Rayuan atau godaan konon penting dalam hubungan antar-manusia. Dalam film drama romantis, rayuan jadi salah satu elemennya. Film Dilan 1990 (2018), memuat 6 persen, atau sekitar 7 menit dari total durasinya yang 110 menit.
Dilan pun cocok bergelar si Raja Gombal. Dilan lebih jempolan dibandingkan Galih (Rano Karno) dalam Gita Cinta dari SMA (1979), apalagi Rangga (Nicholas Saputra) dalam film Ada Apa dengan Cinta (2002).
Rayuan Galih ke Ratna (Yessy Gusman) hanya sepertiga dari rayuan Dilan ke Milea (Vanesha Priscilla), sementara Rangga ke Cinta (Dian Sastrowardoyo) hanya sepersepuluhnya.
Film Dilan 1990 diangkat dari novel karya Pidi Baiq dan dikemas unyu khas remaja oleh Pidi dan sutradara Fajar Bustomi. Menampilkan tokoh utama Dilan (Iqbaal Ramadhan) dan Milea.
Dua pertiga obrolan Dilan dengan Milea, selalu diawali bujuk rayu. 7 menit 38 detik adalah total durasi dari 35 rayuan Dilan sepanjang film. Sekali merayu, Dilan membutuhkan rata-rata 12 detik.
Beberapa rayuan butuh waktu lebih lama, seperti kalimat magis “Jangan rindu, berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja”, yang diucapkan dalam 14 detik. Atau, “Aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore.”
Hitungan ini bisa kita tahu karena ada yang menghitungnya. Aslinya terbit di Beritagar.id, artikel ini ditayangkan ulang di sini dengan seizin penulisnya, Aghnia Adzkia. Nia membandingkannya dengan dua film segenre yang lain.
Dalam ketiga film, rayuan tiga pasangan dapat ditafsirkan sebagai bentuk ketertarikan dengan lawan jenis dan mengeksplorasi potensi hubungan dengan gebetan. Itu menurut studi dari DD Henningsen tentang rayuan.
Studi dari Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat (2008) itu berjudul Why do we flirt? Flirting Motivations and Sex Differences in Working and Social Contexts mengidentifikasi enam alasan mengapa orang merayu.
Di antaranya tertarik dengan lawan jenis, meningkatkan keintiman dalam hubungan, hiburan, mengeksplorasi potensi hubungan dengan gebetan, melambungkan harga diri dan untuk membujuk seseorang melakukan sesuatu.
Rayuan dalam tiga film
Romansa ketiga pasangan dibungkus dalam suasana berbeda. Dilan-Milea paling ceria, Rangga-Cinta yang ketus, dan Galih-Ratna yang puitis lantaran merana. Merayu jadi sangat kontekstual.
Hubungan Dilan dan Milea yang sama-sama anak tentara ini memunculkan nuansa positif sepanjang dialog dalam film dibandingkan dengan dua pasangan lainnya.
Kisah romansa panglima tempur geng motor dan bintang sekolah ini terbilang mujur lantaran direstui kedua orang tuanya. Tak seperti Galih dan Ratna yang harus mengalami pedihnya cinta terlarang.
Gaya Rangga pun berkebalikan dengan Dilan yang agresif dan suka merayu. Bahkan di akhir film, Dilan dengan terang tanpa meminta izin Milea, menyatakan keduanya resmi berpacaran.
“Proklamasi. Hari ini, di Bandung, tanggal 22 Desember 1990, Dilan dan Milea, dengan penuh perasaan, telah resmi berpacaran. Hal-hal mengenai penyempurnaan dan kemesraan akan diselenggarakan dalam tempo yang selama-lamanya,” tutup Dilan dengan manis.
Gita Cinta dari SMA nuansanya lebih suram. Bapak dari Ratna yang berdarah Jawa tak sepakat anaknya menjalin kasih dengan lelaki Sunda dan sudah menjodohkan putrinya dengan insinyur keturunan ningrat.
Cinta terlarang ini membubuhkan emosi sendu, sedih dan cemas jauh lebih banyak dari dua film lainnya.
Dalam sebuah suratnya, Ratna bertutur: “Apa dayaku, aku hanya seorang wanita. Aku wanita yang mencintaimu hanya menemui jurang, aku dewasa dalam pelukanmu.”
Kesedihan makin tampak menjelang keduanya berpisah. “Aku telah berusaha menyelami cinta kita, kalau kita nekat mengikuti kemauan, jalan buntu akan menghadang,” ujar Galih.
Dalam beberapa adegan, ada pula momen Galih dan Ratna merayu satu sama lain. Rayuan Galih salah satunya muncul lewat sajak berjudul “Kepada R”.
Jika sendu menyerbu film garapan sutradara Arizal yang rilis pada 1979 ini, Rangga dan Cinta dalam AADC bak roller coaster. Nuansa emosi positif, netral dan negatif merata sepanjang film yang disutradarai Rudy Soedjarwo ini.
Cinta kerap menunjukkan antusiasnya pada Rangga di awal film, yang dibalas dengan ketus oleh lelaki anak dari aktivis HAM pada era Orde Baru ini. Kalau Cinta lagi penasaran, Rangga malah cuek.
Sebaliknya, saat Rangga bersedih dan merasa bersalah atas sikapnya yang terlampau ketus, Cinta balik ketus dan marah. Romansa pasangan ini bisa dibilang yang paling unik dibanding dua film lainnya. Rangga dan Cinta sama-sama gengsi menunjukkan perasaan mereka.
Rangga sang pujangga ini menyimpan emosinya. Penonton pun harus menunggu hingga ia berangkat ke New York, mengikuti sang bapak yang pindah kerja. Di momen penghabisan itu, ia memberi kejutan manis untuk Cinta.
“Ketika tunas ini tumbuh, serupa tubuh yang mengakar. Setiap nafas yang terembus adalah kata. Angan, debur dan emosi bersatu dalam jubah berpautan. Tangan kita terikat, lidah kita menyatu… Karena kita adalah satu.”
Lika-liku rayuan
Bagian penutup ini tak ada dalam artikel aslinya. Ditambahkan di sini demi konteks komunikasi soal rayuan. Asalnya, riset pada 2014 di Universitas Kansas yang menyatakan manusia buruk dalam mendeteksi rayuan.
Jeffrey Hall, profesor ilmu komunikasi dan penulis buku “The Five Flirting Styles” (2013), meneliti seberapa sering pasangan baru bisa mengidentifikasi bila salah satu di antaranya sedang menggoda.
Dalam dua kali pelaksanaan studi, Hall menyimpulkan para mahasiswa kesulitan mendeteksi rayuan atau godaan seperti juga manusia yang kesulitan mendeteksi pembohong.
Asumsinya, kebanyakan orang jujur karena sebagian besar orang melakukannya. Mereka yang tidak jujur, itu hanya kelompok kecil yang melakukan mayoritas kebohongan. Begitu pula dalam hal menggoda.
Sama seperti berbohong, mengetahui seseorang saat menggoda butuh waktu, dan sering kali membutuhkan konfirmasi dari pihak ketiga.
Mungkin ada sosok Raja Gombal seperti Dilan di dunia nyata, tapi merujuk riset ini, sukses atau tidaknya sulit diukur. Rayuan berlebihan bisa menimbulkan antipati, terlalu subtil malah sulit dimengerti.
*Foto Dilan dan Milea dari Netflix