Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Quo Vadis Media Daring Indonesia

Quo Vadis Media Daring Indonesia

Oleh: rahadian p. paramita -- 5 November, 2016 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Quo Vadis Media Daring Indonesia

Media daring

Perpaduan teknologi kecerdasan buatan Natural Language Processing (NLP) dan Machine Learning (ML) telah memungkinkan mesin (komputer) menggali sumber informasi digital, menyusun informasinya secara terstruktur, dan menyajikannya meski dalam kualitas terbatas.

Istilah computer-assisted reporting yang digunakan untuk menggambarkan proses ini, sebenarnya sudah sejak lama digunakan, meski dengan teknologi yang berbeda.

Susan E. McGregor dari Columbia Journalism School (CJS) mengisahkan, sejak 1960 para pewarta The New York Times sudah memanfaatkan komputer untuk melakukan analisis sosial terhadap data-data yang mereka temukan sebagai bahan berita.

Kritik utama terhadap jurnalisme daring berbasis mesin ini adalah proses penggalian sumber berita yang nyaris hanya dilakukan di ranah digital. Troy Thibodeaux, editor kantor berita Associated Press, sempat menyatakan keragu-raguannya.

“Liputan langsung tetaplah sumber pelaporan yang terbaik,” katanya merujuk praktik jurnalisme selama ini. Namun, setelah mendengar penjelasan tentang bagaimana mesin ini bekerja, ia cukup optimistis.

“Teknik ini ternyata bisa menghasilkan sumber berita. Teknologi tersebut membuat kita bisa mengajukan pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya,” lanjutnya, seperti dikutip McGregor.

Banjir informasi lewat internet sebagai dampak lahirnya media dan jejaring sosial, jadi target empuk mesin-mesin pintar ini. Jika manusia butuh waktu untuk mengumpulkan dan menyaring data-data yang layak berita, mesin bisa melakukannya jauh lebih cepat.

Syarat utamanya, sumber data perlu diverifikasi. Di sinilah peran manusia tetap penting, untuk memastikan apa yang ditemukan robot layak dikonsumsi publik lewat media daring. Termasuk ketika mesin diminta melacak jutaan konten di internet.

Tak semua konten itu layak jadi sumber berita, tak jarang karena kredibilitas penerbitnya, namun bisa pula karena datanya sulit dipertanggungjawabkan.

Agar layak digunakan, sumber berita dalam bentuk hyperlink jadi salah satu bentuk transparansi yang jamak dilakukan. Ini menunjukkan dari mana dan bagaimana penulis mengetahui apa yang ditulisnya.

Selain sebagai bentuk penghargaan terhadap sumber, juga menjaga kredibilitas penulis dan lembaganya di mata pembaca.

Multiplatform media daring

Panggung media daring sebenarnya tak terbatas pada situs web saja. Inisiatif Facebook yang meluncurkan fitur Instant Articles Mei lalu, menyodorkan alternatif baru.

Pengelola jejaring sosial terbesar di dunia ini ingin menjawab masalah saat pembaca di ponsel harus menunggu 8 detik (rata-rata) untuk membuka artikel di laman aslinya.

Fitur ini, memungkinkan konten milik media daring langsung tampil seutuhnya di laman Facebook. Artinya, Facebook sebagai penyedia layanan jejaring sosial sekaligus media sosial, juga menyediakan panggung bagi media daring untuk menampilkan konten.

Dengan pengguna aktif mencapai 1,5 miliar per bulan, akan sulit menolak tawaran Facebook ini. Sembilan media yang berpartisipasi sejak awal dalam fitur baru Facebook ini adalah The New York Times, National Geographic, BuzzFeed, NBC, The Atlantic, The Guardian, BBC News, Spiegel, dan Bild.

Namun, tawaran ini bukan tanpa kritik. Algoritma Facebook yang menentukan kemunculan konten di News Feed, memunculkan kekhawatiran. Penerbit tak lagi mengendalikan berita apa yang penting. Keberagaman berita yang dibaca pun terbatas, karena algoritma bekerja berdasarkan lingkaran pertemanan pengguna.

Model lainnya sudah ditawarkan Snapchat, lewat fitur Discover. Prinsipnya kurang lebih sama, menampilkan konten penerbit (media) langsung di platformnya. Namun fitur ini lebih mirip aplikasi pembaca berita daripada platform khusus seperti yang disediakan Facebook.

Cara pandang lain terhadap pemanfaatan media sosial sebagai panggung media daring, juga diungkapkan CEO BuzzFeed, Jonah Peretti. “Karena banyak penerbit (media daring) membangun bisnisnya berdasarkan iklan banner, mereka harus ‘memaksa’ pembaca membuka situs untuk mendapatkan uang,” katanya dilansir TechCrunch (16/3/2015).

Menurutnya, model seperti itu seperti menafikan kekuatan media sosial. “Anda harus menggunakan kanal distribusi ini untuk menyebarkan konten, bukan sekadar pintu masuk menuju ruang yang lain lagi,” lanjutnya.

BuzzFeed, memang sudah bereksperimen dengan konten-konten asli di kanal media sosialnya, bukan sekadar menyebar konten dari situs lewat media sosial.

Dari kacamata jurnalisme, tak ada bedanya apakah berita itu tampil di situs web tersendiri, atau hanya tampil di laman media sosial. Begitu pula, apakah konten itu diproduksi melalui penggalian data oleh manusia di lapangan, ataupun oleh mesin berdasarkan data-data yang tersebar di dunia maya.

Yang tidak akan berubah adalah tuntutan pada akurasi.

*Gambar via Pixabay | Artikel aslinya diterbitkan di Beritagar.id pada 8 September 2015.

Lanjut membaca: Halaman 1 » Halaman 2 » Halaman 3

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.