W. James Potter, adalah seorang profesor di Department of Communication, University of California, Santa Barbara, AS. Penelitiannya terfokus pada dampak media, melek media, dan kekerasan dalam media.
Ia menulis buku “Media Literacy” (2001). Memulai kariernya sebagai jurnalis di sebuah kota kecil, hingga jadi editor Journal of Broadcasting & Electronic Media.
Kepada situs medialit.org, ia menceritakan pengalamannya menjadi jurnalis di kota kecil. Di kota kecil, jurnalis harus melakukan semuanya sendiri. Mulai dari mencari berita, menulisnya, menyuntingnya, bahkan menata letaknya. Iapun bertemu banyak orang untuk mendapatkan informasi dari mereka.
Karena pengalamannya itu, ia sempat berpikir; Kenapa ada berita yang menurutnya penting, tetapi tak dibaca oleh masyarakat. Sementara, berita yang dianggapnya selingan belaka, ternyata menjadi percakapan banyak orang.
Ia lalu mencoba mempelajari, hal apa yang menarik perhatian orang, apa yang mereka baca, dan apa yang mereka pelajari setelah membacanya. Inilah yang membawanya pada media literacy, atau melek media.
Menurut James Potter melek media adalah sebuah perspektif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan memaknai pesan yang disampaikan di dalamnya.
Awalnya, ia menulis buku tentang melek media ini karena kebutuhannya sebagai pengajar. Ia menyadari, bicara tentang melek media, risikonya perlu memahami beberapa hal kecil dari banyak hal yang terkait.
Melek media adalah pengetahuan multidisiplin. Jika ingin memahami media, harus tahu tentang cara kerjanya. Mulai dari pengumpulan informasi, ditulis, dan dikemas dalam media. Selain itu, harus tahu mengenai industrinya. Bagaimana para pemilik media mendapatkan keuntungan dari bisnisnya?
Kekerasan dalam media
Mengenai kekerasan dalam media, dalam wawancarai oleh businessmatters.net, Potter menyatakan kekerasan yang dilakukan tokoh protagonis dalam film perlu mendapat perhatian. Dalam film detektif, misalnya, selalu ada polisi sebagai protagonis, dan penjahat sebagai antagonis.
Keduanya bisa melakukan kekerasan dalam film, tetapi tokoh protagonis seolah “bebas” melakukan kekerasan. Sementara sang antagonis, pasti mendapat hukuman, apapun bentuknya.
Kekerasan yang dibiarkan dalam tayangan, baik dalam film maupun liputan berita, bila lepas dari hukuman setimpal, tidak mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa apapun bentuknya kekerasan itu dilarang.
Bila tayangan kekerasan itu muncul secara berulang-ulang dan “dimaklumi”, mempengaruhi persepsi publik dan melahirkan tindakan kekerasan di tempat lain. Orang merasa punya pembenaran ketika melakukan kekerasan untuk “kebenaran”. Ini merupakan dampak media yang seharusnya bisa dicegah.
James Potter juga pernah menulis buku “The 11 Myths of Media Violence” (2002). Salah satu hal penting dalam buku itu, mengenai dampak media, baik dalam jangka pendek, maupun jangka panjang. Bicara dampak, ada yang baik maupun buruk.
Ia menyatakan kekerasan dalam media memiliki pengaruh buruk bagi masyarakat, tetapi belum ada tindakan nyata untuk mengubah apa pun. Sulit menemukan perubahan dari produsen, dalam konsumsi masyarakat, atau pembuat kebijakan.
Penyebabnya dapat dilacak ke hal mendasar: kurangnya komunikasi sehingga tidak benar-benar memahami masalah tersebut. Tidak ada kerja sama yang cukup antara kelompok-kelompok yang berbeda ini untuk benar-benar membuat perubahan.
11 mitos yang diurai dalam bulu tersebut, membedah asumsi umum tentang hubungan media dengan kekerasan, yang merupakan hambatan utama dalam menghadapi masalah ini. Potter menyajikan dan menganalisis setiap mitos, dan pada bab terakhir ia menawarkan serangkaian keyakinan alternatif, mencoba mengoreksi yang salah.
Di akhir buku dia mengingatkan bahwa kita harus mengakui bahwa semua orang bertanggung jawab atas masalah kekerasan di media dan masing-masing telah memainkan peran dalam memperburuk masalah. Oleh karena itu, semua dapat berperan dalam membuat situasi menjadi jauh lebih baik,
“Ketika masing-masing dari kita mengorbankan sedikit kesenangan egois jangka pendek, kita dapat bersama-sama secara substansial mengurangi risiko bahaya bagi kita semua,” tulisnya dalam buku tersebut.
Dampak jangka pendek
Dalam konteks buku ini, Potter menyoroti dampak negatif tayangan kekerasan dalam media. Secara umum ada lima tipe dampak, yaitu dampak terhadap perilaku, psikologis, emosional, sikap, dan kognitif. Kelima dampak ini terjadi di dalam diri individu, meski demikian dampaknya juga menyebar di lingkungan masyarakat seperti penyakit menular.
Menurut Potter, media tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga komunitas. Ini karena ada dampak turunan atau dampak tidak langsung yang diterima individu. Dampak kekerasan dalam media bisa menerpa individu, dan sebagai turunannya, (sekelompok individu yang sudah terpapar) bisa “menulari” individu lain dalam masyarakat.
Jadi, seseorang bisa saja menghindari tayangan kekerasan di media, namun ia sulit menghindar dari masyarakat di lingkungannya. Individu mungkin tak terpapar langsung dengan kekerasan dalam media, tetapi ia bisa tertular dari pergaulannya dalam masyarakat.
Berikut adalah ringkasan mengenai dampak jangka pendek tayangan kekerasan dalam media versi Potter:
- Imitation and Copying Behavior (Imitasi dan Perilaku Meniru). Anak-anak maupun orang dewasa mempelajari perilaku baru dari apa yang yang mereka lihat di media.
- Triggering Novel Behavior (Memicu Perilaku Baru). Media menstimulasi seseorang untuk berperilaku tetapi tidak sama persis atau tidak ia tiru dari tayangan di media. Mereka ini terstimulasi oleh apa yang dirasakan dengan melihat tayangan negatif, dan bereaksi secara agresif dalam bentuk baru untuk menyesuaikan dengan keadaaannya.
- Disinhibition. Eksposur dari tayangan kekerasan di media, mengurangi kemampuan mereka dalam menahan diri yang secara normal menghindarkan dari munculkna aksi kekerasan. Nilai-nilai yang membuat mereka menahan diri dari kekerasan, bisa terkikis oleh tayangan kekerasan yang berulang-ulang dari media.
- Attraction (Daya Tarik). Beberapa orang tertarik dengan kekerasan, meski tidak berlaku umum untuk semua orang.
- Fight or Flight. Paparan tayangan kekerasan dalam media, bisa menyebabkan peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Hal ini berdampak pada psikologi mereka. Efek yang sama terjadi pada seseorang yang merasa terancam di dunia nyata.
- Excitation Transfer. Kekerasan atau aksi seksual yang ditampilkan media berpotensi membangkitkan hasrat penonton, dan konsekuensinya terkadang bisa menjadi sumber energi. Hasrat yang tak tersalurkan atau dikelola dengan baik, bisa mengakibatkan dorongan perilaku kekerasan atau aksu seksual yang lain.
- Temporary Fear. Kekerasan dalam media dapat menyebabkan seseorang tercekam rasa takut yang tiba-tiba. Ketakutan ini merupakan respon serentak dan terbentuk karena ketidaktenangan, kegelisahan, dan peningkatan dorongan psikologis yang berulang kali terjadi pada penonton sebagai hasil dari paparan tayangan media tertentu.
- Desensitization. Media dapat menurunkan reaksi emosional. Ia bahkan bisa menyebabkan melemahnya kemampuan untuk menahan dorongan membunuh.
- Catharsis. Salah satu dampak yang paling kontroversial. Katarsis adalah dampak emosional yang dialami seseorang ketika menggunakan media untuk mengalihkan emosi negatif, misalnya rasa takut atau marah. Katarsis juga sebuah komponen psikologis, karena ia bekerja ketika seseorang mengalami “gangguan” dengan intensitas yang tinggi.
- Immediate Creation or Change of Attitudes (Perubahan perilaku secara tiba-tiba). Perilaku baru seseorang dapat “diciptakan” atau diubah dengan paparan kecil. Menonton tayangan kekerasan dapat membuat orang kurang peduli atau kurang perhatian terhadap agresifitas yang ditunjukkan orang lain, meski untuk sementara.
- Learning Specific Acts and Lessons. Belajar dedefinisikan sebagai penguasaan fakta sehingga suatu ketika dapat digunakan kembali oleh orang tersebut. Belajar tidak perlu harus direncanakan, ia dapat terjadi dengan begitu saja. Pembelajaran secara insidental justru bisa berlangsung ketika kita tidak dengan sengaja berupaya untuk mempelajarinya, atau ketika si pengirim pesan tidak bermaksud agar pemirsanya belajar sesuatu dari media yang dibuatnya.
- Learning Behaviors. Orang-orang dapat mempelajari perilaku baru dengan menonton karakter/tokoh yang ditampilkan media. Mereka tidak saja belajar tentang perilaku tersebut, tetapi juga belajar bahwa tidak ada konsekuensi ketika mempraktikkan perilaku tersebut.
*Foto: www.comm.ucsb.edu
masih banyak yang belum memahami tentang pengaruh media untuk saat ini, sehingga kata media literacy pun juga masih asing bagi banyak orang. media literacy yg seharusnya sudah menjadi kurikulum pendidikan sejak dini, hingga sekarang di bangku perkuliahan saja masih kurang diperhatikan, paling2 hanya mendapat porsi 1 semester.
pentingnya media literacy ini adalah mengajak khalayak bukan untuk menghindari pesan yang terdapat di media, tetapi dari pesan yang kita terima, bukannya kita terpengaruh ke arah yang buruk tetapi memanfaatkan pesan tersebut untuk menambah informasi dan memperluas wawasan kita.
saya rasa tulisan ini (W. James Potter: Manfaatkan Media, Hindari Dampak Buruknya) sangat bagus untuk digalakkan lagi terutama bagi kalangan pelajar pada masa remaja awal, karena dari apa yang sempat saya teliti, ternyata media literacy ini mampu membantu dalam perkembangan kognitif remaja ditengah serangan pesan media dan fase perkembangan kognitif remaja yang semakin rentan terhadap pengaruh buruknya.
Membantu sekali untuk bahan referensi tugas kuliah dan pengetahuan lebih jelas bagi mahasiswa informasi dan perpus spt saya. terimakasih. 🙂