Kekerasan. Freire pernah menulis bahwa kekerasan, adalah salah satu bentuk ketertindasan. Baik bagi yang melakukannya, maupun bagi yang menjadi korban. Menyaksikan belakangan ini kekerasan begitu mewarnai demokrasi di negeri ini, mengingatkan saya pada pernyataan Freire.
Memang ada banyak alasan untuk membenarkan kekerasan, salah satunya adalah pernyataan salah seorang aktivis yang diwawancarai oleh sebuah stasiun TV dalam sebuah acara bincang-bincang. Menurut teman kita ini, yang memulai kekerasan adalah polisi, dan karenanya maka perlu dibalas dengan kekerasan.
Entah apa yang ada di otak para intelektual muda ini. Tapi menggunakan analogi ditampar pipi kanan, dan balas menampar adalah analogi “aneh”. Kita seperti sedang menonton orang mengigau, kalau tidak mau dibilang mabuk…
Mengalami kekerasan, menimbulkan hasrat untuk membalas dengan kekerasan pula, bahkan kalau perlu jauh lebih ‘keras’ dari apa yang pernah kita terima. Sebuah iklan sosial tentang pendidikan anak, berjudul Children See, Children Do, menjelaskan dengan gamblang. Kesimpulannya, apa yang dilihat anak, adalah contoh bagi mereka. Memberi contoh kekerasan, itulah yang akan mereka lakukan kelak.
Kembali pada kekerasan di jalanan belakangan ini, saya yakin bahwa itu adalah hasil dari contoh yang buruk dari pemerintah di masa lalu. Atau bahkan hasil kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 3 abad di negeri ini, yang sudah pasti dipenuhi dengan tema-tema kekerasan.
Kalau Michael Moore pernah membuktikan bahwa kekerasan yang terjadi di Amerika bukan karena film-film Hollywood yang seringkali bertemakan kekerasan, maka hal yang sama seharusnya juga kita perlu kaji ulang di negeri ini.
Biar bagaimanapun, film-film (atau tontonan lainnya) ini memang memberi dampak. Tapi, pikiran dewasa kita rasanya masih mampu membedakan mana kekerasan ala Hollywood, dan mana yang bukan. Media jauh lebih berperan disini. Media massa, baik koran maupun televisi, punya andil dalam membangun kultur kekerasan di negeri ini. Apa bedanya media dengan film Hollywood itu?
Jelas bedanya. Media massa mengabarkan fakta. Apa yang dilaporkan adalah sesuatu yang benar-benar terjadi, entah dimana peristiwa itu terjadi. Fakta, bagi kita adalah sebuah keniscayaan. Dan semakin sering media-media ini menayangkan kekerasan, semakin sering pula media memberi pesan kepada khalayak bahwa kekerasan itu ada, dan lama-lama bunyi pesan itu adalah “Kekerasan itu Biasa”.
Sementara kekerasan ala Hollywood hanyalah fiksi belaka. Hanya balita yang belum mampu membedakan mana baik dan mana yang buruk, sementara orang dewasa seharusnya mampu mengendalikan dirinya. Kita seharusnya mampu melawan dikte media massa ini.
Paling tidak, melalui televisi kita diberi remote control. Ini adalah alat paling berkuasa yang ditakuti pemilik stasiun tivi. Anda-lah yang berkuasa, untuk menjadi orang merdeka, dan memutuskan segala rantai kekerasan. Kalau berani menjadi orang merdeka, jangan ikut tertindas di dalamnya. Hentikan rantai kekerasan, entah dari mana sumbernya. Kalau masih terbersit rasa dendam untuk membalaskan kekerasan, maka Anda adalah juga korban dari ketertindasan itu.
Update:
Kekerasan masih ada nih, di Kampus IPB. Dikeroyok gara-gara blog. – dari hermansaksono.com. Cuma gara-gara mengkritik ospek jurusan, seorang mahasiswa dikeroyok kakak angkatannya.