Beranda  »  Artikel » Pantau Media   »   Jalan Panjang Hari Tanpa TV

Jalan Panjang Hari Tanpa TV

Oleh: Melekmedia -- 9 Juli, 2011 
Tentang: , , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Jalan Panjang Hari Tanpa TV

Hari Tanpa TV

Hari Tanpa TV sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu di Indonesia. Gerakan ini awalnya lahir di Eropa dan Amerika Serikat, makin konkret sejak 1994 dengan lahirnya gerakan TV-Free America. Gerakan lain juga lahir, di antaranya yang diinisasi British White dot di Inggris dan Adbusters dari Kanada.

Televisi sejak lama dianggap bertanggung jawab terhadap penyakit sosial yang marak pada era 1960, 1970, dan 1980-an. Kotak bercahaya itu dinilai mengoyak pondasi demokrasi, komunitas, dan “ketercerahan”, melanggar nilai moral dalam gaya hidup, serta mengganggu kesehatan fisik dan mental.

Meski gerakan anti-televisi tidak menginspirasi penolakan terhadap televisi secara luas di masyarakat, gerakan TV-Turnoff Week yang diinisasi pada 1990-an oleh TV-Free America cukup ampuh dalam menumpahkan kekecewaan pada aktivis, dan melemparkan kesalahan atas kondisi sosial yang memburuk kepada televisi.

Gerakan ini berubah nama menjadi Screen-Free Week, dan dikelola oleh Center for Screen Time Awareness. Koalisi ini merupakan gabungan penggiat media yang tersebar di 70 negara di dunia. Tujuannya mengkampanyekan pemanfaatan media secara sehat, yang menginspirasi Hari Tanpa TV.

Pada 2011 ini, sudah dilaksanakan pada bulan April-Mei yang lalu. Kita bisa saja membuat inisiasi yang sama pada tanggal 23 Juli nanti, sekaligus memperingati Hari Anak Nasional.

Pandangan ekstrem terhadap dampak televisi muncul dari sejumlah pemikir. Perubahan sosial selama beberapa dekade pasca-perang, dinilai karena kehadiran televisi. Televisi pun dituding sebagai biang tergerus serta runtuhnya kebudayaan kontemporer (Brantlinger 1983, 19).

Di antara tokoh-tokoh tersebut, terdapat dua kubu yang berbeda pandangan. Satu sisi melihat televisi memang bobrok tapi masih bisa diperbaiki. Di sisi lain, berpandangan bahwa televisi tidak bisa lagi “ditolong”. Satu-satunya jalan adalah menyingkirkannya.

Muncullah nama-nama seperti Mary Whitehouse, mantan guru sekolah asal Inggris yang mengorganisir gerakan kritik-televisi pada era 1960-an di Inggris Raya. Lalu ada Jerry Mander, Neil Postman, dan Marie Winn yang menginspirasi perlawanan terhadap televisi pada era 1970 dan 1980-an.

Pemurnian konten TV di Inggris

Mary Whitehouse memulai kampanye untuk “memurnikan” televisi sejak 1964. Pemicunya, diskusi tentang seks pra-nikah di stasiun televisi BBC pada Maret 1964. Diskusi itu mengindikasikan bahwa hubungan seksual di luar pernikahan bukanlah sebuah perbuatan amoral.

Whitehouse murka pada hasil diskusi tersebut. Ia meluncurkan manifesto yang mendapat dukungan tokoh publik, khususnya dari kalangan konservatif. Manifesto “Clean-up TV” pun dimulai, dengan kredo “Perempuan Inggris percaya pada nilai-nilai Kristiani.”

Meski Whitehouse termasuk penentang keras televisi, ia tak benar-benar ingin menyingkirkannya. Ia memobilisasi ribuan orang untuk menjadi pemerhati televisi (watchdog), dan bereaksi cepat ketika menemukan konten yang tidak sesuai kepentingan kelompoknya.

Mereka bahkan menuntut BBC memperbanyak tayangan yang “membangun karakter alih-alih menghancurkannya, yang mengagungkan kepercayaan kepada Tuhan dan mengembalikan kehadiran-Nya di hati keluarga serta seluruh bangsa Inggris” (Whitehouse 1967, 23).

Berhadapan dengan kelompok anti-sensor televisi, ia dengan keras berkata, “Terkadang kami disebut kaum anti-intelektual dan nir-imajinasi. Andaipun benar demikian, apakah itu berarti hak kami berkurang untuk menyampaikan apa yang kami percayai?” (1967, 29).

Ia mungkin tak menginspirasi hari tanpa TV, atau sepekan tanpa menonton TV. Ia justru mengadvokasi konten televisi sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya.

Bangkitnya Anti-TV dari Amerika

Beda lagi dengan Jeff Mander. Mantan eksekutif di bidang periklanan ini justru tak mau “memberi ampun” kepada televisi. Dalam manifesto setebal lebih dari 400 halaman berjudul “Four arguments for the elimination of television (1978)”, Mander ngotot bahwa televisi bisa menghancurkan demokrasi dan membangkitkan autoritarianisme.

Menurutnya, televisi menyuburkan polarisasi dan dramatisasi secara vulgar. Ia mendaftarkan 33 macam bias dalam dunia pertelevisian, di antaranya Kekerasan lebih baik daripada TV tanpa kekerasan; Pemaknaan dangkal lebih mudah daripada pendalaman; Televisi pengumbar nafsu seksual lebih baik daripada kepuasan; Keanehan dan kejanggalan lebih mendapat perhatian di televisi daripada yang awam.

Kritik keras Mander meruak di tangah maraknya komersialisasi televisi kabel di AS. Ia juga menilai televisi akan menghancurkan kesehatan fisik dan mental, berdasarkan cerita tentang penonton yang dikabarkan “sakit, gila, dan kerasukan”. Ia pun menuding televisi gagal mengangkut nilai seni-budaya, serta mencerabut komunitas.

Tokoh lainnya, Neil Postman, adalah seorang pendidik dan menyebut dirinya “media ecologist”. Ia berhasil menjual lebih dari 200 ribu salinan bukunya “Amusing Ourselves to Death” (1985), yang merupakan manifesto anti-televisi. Salah satu kredonya adalah “Televisi tidak menghambat buku, melainkan menggantikannya.”

Postman mengkritik gagasan George Orwell yang populer lewat karyanya “1984”. Ia tak percaya televisi akan menyuburkan autoritarianisme–yang disebutnya sebagai “Orwellian dystopia”. Postman lebih mengkhawatirkan televisi yang mengubah segala sesuatu menjadi hiburan.

Dia seorang pengagung media cetak. Postman percaya betul bahwa budaya cetak adalah pondasi dari intelektualitas masyarakat. Televisi menjadi ancaman karena sifatnya yang “menghibur”, jauh dari rasionalitas yang menjadi tonggak pencerahan peradaban.

Mirip dengan Mander, Postman berkesimpulan televisi tak bisa diperbaiki. Namun, bila Mander masih membuka peluang untuk pemanfaatan televisi, Postman tak mau meliriknya. Daripada berusaha membuat konten bagus (saat itu eranya 60 Minutes dan Sesame Street), baginya masyarakat lebih diuntungkan bila televisi menjadi “lebih buruk”.

Akhirnya, gagasan konkret

Tokoh lain yang menonjol adalah Marie Winn, seorang penerjemah, penulis, dan pengamat burung sekaligus aktivis perlindungan lingkungan. Winn menulis manifesto “The Plug-In Drug” pada 1977, yang masih diproduksi hingga 1980. Seperti Mander atau Postman, Winn tak percaya upaya perbaikan kualitas televisi bisa menguntungkan publik.

Ia meledek peneliti yang berusaha mengukur dampak konten tertentu dari televisi. Baginya televisi menghancurkan kesehatan fisik dan mental, serta mengoyak ikatan komunitas, khususnya elemen paling mendasarnya: keluarga.

Menurut dia hidup dengan televisi seperti hidup tanpa stimulasi. Televisi itu candu, seperti obat-obatan atau alkohol, dan merusak kognitif, penglihatan, serta konsentrasi. “Rusaknya gaya hidup pada era 1960-an dan 1970-an adalah dosa televisi,” ujarnya.

Perbedaan mendasar Winn dengan tokoh lainnya, ia menawarkan pendekatan praktis; sebuah proposal tentang metode yang konkret untuk mengatasi masalah dengan televisi.

Bagian keempat bukunya yang bertajuk “No television” berisi laporan dan pengakuan dari orang-orang yang mencoba mengabaikan televisi. Salah satunya adalah laporan dari eksperimennya di Denver pada 1974, menggalang sejumlah keluarga untuk mematikan televisi selama sebulan.

Aksi ini termasuk aksi boikot televisi pertama yang terorganisir di AS. Lalu aksi lain pun menyusul. Winn lalu menulis buku kedua pada 1987 – berisi panduan aksi yang dilabel “Unplugging the Plug-In drug: The ‘No TV Week’ Guide”. Buku ini lalu menjadi pedoman aksi boikot terhadap televisi di seantero Amerika dan Eropa.

Kini, bahkan UNICEF meluncurkan iklan layanan masyarakat yang mendukung Hari Tanpa TV. Berikut adalah contoh iklan televisi buatan UNICEF. Iklan – iklan ini juga tersedia dalam versi media cetaknya, diproduksi oleh Lowe Indonesia untuk UNICEF secara pro-bono (sukarela/tanpa biaya khusus).

*Gambar diambil dari luvori.wordpress.com. Sebagian besar materi tulisan sejarah gerakan melawan televisi, bisa dibaca di buku ini: “Get a Life!” Anti-Television Agitation and Activism

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.