Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Tanggung Jawab Sosial Desain(er)

Tanggung Jawab Sosial Desain(er)

Oleh: Melekmedia -- 28 Mei, 2011 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Tanggung Jawab Sosial Desain(er)

Desain tidak hanya harus bagus secara estetik (good design), juga punya tanggung jawab terhadap umat manusia (design for good). Inilah gagasan di balik kampanye Do Good Design.

David B. Berman, penulis buku “Do Good Design“, diundang ke Indonesia oleh ADGI bekerja sama dengan Aikon Media Publik untuk bertukar wawasan dan pengalaman tentang Do Good Design, bertajuk Beyond Brand and Design.

Tim Melekmedia berkesempatan menghadiri acara seminarnya, yang diadakan di Jakarta, 27 Mei 2011 yang lalu. Siapa pula David Berman? Apa sebenarnya gagasan Do Good Design?

David Berman, adalah desainer asal Kanada, yang kini aktif bekerja untuk menyebarkan kode etik desain bersama Icograda, dan  Society of Graphic Design of Canada, serta beberapa asosiasi profesi lainnya.

Seperti yang ia tulis di bagian pendahuluan bukunya, pada 2000 ia menjual biro desain grafis miliknya, dan memilih untuk menyeimbangkan antara bekerja untuk klien, dan menjadikan dunia lebih baik, serta berbagi kepada orang lain tentang bagaimana mewujudkannya.

Menurut Breman, desainer memiliki tanggung jawab sosial yang penting, karena di dunia ini, desain adalah inti dari tantangan sekaligus solusi.

Dalam presentasinya, Breman menunjukkan bukti-bukti, betapa desain bukan sekedar menciptakan sesuatu yang indah, tetapi juga berkaitan dengan hidup dan mati seseorang, atau masyarakat tertentu. Hidup mati?

Contoh desain ballot, atau kartu suara pemilu di AS yang sangat buruk, menunjukkan betapa desain yang salah bisa mengakibatkan terpilihnya orang yang salah, dan dengan demikian bisa menyebabkan lahirnya kebijakan yang ‘salah’ pula.

Tentu saja, karena presiden memiliki kewenangan membuat kebijakan yang menentukan hidup mati warganya, misalnya dalam keputusan berperang dengan negara lain.

Yang menarik, Breman juga menunjukkan betapa branding sekarang sudah terlalu berlebihan. Ia menunjukkan bagaimana penjenamaan sebuah merk minuman soda yang terkenal, meliputi hampir semua aspek kehidupan masyarakat, bahkan sampai papan nama sebuah gereja!

Breman juga menampilkan beberapa contoh tentang bagaimana iklan telah membuat citra terhadap tubuh, terutama perempuan, menjadi benda-benda atau produk yang sedang diiklankan.

Seringkali tubuh perempuan mengisi ruang lebih dominan daripada produk/jasa yang sedang diiklankan, bahkan menjadi satu-satunya visual, melupakan objek utamanya. Perempuan sudah tak ubahnya menjadi benda-benda mati. T e r l a l u . . .!

Dari semua contoh itu, Breman ingin mengatakan, bahwa desainer seharusnya bisa berbuat lebih baik. Desain punya tanggung jawab sosial terhadap warga, bukan sekadar meladeni kepentingan komersial.

Salah satu yang dipromosikannya adalah dengan membuat standar kode etik, yang dapat berlaku umum terhadap semua karya desain yang dipublikasikan.

Standar kode etik ini, diharapkan mampu “memperbaiki” nilai desain yang dibuat, disesuaikan standar nilai-nilai keberlanjutan alam, dan nilai kemanusiaan yang berlaku universal.

Inilah yang disebutnya sebagai Do Good Design. Desain tidak hanya bagus secara estetik (good design), juga harus membawa kebaikan (design for good) bagi umat manusia.

Ia menunjukkan banyak karya yang membuktikan bahwa membuat desain yang mendorong kebaikan, juga bisa mendatangkan keuntungan. Artinya, mencari untung melalui iklan bukanlah hal yang salah, tetapi caranya perlu diperhatikan.

Breman ingin membuktikan, bahwa cara-cara yang baik, yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, keberlanjutan alam, tidak bertentangan dengan  kepentingan pihak industri yang ingin mendapat keuntungan.

Sarannya, desainer dapat mengalokasikan setidaknya 10% waktunya untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keprofesiannya, demi kebaikan umat manusia.

Upaya melakukan kebaikan ini sebaiknya berkaitan dengan profesi desainer, sementara ukuran mana yang baik atau tidak, sebenarnya sudah ada dalam diri si desainer sendiri.

Setiap desainer, pasti memiliki nilai yang kontekstual dengan dirinya, maupun lingkungannya, yang memberi standar tersendiri mengenai apa yang baik bagi kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya.

Berman berjanji, bahwa kehadirannya di Indonesia dapat menghasilkan pemikiran dan gagasan kongkret mengenai kode etik periklanan di Indonesia. Ia mengemukakan beberapa keprihatinan soal Indonesia, misalnya mengenai kebijakan pemasangan billboard produk rokok, yang di negara asalnya, Kanada, sudah lama dilarang.

Pelarangan ini berkaitan dengan dampaknya terhadap anak-anak dan remaja, mereka yang belum semestinya mampu mengambil keputusan sendiri mengenai kebiasaan merokok.

Mari kita tunggu gebrakan selanjutnya dari ADGI, yang akan membawa diskusi ini selain di Jakarta, juga ke Yogyakarta dan Bali.

Masih banyak pertanyaan, apakah gagasan seperti ini mungkin diwujudkan di Indonesia. Rasanya kita perlu mempertimbangkan apa yang dipercayai David Berman, “Masa depan dunia kita adalah proyek desain kita bersama.”

Foto: errithethird from the internet

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.