
Fenomena “industri pengaruh” seperti orkestra yang bekerja tanpa terlihat, memainkan melodi yang menghanyutkan demi menggerus integritas informasi. Sementara di panggung utama, para politisi berakrobat.
Di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan aktor-aktor politik dan korporasi kian mengandalkan strategi digital canggih ini. Mereka membidik opini publik, memobilisasi dukungan, bahkan menekan suara-suara oposisi.
Manifestasi paling menonjol dari industri pengaruh ini adalah keberadaan “pendengung”. Istilah pendengung atau buzzer di Indonesia merujuk pada individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan pesan tertentu secara masif di media sosial.
Dalam orkestra besar industri pengaruh yang tak kasat mata, konduktornya adalah para konsultan politik dan firma teknologi canggih. Pasukan buzzer adalah para musisi yang paling rajin, paling terkoordinasi, dan seringkali paling anonim.
Mereka beroperasi secara terorganisir, membentuk jaringan yang mampu menciptakan tren, memviralkan narasi, atau bahkan membungkam suara-suara yang tidak sejalan. Meskipun fenomena ini tidak eksklusif Indonesia, skala dan dampaknya di negara ini perlu jadi perhatian khusus.
Laporan kolaboratif “The Influence Industry Explorer” menggambarkan bagaimana konsultan, perusahaan teknologi, dan platform digital berinteraksi untuk memengaruhi hasil pemilihan dan diskursus publik.
Tren ini mencakup penggunaan analisis data besar untuk microtargeting pemilih, penyebaran konten yang disesuaikan melalui algoritma media sosial, dan munculnya kampanye disinformasi terkoordinasi yang seringkali melibatkan jaringan akun palsu atau “bot”.
Peran akal imitasi (AI) dalam menciptakan narasi bahkan deepfake juga mulai menjadi perhatian serius dalam konteks ini, seperti yang disoroti dalam studi kasus tentang Konferensi Kampanye Berlin 2024. Cerita soal ini pernah terungkap lewat keterlibatan Cambridge Analytica.
Laporan Reuters Institute Digital News Report 2025 untuk Indonesia mengingatkan ancaman dominasi media sosial bisa menggerus integritas informasi, didorong popularitas platform media sosial yang terus melaju. Platform-platform tersebut tak luput dari incaran buzzer.
Lanskap Industri Buzzer di Indonesia
Ulasan Pradipa P. Rasidi, seorang antropolog digital, di laporan “The Influence Industry Explorer” menguraikan sekilas bagaimana lanskap industri buzzer Indonesia. Berikut butir-butir pentingnya:
- Bangkitnya Industri Buzzer: Industri buzzer semakin eksis di Indonesia, menawarkan kesempatan bagi kaum muda yang terpinggirkan untuk beralih dari pekerjaan fisik ke lanskap profesional digital. Industri ini memainkan peran penting dalam pemilu 2024 dan seterusnya.
- Transformasi Pemuda Kelas Pekerja: Melalui kisah Herman, seorang “buzzer politik” yang menerima beasiswa ilmu data, menunjukkan bagaimana industri ini mengubah pemuda kelas pekerja menjadi kelompok yang berpengaruh secara politik. Beasiswa tersebut jadi alat melegitimasi keterampilan dan statusnya sebagai profesional teknologi, memandang industri pengaruh sebagai jalan menuju “pekerjaan otak” dan martabat.
- Digitalisasi dan Peningkatan Permintaan: Ekonomi pasca-pandemi dan program “transformasi digital” Presiden Joko Widodo telah mempercepat digitalisasi di Indonesia, menciptakan lahan subur bagi buzzer. Para operator pengaruh ini digunakan oleh berbagai entitas—institusi pemerintah, partai politik, bisnis, dan individu kaya—untuk berbagai kepentingan.
- Evolusi Buzzer di Indonesia: Dari peran awal dalam pemasaran merek sekitar 2009, buzzer mulai masuk ke dunia politik selama Pilkada Jakarta 2012, melahirkan kampanye negatif dan “black campaign” yang melibatkan disinformasi dan pelecehan daring. Pandemi Covid-19 menjadi titik balik signifikan yang mengarah pada “industrialisasi” buzzer dan melonjaknya permintaan.
- Kasus Industrialisasi: PT. Gugus Nusantara Informatika (PT. GNI) yang dipimpin Karim, 27 tahun, digambarkan sebagai contoh transformasi ini. PT. GNI, meskipun menggambarkan dirinya sebagai agen “Konsultansi IT dan Pemasaran Digital”, beroperasi dari lokasi tersembunyi dan mempekerjakan tenaga kerja pemuda kelas pekerja dan tampak profesional.
- Dampak AI Generatif: Ulasan itu juga membahas dampak AI generatif pada industri buzzing, membuktikan perannya tak hanya menciptakan disinformasi, tetapi juga manipulasi sumber-sumber kredibel, seperti Wikipedia. PT. GNI sudah bereksperimen dengan kemampuan ini untuk klien bisnis.
- Pekerjaan Otak dan Martabat Baru: Kekuatan AI generatif dipadu operasi buzzing tetaplah tergantung pada para operatornya. Banyak di antaranya adalah para pekerja kasar. Keterlibatan mereka dalam operasi buzzing memungkinkan mereka beralih dari “pekerjaan fisik” ke “pekerjaan otak”, mendapatkan prestise dan menjauhkan diri dari stigma kerja keras. Staf PT. GNI mencitrakan diri sebagai “pemasar digital” atau “pemimpin teknologi”, menyelaraskan dengan citra populer milenial dan Gen Z yang melek teknologi.
Regulasi dan Respons terhadap Buzzer
Pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia telah berupaya merespons fenomena ini. Ada diskusi tentang perlunya regulasi yang lebih ketat terhadap aktivitas di media sosial, termasuk identifikasi akun-akun yang terkoordinasi dan penegakan hukum terhadap penyebaran hoaks.
Meski demikian secara garis besar belum ada regulasi yang secara spesifik menargetkan “buzzer” sebagai sebuah kategori, tetapi fokus pada tindakan dan pelanggaran individu di ranah digital. Beberapa regulasi dapat diterapkan untuk menjerat aktivitas yang melanggar hukum:
- Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
- Pencemaran Nama Baik: Pasal 27 ayat (3) dapat dikenakan jika buzzer menyebarkan informasi yang merugikan reputasi individu atau kelompok. Sanksinya bisa berupa penjara hingga 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.
- Ujaran Kebencian (Hate Speech): Pasal 28 ayat (2) diterapkan jika buzzer menyebarkan konten yang memicu kebencian berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Pelanggar dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.
- Pelanggaran Privasi: Pasal 26 mengatur jika buzzer mengakses dan menyebarkan data pribadi tanpa izin. Sanksinya dapat berupa penjara hingga 5 tahun dan/atau denda Rp 5 miliar berdasarkan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No. 27 Tahun 2022).
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal 310 dan 311 KUHP dapat menjerat buzzer yang melakukan fitnah dan penghinaan.
- Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu: Buzzer yang menyebarkan kampanye hitam atau propaganda ilegal selama pemilu dapat melanggar ketentuan undang-undang ini.
Platform media sosial turut berupaya meningkatkan deteksi dan penghapusan akun-akun yang melanggar kebijakan mereka terkait manipulasi platform. Meski begitu, tantangan tetap besar.
Aksi untuk memanipulasi opini, menyebarkan disinformasi, dan merusak kohesi sosial adalah ancaman serius. Mengatasi tantangan ini memerlukan pendekatan multi-pihak yang melibatkan pemerintah, platform digital, masyarakat sipil, dan literasi digital yang lebih baik di kalangan publik.
Hanya dengan pemahaman mendalam dan respons terkoordinir, Indonesia dapat menjaga integritas ruang digitalnya dan memastikan narasi publik dibentuk oleh dialog otentik dan deliberatif, bukan manipulasi terorganisir.
*Photo by Florian Gagnepain on Unsplash
Komentar Anda?