Kenapa perempuan cantik harus langsing dan berkulit putih? Karena itulah citra yang disajikan berbagai media. Ia bak mantra budaya populer, menyingkirkan siapa pun yang liyan.
Menjadi cantik memang harapan semua perempuan. Tinggi langsing, berkulit putih atau kuning langsat, rambut hitam tergerai berkilauan, atau entah apalagi. Dari mana definisi itu muncul?
Semua gambaran itu wujud para model yang tampil menawan di majalah-majalah, tabloid, atau di layar televisi. Ia tidak merefleksikan kenyataan. Ia citra yang diciptakan.
Padahal, budaya tertentu punya penilaian lebih tinggi terhadap wanita-wanita berbadan subur sebagai wanita yang “cantik”. Tapi persepsi itu kian tidak populer. Ilustrasi berikut, mungkin jauh lebih nyata:
Seorang anak perempuan berusia 14 tahun, sedang sibuk mematut diri di depan cermin. Di atas meja riasnya, tergeletak sebuah majalah mode terbitan terkini. Dalam pikirannya sedang berkecamuk berbagai harapan tentang kecantikan yang disaksikannya di atas lembaran majalah itu, dan ia mulai membandingkan dengan dirinya,
‘Coba kalau beratku bisa berkurang 5 kilo lagi. Atau aku memiliki alat kosmetik yang mereka pakai…’ Halaman demi halaman dibukanya, dan raut wajahnya justru semakin menyiratkan harapan yang tak kunjung terpenuhi…
Media menyajikan standar bagi citra ideal, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terutama pada perempuan, konsep kecantikan yang disajikannya bahkan sudah menjelma bagaikan ukuran kepatutan.
Menatap kesempurnaan para model di media massa, seolah sedang berada di dalam Iron Maiden. Bukan, bukan tentang grup musik rock yang itu. Ini alat penyiksaan “Gadis Besi” yang terdiri dari lemari besi padat dengan bagian depan berengsel dan interior tertutup paku.
Seksualisasi menyasar remaja perempuan
Pada Agustus 2007, Women’s Forum Australia (WFA) mempublikasikan hasil penelitian tentang “Faking it: The female image in young women’s magazines“. “Faking it” merefleksikan citra tubuh melalui penelitian terhadap majalah, media massa, dan objektifikasi seksual terhadap perempuan.
Terbitan hasil riset yang dikemas layaknya majalah ini mengompilasi hasil riset di Australia maupun internasional tentang dampak merusak media terhadap remaja perempuan. Budaya populer yang dikampanyekan lewat media telah secara konsisten menyajikan citra yang diobjektifikasi, diidealisasi, dan menonjolkan seksualisasi.
Meski agak sulit diterangkan, istilah “seksualisasi” merujuk pada barang-barang yang secara potensial mempunyai makna atau dimaknai secara seksual.
Ia bisa berupa barang atau produk yang menekankan bagian-bagian tubuh dan bentuk-bentuk tubuh yang secara kultural diasosiasikan dengan seksualitas dewasa.
Riset WFA menemukan fakta miris, seperti remaja perempuan yang sudah sejak dini menjadi target marketing seksualitas yang agresif, dan mempromosikan cara pandang bahwa mereka bukanlah anak-anak, tetapi orang dewasa-mini yang seksi.
Berkembangnya seksualitas kaum perempuan mengindikasikan bahwa perempuan menginternalisasikan obyektifikasi-diri, mengembangkan harga-diri (self-esteem) yang rendah. Mereka meyakini bahwa tubuh adalah situs feminitas dan daya tarik ketimbang kepribadian ataupun capaian edukasional dan karier.
Keindahan tubuh adalah jalan mudah menuju penerimaan sosial, romansa dan status. Keyakinan demikian termanisfestasi dalam relasi sosial kaum muda perempuan yang menuntut konformitas pada mitos tentang kecantikan, kompetisi untuk meraup perhatian dari lawan jenis melalui seksualisasi-diri (Lemish, 2011).
Apabila kemudian terjadi kekerasan seksual atau pelecehan, sikap masyarakat yang telah dibentuk oleh pencitraan semacam ini adalah mempersalahkan korban (APA, 2007).
Salah satu yang vokal menyuarakan temuan ini adalah Melinda Tankard Reist, seorang penulis asal Canberra, Australia, yang aktif mengadvokasi hak-hak perempuan. Ia lantang bersuara soal objektifikasi perempuan.
Salah satu tema yang diangkatnya adalah “Toxic Culture: Challenging the Sexualisation of Girls“. Eksploitasi seksualitas remaja perempuan di media massa disebutnya sebagai budaya yang beracun.
Racun budaya populer lewat media ini memaksa anak dan remaja perempuan tumbuh di lingkungan yang penuh tekanan seksualitas. Gadis-gadis “dipaksa” tampil “kurus, seksi, hot,”.
Harus bisa menghadapi kenyataan
Yang mungkin orang sudah tahu tapi seperti tak peduli, segala kecantikan dan kesempurnaan lewat media itu adalah karya kolaboratif para kru produksinya.
Ada fotografer dalam menentukan sudut pandang terbaik, juru lampu yang mampu menghasilkan gambar menawan, belum lagi para artis komputer grafis yang mampu mengubah atau memodifikasi “cacat” pada si model, agar tampak sempurna di mata pemirsanya.
Apa yang ditampilkan media-media gaya hidup, baik lewat foto, artikel, atau iklan, pada akhirnya adalah upaya menciptakan kebutuhan. Kebutuhan, didorong oleh motivasi untuk mencapai sesuatu yang belum dimiliki saat ini.
Konsumen yang baik, adalah mereka yang tak pernah selesai dengan kebutuhannya. Kebutuhan diciptakan dengan membuat suasana hati si konsumen tidak nyaman dengan situasinya saat ini.
Maka, tugas media-media itu menciptakan kebutuhan, sesumir apapun prioritasnya dalam kehidupan.
Kalau kulit Anda kurang putih, rambut Anda kurang lurus, otot Anda kurang atletis, Anda adalah mangsa empuk. Perasaan insecure atau tidak aman, tercipta karena kesempurnaan yang menghantui para konsumen.
Bahkan setelah mengkonsumsi produk yang ditawarkan, itu baru awal dari jebakan lingkaran setan perilaku konsumtif yang diinginkan.
Banjir informasi dengan maraknya berbagai media massa di sekitar para remaja, dituding sebagai penyebab utama perilaku baru yang mendewakan satu konsep kesempurnaan tubuh.
Tetapi menyalahkan media saja bukan sikap yang bijaksana. Generasi muda pun tidak bisa diasingkan dari pelbagai terpaan informasi tersebut, yang niscaya akan semakin besar.
Menyiapkan mereka agar bisa menjadi pribadi yang tangguh, percaya diri, dan bisa berkompromi dengan situasi-kondisi dirinya saat ini, adalah pilihan terbaik.
Biarkan iklan atau media massa menggonggong apa yang menurut mereka penting, “kafilah” tetap bisa berlalu. Singkirkan saja racun-racun budaya populer tersebut, dan ambil madunya.
Kemampuan ini yang perlu dikembangkan bagi generasi muda, yang kini digadang sebagai generasi digital. Mereka adalah para digital native, mereka lahir dan dibesarkan di tengah hingar bingar dunia digital.
Hampir setiap saat, interaksi manusia modern saat ini tidak terlepas dari media-media digital. Kemampuan melek media, memberi peluang detoksifikasi media dari konten beracun yang berpotensi menyeret generasi muda, terutama para remaja putri, pada pendewaan satu konsep kecantikan saja.