Berita tentang e-Sports atau olahraga berbasis media elektronik seperti gim daring masuk kurikulum, sudah muncul beberapa tahun belakangan. Alasannya, soal karier di masa depan hingga pemanfaatannya dalam pendidikan. Tapi perlukah menormalisasi e-Sports di sekolah, saat ini?
Nama-nama pemain dengan pendapatan ratusan juta rupiah, seperti Muhammmad Rizky “inYourdreaM” Anugrah, Kevin “xccurate” Susanto, ataupun Hansel “BnTeT” Ferdinand, rupanya jadi daya tarik untuk menekuni karier sebagai pemain e-Sports profesional di Indonesia.
Demam olahraga elektronik inipun menyebar luas. Bukan hanya dari sisi pemain, parapihak seperti pemerintah, lewat Kemenpora, juga ikut mendorong karier pemain profesional sejak dini.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, pada 2019 lalu menggagas e-Sports masuk kurikulum. Dia menyebut e-Sports sebagai olahraga yang melatih fisik maupun mental. Permainan ini menuntut konsentrasi tinggi dan ketahanan tubuh untuk bermain selama berjam-jam.
Gagasan ini menuai pro-kontra. Siswa-siswa yang diangkut pemberitaan media, menyatakan setuju. Orang tua, ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang hanya “setengah” setuju.
Gim daring semisal Mobile Legends, Arena of Valor, PUBG, Clash Royale, Hearthstone, StarCraft 2, PES 2018, atau Leauge of Legends (LoL) mungkin bisa masuk sekolah. Apakah bisa menjadi mata pelajaran, atau cukup sebagai ekstrakurikuler, masih jadi perdebatan.
Pemerhati pendidikan menilai e-Sports dalam kurikulum tidak realistis karena dapat mengacaukan kurikulum yang telah dibuat dan diterapkan. Online game itu baiknya dimasukkan dalam kegiatan ekstrakurikuler saja. Banyak keraguan, termasuk soal dampak sehingga perlu pengaturan yang jelas.
Sementara, pihak asosiasi yang menaungi olahraga ini menyatakan banyak materi seputar permainan yang bisa diajarkan. Contoh, soal event organizer atau pemograman gim. Artinya, tidak melulu tentang cara bermain atau menjadi atlet, tetapi keterampilan lain di semesta e-Sports.
Kalau Anda tonton video di YouTube tentang pernyataan Pak Menteri, tengoklah komentar-komentar di bawahnya. Tidak bisa dipastikan apakah mereka adalah para siswa, tetapi nuansa dukungan sangat kuat dari mereka yang (tampaknya) sudah akrab dengan permainan ini.
Adapun upaya untuk memanfaatkan gim daring dalam pembelajaran sudah ada yang mencobanya di sekolah. Dalam berita CNN Indonesia di bawah ini, SMA 1 PSKD (Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta) merupakan sekolah pertama di Indonesia menjadikan e-Sports sebagai “bagian dari kurikulum”.
Sejatinya sekolah ini membuat dua kategori, ekstrakurikuler dan pelajaran tambahan pilihan tentang e-Sports. Bagi yang tertarik mendalami, peserta mendapat jadwal belajar selain unsur kurikulum standar, berisi program pembinaan e-Sports hasil kerja sama dengan sejumlah lembaga terkait.
Kelindan e-Sports dan pendidikan formal
Bicara tentang e-Sports, mau tak mau kita perlu singgung Korea Selatan. Digadang sebagai “Mekkah-nya gim daring”, Korsel adalah pelopor dalam mempopulerkan online game ini. Sejarah panjang Korsel lewat program “informatization” sejak awal 90-an, jadi pemicu utama.
Tapi kebetulan-lah yang memantik perkembangannya di Negeri Ginseng. Gagal mendongkrak adopsi internet lewat program “internet gratis” lantaran krisis ekonomi 1997, warnet ala Korsel justru tumbuh subur. PC bang yang mirip warnet melesat menjadi lebih dari 13.000 unit hanya dalam dua tahun, dibanding 100 warnet pada 1997.
Saat itu, produsen gim asal AS, Blizzard Entertainment, merilis StarCraft, gim simulasi strategi waktu-nyata (real-time) bertema fiksi ilmiah. Korsel menyumbang sepertiga dari total penjualan global StarCraft, lebih dari satu juta diska, berkat PC bang.
Gim pun jadi kegiatan rekreasi paling populer di kalangan remaja dan dewasa muda laki-laki. Anak laki-laki yang tidak tahu cara bermain StarCraft dicap sebagai wang-tta (pecundang). Popularitas StarCraft berperan meningkatkan langganan broadband rumah tangga. Everybody happy.
Jangan membayangkan politisi atau warga Korsel lalu baik-baik saja dengan tren tersebut. Pada 2011, sempat muncul Undang-Undang yang membatasi jam bermain gim, dikenal sebagai “UU Cinderella”. Salah satu pasal UU itu melarang usia 16 tahun ke bawah bermain gim daring pada jam 00.00 hingga jam 06.00.
Per Agustus 2021, aturan tersebut dicabut. Pihak pemerintah menyadari, gim daring semakin populer dan mempertimbangkan pendekatan lain. Mereka menjanjikan kebijakan baru berfokus pada fleksibilitas dan kontrol yang lebih besar kepada anak-anak dan orang tua daripada larangan sepihak yang dipaksakan.
Normalisasi gim daring di sekolah dimulai. Pemerintah Korsel siap mengadopsi e-Sports dalam kurikulum di sekolah menengah. Berita itu muncul September lalu. Pemerintah Korsel telah memberi izin dirilisnya buku tentang e-Sports, yang jadi pegangan bagi kelas gim di sekolah.
Tapi tidak berarti semua sekolah bisa mengadopsinya. Telah dibuat sebuah departemen khusus, dinamai “Esports Department” di Eunpyeong Meditech High School di Seoul. Ini jadi satu-satunya sekolah khusus gim di Korsel.
Perlukah masuk kurikulum pendidikan formal?
Gagasan membuat kurikulum untuk mempelajari e-Sports di sekolah formal, tentu harus diteliti dan dikaji secara mendalam. Tidak bisa serta merta meniru sejarah panjang yang terjadi di Korsel dengan “SMK” gim-nya. Bahkan untuk membuat sekolah khusus seperti Eunpyeong Meditech.
Sebelum pemerintahnya membuka departemen e-Sports di Eunpyeong Meditech, pada 2019 di Korsel sudah ada perusahaan asal California, AS, yang membuka kursus gim daring bernama Gen.G Elite Esports Academy.
Sekolah ini melatih anak muda Korsel dan siswa lain dari berbagai negara untuk menjadi pemain profesional atau menemukan peluang sebagai streamer, pemasar, atau analis data. Mereka menawarkan ijazah sekolah menengah menurut standar AS sehingga dapat kuliah dengan beasiswa e-Sports.
Menjadi bagian dari pendidikan, tidak berarti mengubah kurikulum nasional dan menambah mata pelajaran baru dalam sekolah formal. Berdasarkan pengalaman sejumlah negara–selain Korsel atau AS yang punya inisiatif ini–masih cenderung pada pendirian sekolah khusus.
Kurikulum Gaming Concepts pernah diteliti dan diujicobakan, untuk memanfaatkan konsep permainan dalam sistem pendidikan. Disponsori oleh Microsoft, kurikulum ini digadang meningkatkan capaian siswa, bahkan dalam hal STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, dan Math).
Cakupannya luas, meliputi bidang pembelajaran sosial-emosional, persiapan menuju perguruan tinggi dan karier, aspek teknis, kesehatan, kebugaran, pentingnya tidur, kewarganegaraan digital, keterlibatan, hingga permainan yang bertujuan khusus.
Kurikulum yang pendekatannya dikembangkan High School Esports League (HSEL), spesifik terkait iklim pendidikan di AS yang memungkinkan menerima siswa lewat jalur beasiswa–termasuk jalur prestasi di bidang e-Sports. Di sana, sudah banyak perguruan tinggi yang juga mengajarkan program e-Sports.
Argumen lain dalam tulisan ViewSonic ini bisa jadi rujukan. Ada lima aspek, dari capaian belajar hingga rintisan karier dengan menekuni e-Sports. Meski demikian, argumennya banyak mengulas gim sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Mereka menulis, kegiatan ekstrakurikuler terbukti meningkatkan keberhasilan belajar siswa. Terlepas apa bentuk aktivitasnya, termasuk e-Sports. Studi menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam kegiatan ekskul lebih berhasil dalam belajar di sekolah.
Menambahkan materi kurikulum tentang gim-gim ini tidak sekadar salin-tempel, tanpa mempertimbangkan semesta kependidikan di Indonesia. Selain itu, masih banyak agenda lain yang harus dikedepankan, misalnya kurikulum pendidikan melek media dan informasi, yang dinilai lebih penting karena menyangkut life skills.
*Photo by RODNAE Productions from Pexels