Hallyu di Indonesia bukan sekadar K-Pop, ada fesyen, drama, film, buku, dan lainnya. Gelombang budaya ketiga di Asia yang mulai bangkit sejak 1990-an, justru dimulai dari drama serial.
Drama yang menguras emosi, paras rupawan para bintang, hingga tarian lincah para artis K-Pop membuat konsumen rela menghabiskan 12 hingga 20 jam saban bulannya.
Itulah sebagian materi tulisan di Lokadata pada 2019 tentang data konsumsi publik Indonesia terhadap budaya Korea Selatan, yang menjadi materi tulisan ini.
Dalam penelitian yang dirilis Badan Promosi Kebudayaan Internasional Korea, Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata, skor indeks popularitas budaya pop Korea di Indonesia mencapai 3,49 pada 2017.
Indeksnya sempat menurun dari tahun sebelumnya, tetapi capaian ini cukup tinggi. Sedikit di bawah India dan Taiwan, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan responden dari Jepang, India, Tiongkok, dan Thailand.
Tren Hallyu mulai tampak sejak drama Korea Selatan (selanjutnya ditulis Korea) mulai populer di Asia pada akhir 1990-an. Ini menandai fenomena global konsumsi budaya Korea dan turunannya.
Gelombang budaya pop ini setidaknya terdiri dari konten yang kompetitif (sebagian besar dari ranah seni); pesohor yang mampu menarik jutaan penggemar setia; dan media massa yang menjadi promotornya.
Berawal dari drama TV
Sekilas kisah Hallyu terungkap lewat History of Korean Popular Culture: From Its Embryonic Stage to Hallyu (Korean Cultural Wave) dalam jurnal “American International Journal of Contemporary Research”, terbitan Desember 2018.
Hallyu digadang sebagai gelombang budaya ketiga di Asia yang lahir berkat teknologi informasi abad-21. Ia mengakhiri kejayaan Sinocentrisme ala Tiongkok, dan industrialisasi modern ala Jepang.
Sejarah mencatat Hallyu tak lepas dari pengaruh Jepang di Asia, dan memuncak ketika Amerika Serikat terlibat perang Korea pada 1945.
Budaya pop ala Amerika menggeser dominasi Jepang, dan menjadi arus utama hingga melahirkan “budaya pop Korea Selatan yang baru”.
Pada 1990-an, saat Taiwan dan Hong Kong jadi kiblatnya fesyen Asia, menjadi target awal untuk tes ombak pasar Tiongkok. Drama TV Korea yang dirilis di Taiwan saat itu, belum berhasil mencuri perhatian.
Barulah pada 2000, drama berjudul Flame akhirnya mendapat rating lumayan tinggi di pasar Taiwan. Dari sini, demam Hallyu pun melanda negara-negara Asia Tenggara.
Standar baru yang tercipta dalam budaya pop ini, menuai dampak lain. Misalnya soal operasi plastik yang jadi jalan pintas menuju kesempurnaan.
Meski jumlah operasi plastik “hanya” peringkat 5 dunia pada 2019, laporan lain menyebutkan terdapat 13,5 prosedur kosmetik yang dilakukan per 1000 orang penduduk di Korsel.
Rasio per kepala tersebut, menurut International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS), adalah yang tertinggi, alias urutan pertama di dunia.
Find more statistics at Statista
Hallyu di Indonesia
Popularitas Hallyu di Indonesia di Indonesia bisa dilacak sejak 2000-an, lewat drama televisi Korea berjudul Endless Love yang menyuguhkan kisah sedih dan tragis (Jae-Seon Jeong, dkk., 2016).
Drama ini berhasil merebut perhatian di tengah populernya drama asal Taiwan, Meteor Garden (2002). Meteor Garden pernah mencatat sebagai drama dengan rating tertinggi dalam sejarah pertelevisian Indonesia.
Inilah awal merebaknya budaya pop Asia Timur pasca-Orde Baru. Setelah Endless Love (2000), ada All About Eve (2000), Hotelier (2001), Friends (2002), Glass Shoe (2002), dan Full House (2004).
Orde Baru (Orba) jadi patokan, karena tumbangnya Orba membuka akses konten luar negeri ke televisi lokal. Tontonan TV tadinya hanya dikuasai TVRI, dan beberapa stasiun swasta milik keluarga Suharto.
Pasca-Orba, stasiun televisi swasta bertumbuh pesat. Logika kapitalis untuk memaksimalisasi keuntungan mendorong TV menyiarkan konten impor yang murah dan populer.
Indosiar, yang didirikan pada 1994, menayangkan banyak drama Jepang, Taiwan, dan Korea, dengan fokus pada program budaya konten Asia. Hallyu, gelombang asal Korea ini, mendapatkan tempatnya.
Dinamisme gelombang Korea di Indonesia pun berakar dari kelompok yang menjadi penonton setia acara-cara ini. Mereka adalah “minoritas ganda” di Indonesia: perempuan dan keturunan Tionghoa.
Meski begitu, fenomena Hallyu justru mendapatkan momentum di Indonesia berkat drama Dae Jang Geum (Jewel in the Palace). Aslinya tayang pada 2003-2004, serial ini mengudara di Indosiar per November 2005.
Rating tertingginya bisa mencapai 30 persen saat itu. Saking populernya, banyak penonton Indonesia mencari drama ini lewat DVD bajakan (Jeong, 2007).
Anomali Dae Jang Geum
Endless Love mungkin pertama dikenal, tapi Dae Jang Geum yang berlatar sejarah dan budaya tradisional Korea, justru jadi pembuka jalan. Kesuksesannya unik, mengingat genre yang sedang trendi saat itu seputar gaya hidup perkotaan modern.
Lalu K-Pop naik daun pada era 2010-an. Program musik dan hiburan pada awalnya bagian dari “New Korean Wave”, melesat lewat media sosial seperti YouTube.
Indonesia bahkan menjadi salah satu pasar K-pop yang paling cepat berkembang di Asia Tenggara. Pasalnya, pertumbuhan pesat televisi kabel (Arirang TV, KBS World, etc.) dan media serta jejaring sosial (Jin & Yoon, 2016).
Setidaknya dua fenomena mengenai Hallyu di Indonesia yang dikemukakan riset Jeong, dkk. Pertama, perbedaan penerimaan dari kelompok setengah baya dan kelompok muda, dalam mengonsumsi Hallyu.
Dapat diasumsikan bahwa perbedaan penerimaan Hallyu pada kedua generasi, berlaku karena ada perbedaan perilaku terhadap media digital, dan disparitas penggunaan teknologi antar-generasi (Lee & Ah, 2007).
Faktor kedua adalah perubahan budaya dan ideologi pasca-Soeharto. Yang patut mendapat perhatian adalah tumbuhnya nasionalisme muslim dan rehabilitasi budaya Tionghoa Indonesia (Heryanto, 2013, 2014).
Meski tak nampak penentangan keras dari kelompok konservatif-nasionalis, nilai dalam Hallyu yang dianggap tak sesuai, bisa saja menimbulkan friksi.
Di sisi lain, pasca Orba etnis Tionghoa mendapat kebebasan di bidang sosial budaya, agama, dan politik, sehingga membuka ruang bertumbuhnya kebudayaan Asia Timur. Tapi butuh penelitian lebih lanjut soal ini.
Bagaimanapun, Indonesia adalah pasar penting bagi Korea. Hal ini tampak saat mereka kesulitan menjajakan webtoon di Cina. Indonesia lalu jadi incaran, karena potensi pasarnya sangat menggiurkan.
Komik digital Indonesia yang awalnya dikuasai karya-karya Jepang, berhasil ditembus Korea. Per Desember 2018, Kakao Page menembus pasar Indonesia melalui akuisisi Neobazar, sebuah platform lokal untuk komik dan novel.
Produk-produk terfavorit
Berdasarkan riset Badan Promosi Kebudayaan Internasional Korea pada 2017, produk Korea terfavorit–lebih dari 50 persen responden menyatakan demikian– adalah produk kecantikan atau fesyen, musik K-pop, dan makanan.
Buku menjadi produk gelombang Korea yang paling tak populer di mata responden pencinta Hallyu–hanya dipilih 29,8 persen orang.
Namun, perlu diingat bahwa fans club Hallyu tak terkonsentrasi pada satu pilihan. Misalnya, pencinta musik K-Pop bisa sekaligus menjadi penggemar film atau drama seri Korea.
Penggemar setianya, bisa menghabiskan waktu rata-rata 18,8 jam dalam sebulan untuk mendengarkan musik, termasuk menonton konser. Selain itu, mereka mampu menonton drama hingga 20,6 jam setiap bulan dan 17,9 jam untuk menonton film.
Bayangkan bila seorang penggemar mengonsumsi musik, film, dan drama Korea sekaligus, akumulasinya bisa mencapai 2 jam setiap sehari dalam sebulan–setara seperempat waktu produktif per hari pada hari kerja normal.
Mereka juga rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menikmati produk Korea. Ada yang bisa menghabiskan Rp8,1 juta untuk membeli album, kartu pos, banner, light stick, poster, dan menonton konser.
Rata-rata setiap penggemar di Indonesia menghabiskan $10,5 AS per bulan, atau sekitar Rp1,82 juta per tahun untuk menikmati konten Korea, dengan pengeluaran terbesar untuk menonton drama.
Fanatisme K-popers terbukti saat BLACKPINK World Tour di Indonesia. Konser itu harus diperpanjang karena tiket habis terjual jauh sebelum pelaksanaannya pada 20 Januari 2019. Promotor pun menambah jadwal penampilan jadi dua hari.
Konser yang digelar di ICE BSD, Tangerang, Banten, itu harga tiketnya berkisar Rp1.100.000 hingga Rp2.500.000. Para penggemar masih tidak keberatan untuk merogoh kantong demi membeli light stick saat konser, atau menginap di hotel bagi mereka dari luar kota.
Internet mengakselerasi Hallyu
Find more statistics at Statista
New Korean Wave, atau Hallyu 2.0 kian masif berkat media dan jejaring sosial. Akselerasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Hallyu 1.0 yang berlangsung kira-kira pada periode 1990-an hingga 2007.
Ini tak lepas dari akselerasi jaringan internet yang masif di Korea. Sejak 2000-an, rasio pengguna internetnya melejit hingga hampir 30 persen poin selama lima tahun.
Warga Korea Selatan berusia 3 tahun ke atas, lebih dari 90 persennya sudah mengakses internet, setidaknya telah menggunakan internet dalam satu bulan terakhir saat disurvei pada 2020.
Lebih dari 18 persen pengguna internet yang disurvei menggunakan internet selama lebih dari 35 jam per minggu. Tak mengherankan bila status tersebut membuat masyarakatnya memiliki reputasi tinggi dalam hal teknologi.
Saat ini, Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan kecepatan internet tercepat di dunia, terutama dalam hal internet seluler.
Pada era 2012, YouTube jadi kanal favorit yang melejitkan K-Pop. Internet juga membantu popularitas game online, menjadikan dua unsur budaya ini paling dominan dalam lansekap industri kreatif Korea.
Contoh paling nyata adalah fenomena “Gangnam Style“. Di YouTube ia mencetak rekor sebagai video pertama yang ditonton 1 miliar kali. Penyanyinya, Psy, bisa keliling dunia, bahkan bertemu Sekjen PBB saat itu, Ban Ki-Moon.
Di balik kesuksesan budaya pop ini, ada keterlibatan pemerintah Korea Selatan. Seperti dikutip Jeong, dkk., setelah kesuksesan tak terduga di Asia, tren ini jadi proyek nasional (M. S. Kim, 2015; Shim, 2006).
Pemerintah Korsel memanfaatkan Hallyu sebagai “kekuatan halus” (soft power) dalam politik, gelombang Korea sebagai diplomasi budaya (e.g., Chua, 2012; Otmazgin & Ben-Ari, 2012).
Mereka memposisikannya sebagai aspek penting dalam nation branding. Gagasan ini seperti tak mau kalah dari kebijakan “Jepang keren” yang sukses membuat manga, anime, dan beberapa games online buatan Jepang mendunia (e.g., Choo, 2012; Iwabuchi, 2008).
*Ilustrasi dari akes.or.kr