Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Web 2.0 Layak Disebut Industri Partisipasi

Web 2.0 Layak Disebut Industri Partisipasi

Oleh: rahadian p. paramita -- 5 Februari, 2010 
Tentang:  –  Komentar Dinonaktifkan pada Web 2.0 Layak Disebut Industri Partisipasi

Web 2.0 Pixabay

Banyak ramalan tentang Web 2.0 memicu revolusi dalam partisipasi dan demokratisasi lewat internet. Benarkah begitu, atau hanya sekadar bertumbuhnya industri partisipasi?

Casaleggio Associates membawa kita menuju tahun 2051. Saat itu, Google membeli Microsoft, Amazon mengakuisisi Yahoo, dan sederet prediksi eksentrik lainnya soal revolusi media karena Web 2.0.

Man is God. He is everywhere, he is anybody, he knows everything. This is the Prometeus new world,” katanya dalam ramalan yang dibagikan lewat video YouTube tersebut.

Casseleggio Associati adalah entitas konsultan media dan jejaring berbasis di Milan, Italia. Ini hanya satu dari sekian banyak prediksi masa depan dunia yang mengalami revolusi karena teknologi media.

Sebenarnya ini barang lama. Videonya sudah diupload sejak 2007 silam. Sains semu sekaligus ngocol, lebih mirip dengan film bergenre science-fiction.

Kenakalan berpikir Casaleggio sempat diulas dalam sebuah disertasi oleh Camilla Rossi (2010) tentang Web 2.0– sebagai fenomena yang telah mengundang banyak klaim.

Klaim superlatif terhadap kehadiran Web 2.0, seperti dalam video Casaleggio perlu dikritisi. Apakah masuk akal gagasan tentang teknologi baru ini bisa mengubah masa depan secara radikal?

Camilla menyelidiki apakah dan bagaimana proses demokratisasi, pemberdayaan pengguna, serta partisipasi aktif yang diklaim dalam era 2.0 ini dapat dibuktikan dengan temuan empirik.

Ia pun menyimpulkan Web 2.0 layak disebut “industri partisipasi”, untuk menjelaskan bagaimana partisipasi pengguna tidak sepenuhnya secara sukarela dan sadar, tetapi bagian dari rekayasa dalam proses bisnis.

Pembahasan artikel ini akan banyak mengutip karya Camilla Rossi (2010). Salah satu bagian yang relevan dari disertasinya, tentang perkembangan wacana Web 2.0.

Dominasi retorika Web 2.0

Sejak label “Web 2.0” muncul pada 2004, hype dan buzz menyebar luas di media maupun kalangan akademik. Masalahnya, sebagian besar didorong oleh asumsi deterministik, hanya menampilkan sebagian dari kebenaran.

Wacana seputar Web 2.0 menanamkan narasi “keniscayaan dan determinisme teknologi” (Bigge, 2006: 1). Sejarah panjang studi soal web dan teknologi komunikasi sering mengklaimnya “revolusioner” bagi masa depan.

Selain aspek teknis dan ilmiah, sejumlah besar akademisi dan jurnalis (atau jurnalis warga) telah mengajukan klaim yang lebih populer tentang fenomena ini. Camilla meringkas beberapa di antaranya.

Berawal dari O’Reilly (2005) yang memelopori definisi Web 2.0, artikel ilmiah maupun populer, serta beragam wacana meningkat drastis sehubungan dengannya.

Kemunculan ide “pengguna aktif” sebagai sebuah revolusi mencapai puncaknya saat pendiri Wired, Kevin Kelly, menyatakan pada Agustus 2005, “Kami adalah Web … lihatlah kekuatan rakyat” (Kelly, 2005).

Pada akhir 2006, Majalah Time bahkan sempat mendedikasikan sampul depannya untuk “Anda” sebagai “Person of the Year” (Grossman, 2006). Mereka mengklaim teknologi Web 2.0 memberikan “kekuasaan untuk rakyat” dan memungkinkan pengguna membangun demokrasi digital (ibid.: 41-42).

Sejak itu, banyak pernyataan seputar teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memicu pemberdayaan individu dalam mengekspresikan kekuasaan dan meningkatkan pastisipasi masyarakat (pengguna).

Klaim deterministik tentang Web 2.0 mengarahkannya sebagai perubahan revolusioner dalam memberdayakan pengguna, menuju bertumbuhnya partisipasi dan demokratisasi (Orr, 2007).

“Masa Depan Media 2051” oleh Casaleggio Associati hanya salah satu contoh bagaimana retorika Web 2.0 berkembang luas. Kali ini tentang kekuatan emansipasi prosumen, demokratisasi, dan pemberdayaan.

Contoh lain yang senada adalah buku laris Here Comes Everybody, The Power of Organizing Without Organizations (Shirky, 2008) dan Wikinomics (Tapscott and Williams, 2006).

Dua buku tersebut, menurut Camilla, adalah contoh sempurna dari retorika Web 2.0 yang dominan. Pertama, karena mereka populer di kalangan umum maupun akademik.

Kedua, mereka mengangkut semua jargon, mulai dari revolusi, partisipasi, demokratisasi dan pemberdayaan. Mereka pun menyinggung elemen-elemennya, seperti konten buatan pengguna (user generated content), prosumption, dan amatir vs. produsen profesional.

Ada pula klaim Tapscott dan Williams (2006) yang menyebut teknologi Web 2.0 (melalui kolaborasi, prosumage, produksi amatir) mendukung apa yang mereka sebut “ekonomi kolaboratif”, “ekosistem pengembang”, dan “platform terbuka yang mengundang inovasi partisipasi, oleh amatir maupun profesional.

Anda bisa melihat dominasi retorika yang sama dalam presentasi Dana Boyd (2009) ini. Ia sarjana di bidang teknologi dan media sosial, peneliti mitra di Microsoft Research, pendiri dan presiden Institut Penelitian Data & Masyarakat, dan profesor tamu di Universitas New York.

Web 2.0 sebagai Industri Partisipasi

Tanpa penjelasan yang tepat dan argumentatif tentang pembingkaian wacana ini, retorika dominan tentang Web 2.0 menjadi potongan-potongan teka-teki yang kabur dan sulit untuk dianalisis.

Kehebohan seputar dampak revolusioner dari teknologi, sebenarnya bukan hal baru. Misalnya dalam kasus telegraf, pernah diklaim mengarah pada perdamaian dunia (lihat Standage, 1998, dikutip dalam Orr, 2007).

Menilik riwayatnya, klaim dampak revolusioner web berurusan dengan dua: aspek: Pertama, hype tentang web sudah tercatat dalam sejarah panjang atas klaim dampak revolusioner TIK.

Berikutnya, argumen tentang dugaan efek demokratisasi dan partisipasi dari web terkait dengan aksesibilitas dan struktur jaringan. Fenomena itu memungkinkan demokratisasi melalui aksi kolektif (Rheingold, 1993, 2002).

Demokratisasi terjadi karena ada argumen bahwa teknologi internet telah meratakan hierarki di antara konsumen atau/atau pengguna. Era Web 2.0 digadang telah menyebabkan konsumen bisa sekaligus jadi produsen (prosumen).

Meletusnya gelembung dot com (dot com bubble) sebenarnya sudah menyangkal retorika revolusi web. Peristiwa itu merujuk pada kolapsnya bisnis dot com yang menggelembung sejak 1995, dan memuncak pada Maret 2000.

Fakta-fakta tersebut jadi bukti bahwa gelembung dot com tak bisa dipercaya, tetapi tak menyurutkan akademisi dan jurnalis untuk meramalkan bahwa era web bakal memiliki dampak revolusioner pada masyarakat.

Banyak klaim dominan atas Web 2.0 yang cenderung teoritik, perlu dipertajam dengan temuan empiris seperti yang dilakukan Camilla dengan meneliti interaksi pengguna di MySpace.

Temuannya menyimpulkan bahwa pengguna yang diamati tidak dikonfigurasi dalam kerangka “demokratis simetris” dan aktor-jaringan partisipatif, melainkan Techno-Economic Network (Callon, 1991).

Para pengguna tidak diberdayakan secara tulus dan signifikan. Buktinya, pengguna hampir tidak punya peran secara demokratis terkait kemampuan menantang hierarki bisnis dan pasar.

Model bisnis “industri partisipasi” membatasi dan membentuk partisipasi pengguna melalui model yang telah dirancang. Partisipasi semu, karena pengguna sejatinya mengikuti “naskah” yang ditetapkan oleh sang pemilik.

Meski begitu, Camilla tidak berniat menyangkal atau mencari argumen bantahan atas klaim besar terhadap Web 2.0. Ia menempatkan penelitiannya sebagai pengayaan, mengisi kesenjangan literatur dengan studi empirik.

*Gambar dari Pixabay via Pexels

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.