UU ITE Pun Menyasar Meme – Melék Media


Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   UU ITE Pun Menyasar Meme

UU ITE Pun Menyasar Meme

Oleh: Melekmedia -- 10 Mei, 2025 
Tentang: , , ,  –  Komentar Anda?

kristina flour unsplash

Seorang mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) berinisial SSS telah ditangkap oleh Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Penangkapan ini terkait unggahan meme (baca: mim) di media sosial X yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden RI ke-7 Joko Widodo dalam posisi “berciuman”.

Aparat kepolisian menduga tindakan tersebut melanggar ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

SSS melalui akun X memang tampak aktif. Ia protes soal absennya regulasi pemanfaatan AI (Artificial Intelligent atau Akal Imitasi). Dalam beberapa kesempatan, dapat ditemukan cuitannya tentang hal tersebut. Misal, pada 22 Maret 2025 silam, yang menyatakan sejak masa kampanye Pemilihan Presiden “… tidak sekali-dua kali saya mengkritisi penggunaan AI pada Paslon 02 yang sekarang telah menjadi rezim…”

Ia pun menyatakan kekecewaannya karena rezim tak jua membuat regulasi penggunaan AI yang ia maksudkan. Adapun kicauan dengan gambar buatan Grok pada pertengahan Maret 2025 yang kemudian jadi sumber masalah, kini sudah dihapus. Pada 13 Maret 2025 ia tampak berargumen: “Itulah effect dari tidak adanya regulasi AI”.

Ia pun kembali mempertanyakan kenapa penggunaan AI dinormalisasi tetapi tak ada regulasi yang mengatur. Dalam kicauan per 2 April 2025, ia menegaskan posisinya dalam membuat dan memposting gambar itu bertujuan “to disturb their comfort”. Ia berkeras kritik selama ini yang dilakukan secara akademis dan kajian dampak AI tidak digubris, sehingga perlu cara yang lebih “ekstrem”.

Karena gambar itu, ia sempat mengeluhkan doxxing yang dialaminya melalui akun X pada awal April 2025. Bukan hanya rilisan nama lengkap dan sekolah asal tanpa seizinnya, ia bahkan menjadi korban pelecehan seksual secara verbal melalui percakapan di Instagram—kiriman itu kini sudah dihapus. Tidak jelas bagaimana penyelesaian dari insiden tersebut.

Menurut Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi yang dilansir Tempo, mahasiswa yang sudah jadi tersangka itu sebaiknya dibina bukan dihukum. “Mungkin nanti bisa diberi pemahaman dan pembinaan supaya jadi lebih baik lagi, tapi bukan dihukum gitu. Karena ya ini kan dalam konteks demokrasi,” kata dia.

Sementara dari ITB, media telah memuat pernyataan resmi bahwa pihaknya telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Orang tua mahasiswi tersebut bahkan disebut sudah datang ke ITB, dan menyatakan minta maaf.

Adapun Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menilai penangkapan ini merupakan kriminalisasi kebebasan berekspresi. Langkah tersebut disebutnya mencerminkan perilaku represif pemerintah dalam membungkam suara-suara kritis. “Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan,” tuturnya melalui keterangan tertulis pada Jumat, 9 Mei 2025.

Mengingat implikasi hukum yang signifikan dari kasus ini terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang digital—ancaman hukumannya 12 tahun penjara—artikel ini mencoba membuat opini yang menguraikan mengapa penggunaan pasal-pasal yang dituduhkan bisa dipertanyakan untuk situasi yang dihadapi oleh tersangka SSS.

Tulisan ini akan mempertimbangkan elemen-elemen kunci dari pasal-pasal tersebut, interpretasi hukum yang relevan, serta prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi yang berlaku di Indonesia. Sebagai catatan, penulis bukan ahli hukum maupun pengacara, dan tidak punya latar belakang pendidikan hukum sama sekali. Interpretasi bebas ini benar-benar hanya berdasarkan referensi.

Seputar Pasal 27 ayat (1) UU ITE

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 menyatakan bahwa, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum”. Pasal ini secara esensial menargetkan penyebaran konten elektronik yang dianggap melanggar norma kesusilaan kepada khalayak umum.

Elemen krusial dalam pasal ini adalah frasa “memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” (memuat pelanggaran tentang kesusilaan). UU ITE sendiri tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran kesusilaan. Ketidakjelasan ini telah lama menjadi sumber perdebatan dan interpretasi yang beragam dalam praktik penegakan hukum.

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa untuk memahami makna “melanggar kesusilaan” dalam konteks UU ITE, perlu merujuk pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 281 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul di muka umum, sementara Pasal 282 KUHP mengatur tentang penyebaran tulisan, gambar, atau barang yang melanggar perasaan kesopanan. Namun, tidak ada unsur “di muka umum” yang secara eksplisit disebutkan dalam UU ITE.

Dalam konteks kasus SSS, meme yang diunggahnya menampilkan representasi satire dari dua tokoh publik. Meme, sebagai bentuk ekspresi, sering kali menggunakan humor, ironi, dan bahkan visual yang tidak konvensional untuk menyampaikan pesan atau kritik. Meskipun gambar dalam meme tersebut mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai tidak pantas atau sugestif, belum tentu memenuhi definisi “melanggar kesusilaan” dalam pengertian hukum, terutama jika dipertimbangkan dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi serta konteks satire politik.

Tujuan utama dari meme satire politik umumnya adalah untuk memberikan komentar atau kritik terhadap isu-isu publik atau tokoh-tokoh politik, bukan semata-mata untuk melanggar norma kesusilaan demi kepuasan nafsu birahi atau tujuan yang tidak senonoh.

Seputar Pasal 45 ayat (1) UU ITE

Pasal 45 ayat (1) UU ITE mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran Pasal 27 ayat (1), dengan menyatakan, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Penting untuk dicatat bahwa Pasal 45 ayat (1) merupakan pasal yang bersifat derivatif. Artinya, penerapan sanksi pidana berdasarkan pasal ini sangat bergantung pada pembuktian bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1). Jika argumen yang menyatakan bahwa meme yang diunggah oleh SSS tidak memenuhi unsur “memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” dalam pengertian hukum dapat diterima, maka secara otomatis Pasal 45 ayat (1) juga tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Dengan kata lain, tanpa adanya pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1), tidak ada dasar hukum untuk menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 45 ayat (1).

Seputar Pasal 35 UU ITE

Pasal 35 UU ITE menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik“. Pasal ini secara khusus menargetkan tindakan manipulasi informasi elektronik yang bertujuan untuk menyesatkan atau membuat informasi palsu tampak sebagai informasi yang benar atau otentik.

Dalam konteks meme yang dibuat dan diunggah oleh SSS, sulit untuk melihat bagaimana tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai manipulasi informasi elektronik dengan tujuan agar dianggap sebagai data yang otentik. Meme pada dasarnya adalah bentuk konten yang telah dimodifikasi atau dibuat dengan tujuan humor, satire, atau komentar.

Khalayak umum yang melihat meme, terutama meme satire politik, umumnya memahami bahwa konten tersebut bukanlah representasi faktual dari suatu peristiwa atau keadaan yang sebenarnya. Tujuan dari pembuatan meme satire biasanya untuk menyampaikan kritik atau pandangan dengan cara yang menarik dan mudah diingat, bukan untuk menipu atau menyesatkan orang lain agar percaya bahwa meme tersebut adalah data yang otentik.

Manipulasi misalnya sengaja memalsukan ijazah sebagai syarat pendaftaran. Dalam hal ini berarti ada niat untuk membuat ijazah palsu yang (sebagian atau seluruhnya) tidak ada, menjadi ada dan seolah-olah otentik. Perbuatan seperti ini yang mungkin bisa dituduh menipu atau menyesatkan orang lain.

Elemen penting dalam Pasal 35 adalah adanya “tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik“. Dalam kasus meme satire, tujuan pembuatnya lebih cenderung pada ekspresi kreatif dan komentar sosial atau politik, bukan pada pemalsuan data untuk tujuan penipuan atau misinformasi. Kecuali ada bukti yang kuat bahwa tersangka memiliki niat untuk membuat meme tersebut dipercaya sebagai representasi kejadian yang sebenarnya, pasal ini kemungkinan tidak relevan dengan tindakannya.

Seputar Pasal 51 ayat (1) UU ITE

Pasal 51 ayat (1) UU ITE mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran Pasal 35, dengan menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.

Sama seperti Pasal 45 ayat (1), Pasal 51 ayat (1) juga pasal derivatif yang keberlakuannya bergantung pada pembuktian pelanggaran terhadap pasal pokoknya, yaitu Pasal 35. Jika dapat diargumentasikan secara meyakinkan bahwa tindakan SSS tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 35, khususnya terkait manipulasi informasi dengan tujuan agar dianggap sebagai data otentik, maka Pasal 51 ayat (1) juga tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Tanpa adanya pelanggaran Pasal 35, tidak ada dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan Pasal 51 ayat (1).

Kebebasan Berpendapat dan Satire

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak setiap warga negara atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal 28E ayat (3) secara tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kebebasan ini salah satu pilar penting dalam masyarakat demokratis, yang memungkinkan warga negara menyampaikan kritik, gagasan, dan aspirasi, termasuk terhadap pemerintah dan tokoh-tokoh publik.

Satire dan komentar politik merupakan bentuk ekspresi yang sah dan penting dalam diskursus publik. Satire sering kali menggunakan humor, ironi, dan perumpamaan untuk menyoroti isu-isu penting dan mengkritik tindakan atau kebijakan tokoh-tokoh publik. Dalam negara demokrasi, tokoh publik, termasuk presiden, harus memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kritik dan parodi sebagai konsekuensi dari posisi dan peran mereka di masyarakat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah mengeluarkan standar norma dan pengaturan mengenai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Komnas HAM menekankan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi harus sesuai dengan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk tujuan yang sah, seperti menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional, atau ketertiban umum. Namun, pembatasan ini tidak boleh digunakan untuk mencegah kritik terhadap pejabat publik atau figur publik.

Meskipun kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin, terdapat batasan-batasan tertentu. Ekspresi yang mengandung ujaran kebencian (hate speech), hasutan untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi, atau penyebaran informasi bohong yang menimbulkan kerusuhan tidak dilindungi oleh kebebasan berpendapat. Namun, penting untuk membedakan antara kritik atau satire dengan ujaran kebencian atau penghinaan yang tidak berdasar.

Dalam konteks meme satire politik, batasan antara kritik yang sah dan pelanggaran hukum bisa menjadi kabur. Beberapa kasus terkait penggunaan meme dan UU ITE telah muncul di Indonesia, menunjukkan kompleksitas dalam menerapkan pasal-pasal tersebut terhadap ekspresi kreatif dan komentar politik.

Beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan UU ITE dalam kasus-kasus kritik atau satire dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bila Kepala Kantor Kepresidenan menyarankan pembinaan daripada penghukuman, maka lebih baik lagi bila dialog yang dikedepankan, terutama karena hal ini berkaitan dengan penyampaian pendapat.

Meragukan Pasal-Pasal untuk SSS

Berikut ringkasan beberapa argumen yang mendukung ketidakberlakuan pasal-pasal yang dituduhkan kepada mahasiswi SSS:

  • Ambiguitas “Melanggar Kesusilaan”: Tidak adanya definisi yang jelas mengenai “melanggar kesusilaan” dalam UU ITE menimbulkan ketidakpastian hukum. Interpretasi terhadap frasa ini dapat menjadi subjektif dan rentan terhadap bias politik atau sosial. Dalam konteks meme satire politik, sulit untuk secara objektif membuktikan bahwa konten tersebut melampaui batas kesusilaan dalam pengertian hukum.
  • Meme sebagai Satire dan Komentar Politik: Meme yang diunggah oleh SSS kemungkinan besar merupakan bentuk satire politik, yang merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Tujuannya lebih mungkin untuk memberikan komentar atau kritik terhadap tokoh-tokoh publik daripada semata-mata melanggar norma kesusilaan.
  • Kurangnya Niat untuk Melanggar Kesusilaan (Pasal 27 ayat 1): Untuk dapat dikenakan Pasal 27 ayat (1), harus dibuktikan bahwa SSS dengan sengaja menyebarkan konten dengan tujuan spesifik untuk melanggar kesusilaan untuk diketahui umum. Dalam kasus satire politik, niat tersebut mungkin sulit dibuktikan.
  • Sifat Derivatif Pasal 45 ayat (1): Pasal 45 ayat (1) hanya dapat diterapkan jika terbukti adanya pelanggaran Pasal 27 ayat (1). Jika meme tersebut tidak dianggap melanggar kesusilaan secara hukum, maka pasal ini tidak berlaku.
  • Tidak Ada Manipulasi dengan Tujuan Menyesatkan (Pasal 35): Membuat dan mengunggah meme satire tidak secara inheren memenuhi kriteria manipulasi informasi elektronik dengan tujuan agar dianggap sebagai data otentik. Meme umumnya dipahami sebagai konten yang telah diubah untuk tujuan humor atau komentar, bukan sebagai representasi faktual yang otentik.
  • Sifat Derivatif Pasal 51 ayat (1): Pasal 51 ayat (1) hanya dapat diterapkan jika terbukti adanya pelanggaran Pasal 35.22 Jika tindakan SSS tidak dianggap sebagai manipulasi informasi, maka pasal ini tidak berlaku.
  • Kebebasan Berpendapat dan Kepentingan Publik: Meme tersebut melibatkan tokoh-tokoh publik dan berpotensi mengomentari hubungan atau dinamika politik mereka, sehingga menyentuh isu kepentingan publik dan berada dalam lingkup perlindungan kebebasan berpendapat.
  • Panduan Komnas HAM: Panduan Komnas HAM mengenai perlindungan kritik terhadap tokoh publik mendukung argumen bahwa meme tersebut seharusnya tidak dikriminalisasi.
  • Potensi sebagai Ekspresi Seni atau Kepentingan Publik: Meme dapat dipertimbangkan sebagai bentuk ekspresi seni (satire sebagai bentuk seni) atau sebagai upaya menyampaikan pandangan terkait kepentingan publik. UU ITE sendiri memiliki pengecualian untuk tindakan yang dilakukan demi kepentingan umum atau merupakan karya seni.

Berdasarkan catatan semenjana di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 UU ITE terhadap mahasiswi SSS dalam kasus unggahan meme satire Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi memiliki dasar hukum yang lemah.

Ambiguitas dalam definisi “melanggar kesusilaan,” interpretasi meme sebagai bentuk satire politik yang dilindungi oleh kebebasan berpendapat, kurangnya niat yang jelas untuk melanggar kesusilaan atau memanipulasi informasi dengan tujuan menyesatkan, serta panduan dari Komnas HAM mengenai perlindungan kritik terhadap tokoh publik, semuanya mengarah pada argumen bahwa tindakan SSS kemungkinan tidak memenuhi ambang batas pidana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut.

Penegakan hukum dalam kasus ini perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara, serta menghindari kriminalisasi terhadap bentuk-bentuk ekspresi kreatif dan komentar politik seperti satire.

Photo by Kristina Flour on Unsplash

Artikel lain sekategori:

Komentar Anda?



Exit mobile version