab menjadi bagian penting dari kurikulum di setiap jenjang. Ini krusial mengingat potensi risiko KA seperti bias dan isu privasi.
- Metode dan Evaluasi Beragam: Berbagai metode pembelajaran diusulkan (berbasis masalah, berbasis projek, gamifikasi, plugged/unplugged), serta pentingnya penilaian autentik dan evaluasi berkelanjutan.
- Peran Guru dan Pelatihan: Dokumen mengakui peran sentral guru dan mengusulkan penguatan kualifikasi dan kompetensi guru melalui program pelatihan bertahap (bimtek, IN-ON-IN).
- Kolaborasi Multi-stakeholder: Pentingnya sinergi antara pemerintah, industri, akademisi, komunitas, dan NGO/LSM ditekankan untuk mendukung implementasi.
- Belajar dari Pengalaman Internasional: Naskah ini mengkaji praktik di berbagai negara (Tiongkok, Singapura, India, Korea Selatan, Australia) dan menggunakannya sebagai pelajaran berharga untuk Indonesia.
Tantangan menghadirkan KA di kelas
Sebuah siniar berjudul “Your Undivided Attention” mengundang dua narasumber yang merupakan ahli dalam bidang pendidikan dan kognisi: Maryanne Wolf, seorang ahli neurosains kognitif dan pakar perkembangan otak belajar; dan Rebecca Winthrop, direktur Center for Universal Education di Brookings Institution.
Diskusi dalam episode ini merespons kecerdasan artifisial (KA/AI), khususnya aplikasi Generative AI seperti ChatGPT, yang menghadirkan gangguan (disrupsi) pada sistem pendidikan. AI telah membuat guru sulit mendeteksi penggunaannya dan membuat konsep tugas serta penilaian “tradisional” menjadi tidak relevan.
Siniar ini mengidentifikasi sejumlah ancaman sekaligus potensi peluang dari adopsi AI di sekolah. Di antara ancaman penggunaan AI dalam pendidikan yang perlu diperhatikan adalah:
- Gangguan Sistem Pendidikan Tradisional: AI seperti ChatGPT dapat menyelesaikan tugas rumah, menulis esai, memberikan ringkasan, dan menjawab soal dengan cepat, membuat guru sulit mendeteksi penggunaannya dan konsep tugas serta penilaian lama menjadi tidak relevan atau rusak.
- Tekanan untuk Menyalahgunakan AI: Adanya tekanan untuk mendapatkan nilai bagus sering kali membuat siswa merasa ‘harus’ menggunakan alat AI, bahkan untuk mencontek, agar tidak tertinggal dari teman-teman mereka, terlepas dari keinginan pribadi mereka.
- Tawar-menawar Faustian”: Pengenalan teknologi, termasuk AI, di kelas sering dilihat sebagai tawar-menawar Faustian, di mana sesuatu yang penting secara moral (seperti proses berpikir mendalam) ditukar dengan keuntungan material (seperti efisiensi).
- Pengalihdayaan Kognitif (Cognitive Offloading): AI melakukan upaya mental yang seharusnya dilakukan siswa, upaya yang esensial untuk membangun sirkuit pembelajaran dan mengembangkan keterampilan kognitif inti seperti berpikir analogis, inferensial, empatik, dan yang paling penting, berpikir kritis. Mengalihdayakan pengembangan keterampilan fundamental ini dianggap sangat tidak diinginkan dan berpotensi membuat siswa tidak terampil (deskilled).
- Merusak Keterampilan Membaca Mendalam: Penggunaan perangkat digital cenderung mendorong “pembelajaran dangkal” (surface learning) atau “skimming” (membaca pola ‘F’ atau ‘Z’), membuat pembaca melewatkan nuansa dan koneksi mendalam, yang penting demi pemikiran kompleks. Penelitian menunjukkan keterampilan membaca mendalam paling baik dikembangkan melalui media cetak, terutama pada usia perkembangan krusial.
- Dampak Negatif Paparan Digital Dini: Data menunjukkan paparan digital yang tinggi pada usia dini (0-8 tahun) berkaitan dengan penurunan mekanisme perhatian dan kinerja akademik. Pada usia 0-5 tahun, paparan digital menyebabkan gangguan perhatian, perhatian parsial berkelanjutan (continuous partial attention), dan stimulasi berlebihan.
- Meningkatkan Ketidaklibatan Siswa: Penggunaan teknologi yang tidak tepat atau fokus pada “pembelajaran dangkal” dapat berkontribusi pada siswa yang merasa tidak suka dengan apa yang mereka lakukan di sekolah dan berada dalam “mode penumpang” (passenger mode), hanya melakukan upaya minimum. Siswa dalam “achiever mode” pun bisa menjadi rapuh, enggan mengambil risiko, dan kurang adaptif karena fokus pada hasil, bukan proses.
- Adopsi Teknologi yang Didorong oleh Tekanan Sosial: Adopsi teknologi di sekolah sering kali didorong oleh tekanan sosial atau “FOMO” (Fear of Missing Out), bukan berdasarkan pemahaman mendalam tentang perkembangan anak atau pedagogi. Banyak teknologi pendidikan dibuat oleh non-edukator, berfokus pada skalabilitas dan kemudahan adopsi massal (“plug and play“). Akibatnya, sebagian besar edtech hanya menggantikan atau menambah fungsi analog (substitusi atau augmentasi) tanpa secara fundamental mengubah pendidikan.
- Potensi Merugikan Pelajar Usia Dini: AI berpotensi merugikan pelajar usia dini dengan mendorong pengalihdayaan kognitif sebelum keterampilan fundamental berkembang penuh. Ini berbeda dengan bagaimana AI dapat membantu pelajar dewasa.
- Risiko Perubahan Sosialisasi dan Interaksi: AI dapat mengubah cara anak bersosialisasi dan berinteraksi. Memungkinkan perlakuan kasar terhadap chatbot (menginterupsi, bersikap kasar) dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan manusia, berpotensi merusak sifat dasar hubungan antarmanusia.
- Dampak Tak Terduga pada “Commons” Sosial: AI berpotensi menyisipkan dirinya dalam interaksi dan institusi kita, menciptakan kerugian besar pada “commons” sosial yang bahkan belum kita sadari, serupa dengan dampak sosial media yang baru disadari belakangan.
Tentu saja di balik berbagai ancaman kehadiran AI atau KA dalam pendidikan, ada peluang yang bisa ditangkap. Bila parapihak di sekolah mampu memanfaatkan teknologi ini dengan baik dan benar, terdapat sejumlah potensi untuk memutakhirkan pendidikan sekolah, di antaranya:
- Memaksa Pemikiran Ulang Tujuan Pendidikan: Kemunculan AI secara fundamental memaksa kita untuk mempertanyakan dan memikirkan kembali tujuan sebenarnya dari pendidikan.
- Potensi Peran Positif Teknologi: Meskipun ada risiko, teknologi (termasuk AI) juga optimistis dapat memainkan peran positif di kelas jika digunakan dengan tepat.
- Mendukung “Mode Eksplorasi” (Explore Mode): AI dan teknologi dapat digunakan untuk membantu siswa masuk ke “mode eksplorasi”, di mana mereka didorong oleh rasa ingin tahu dan menjadi pembelajar yang gigih dan adaptif. Contoh penggunaan Realitas Virtual (VR) di ASU Biology 101 menunjukkan peningkatan kinerja siswa karena adanya elemen eksplorasi.
- Mendukung Pendekatan Berbasis Proyek/Masalah: AI dapat mendukung pergeseran dari “age of achievement” ke “age of agency“, menekankan penerapan pengetahuan. Pendekatan berbasis proyek atau masalah yang otentik dan relevan dengan kehidupan siswa dapat menjadi lebih bermakna dan efektif, di mana siswa belajar konten saat mencoba memecahkan masalah nyata.
- Potensi sebagai Tutor Individual: AI memiliki potensi besar sebagai tutor individual, terutama dalam konteks di mana instruksi dasar sangat minim. Penelitian awal di Nigeria menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam membantu siswa mempelajari Bahasa Inggris.
- Membantu Pengguna Dewasa dalam Sistem Pendidikan: AI dapat “mempercepat” (supercharge) pembelajaran dewasa yang telah memiliki keterampilan kognitif inti. AI juga sangat membantu orang dewasa dalam sistem pendidikan (guru, staf) dengan tugas-tugas administratif yang membosankan, seperti penjadwalan bus, kalender, atau penilaian cepat, membuat hidup mereka lebih efisien.
- Mendukung Kebutuhan Khusus: Teknologi, ketika dikembangkan oleh pendidik, dapat sangat efektif dalam mendukung anak-anak dengan kebutuhan neurodivergen, seperti perangkat lunak disleksia.
- Mendorong Pengembangan Keterampilan Baru: Di dunia AI, siswa tidak hanya perlu mengakuisisi informasi, tetapi juga membutuhkan keterampilan baru seperti mengelola AI dan menerapkan pengetahuan.
Meskipun AI menawarkan potensi efisiensi dan dukungan, terutama bagi pengguna dewasa dan dalam konteks tertentu, implementasinya dalam pendidikan anak-anak harus didekati dengan sangat hati-hati dan disengaja (dengan perencanaan yang matang).
Penting untuk memilih pendekatan yang hati-hati, proaktif, dan berpusat pada manusia dalam mengintegrasikan teknologi (terutama AI) dalam pendidikan, khususnya untuk anak-anak. Melakukan evaluasi risiko dini (“pre-mortem”) adalah langkah krusial.
Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa teknologi tidak menggeser fokus pendidikan dari pengembangan keterampilan berpikir mendasar dan tujuan pendidikan yang lebih luas. Semua ini harus dilandasi oleh prinsip fundamental “kewajiban merawat” (duty of care) untuk melindungi dan memprioritaskan kesejahteraan anak-anak sebagai pengguna utama teknologi tersebut.
Photo by Katja Anokhina on Unsplash
Komentar Anda?