PBB memperingatkan bahwa kebebasan pers terancam di seluruh dunia, saat memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Rabu (3/5/2023). Sementara Reporters Without Borders (RSF) melaporkan situasi bagi jurnalis hanya memuaskan di tiga dari sepuluh negara.
“Kebebasan kita bergantung pada kebebasan pers,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pesan video peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, menyebutnya sebagai “pondasi demokrasi dan keadilan” dan “darah kehidupan hak asasi manusia”.
“Tetapi di setiap sudut dunia, kebebasan pers tengah diserang,” lanjutnya dalam konferensi yang diselenggarakan di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.
UNESCO pun memberikan Penghargaan Kebebasan Pers Sedunia 2023 kepada tiga perempuan Iran—dua jurnalis dan seorang aktivis hak asasi manusia—yang tengah dipenjara.
Mereka adalah Niloofar Hamedi, Elaheh Mohammadi, dan Narges Mohammadi, yang menerima penghargaan 2023 UNESCO/Guillermo Cano World Press Freedom Prize.
Laporan RSF menegaskan pernyataan Sekjen PBB barusan. Dalam laporan per 2023, sebanyak 55 jurnalis dan empat pekerja media tewas dalam tugasnya pada 2022. Situasi kebebasan pers dunia kini tidak lebih baik dibandingkan periode sebelumnya (lihat grafik interaktif).
Indeks Kebebasan Pers Sedunia 2023 yang mengevaluasi lingkungan jurnalistik di 180 negara dan wilayah menemukan situasinya “sangat serius” di 31 negara, “sulit” di 42, “problematis” di 55, dan “baik” atau “memuaskan” di 52 negara.
Norwegia menempati peringkat pertama untuk ketujuh kalinya berturut-turut. Anomalinya, negara non-Nordik menempati peringkat kedua, yaitu Irlandia (naik empat peringkat), di atas Denmark (turun satu peringkat).
Tiga peringkat terbawah ditempati oleh negara-negara Asia: Vietnam (peringkat 178); China (turun empat di peringkat 179) yang merupakan penjara jurnalis terbesar di dunia dan salah satu eksportir konten propaganda; dan Korea Utara (peringkat 180).
Tahun ini peringkat Indonesia lebih baik dibandingkan dengan capaian tahun lalu; ada di peringkat 108 dari 180 negara. Sementara tahun lalu, Indonesia hanya di peringkat 117. UU ITE masih menjadi momok kebebasan pers di Indonesia.
Timor Leste ada di ranking ke-10, jauh di atas Indonesia. Kendati begitu Indonesia masih lebih baik dari Brunei (142), Pakistan (150) dan Filipina (132), tetapi masih di bawah Taiwan (35), Malaysia (73), Bhutan (90), atau Thailand (106).
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim, mengungkapkan dalam catatan AJI sudah ada 38 jurnalis yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE. Empat orang di antaranya dijebloskan ke penjara.
Sampai tahun 2022, setidaknya ada 61 kasus serangan kepada 97 jurnalis menjadi target serangan UU ITE. Sementara di tahun 2023, terdapat 33 kasus.
“Hari Kebebasan Pers 2023 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers saling bergantung, saling terkait, dan tak terpisahkan dengan hak asasi manusia lainnya,” kata Sasmito dalam keterangannya, Rabu (3/5/2023).
Indeks versi RSF ini juga mengungkap bagaimana era digital mengubah lanskap informasi dunia, dan efek yang dihasilkan industri konten palsu terhadap kebebasan pers.
Di dua pertiga negara (118) yang dievaluasi, sebagian besar responden mengatakan bahwa tokoh politik di negara mereka sering terlibat dalam kampanye disinformasi atau propaganda masif atau sistematis.
RSF mengatakan bahwa semakin sulit untuk membedakan antara apa yang benar dan palsu atau nyata dan buatan, dan ini bisa mengancam hak atas informasi. Indeks tahunan RFS dirilis pada 3 Mei memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Peningkatan konten palsu, permusuhan terhadap jurnalis dan perilaku agresif dari pihak berwenang di banyak negara menjelaskan situasi yang tidak aman bagi kebebasan pers, menurut laporan tersebut.
Perkembangan kecerdasan buatan yang luar biasa juga membuat kacau dunia media yang sudah diguncang oleh Web 2.0. Sementara, pemilik Twitter, Elon Musk, mendorong pendekatan komersial terhadap informasi yang menunjukkan bahwa platform itu tidak lagi stabil bagi jurnalisme.
Industri disinformasi menyebarkan konten manipulatif secara massal, seperti ditunjukkan investigasi konsorsium Forbidden Stories yang didirikan RSF. Kini, kecerdasan buatan mencerna konten dan menerbitkannya dalam bentuk sintesis yang tidak mematuhi prinsip dasar jurnalistik layak.
Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, mengatakan bahwa dampak era digital membuat jurnalistik profesional, bebas, dan independen lebih diperlukan dari sebelumnya. Ia pun menegaskan bahwa pelecehan dan intimidasi terhadap jurnalis tidak dapat diterima.
“Kita berada di persimpangan jalan baru,” kata Azoulay. “Jalur kita saat ini menjauhkan kita dari perdebatan publik yang berinformasi… menuju jalur yang semakin terpolarisasi.”
“Platform digital memberi banyak cara baru bagi kita untuk menginformasikan dan mengekspresikan diri. Namun, juga menjadi tanah subur bagi yang menabur disinformasi dan teori konspirasi,” tukasnya.
Penerbit New York Times, A.G. Sulzberger, mengatakan bahwa bukan hanya penindasan langsung yang mengancam jurnalis dan kebebasan informasi.
“Internet juga memicu ledakan disinformasi, propaganda, punditry, dan clickbait yang sekarang menghancurkan ekosistem informasi kita… mempercepat penurunan kepercayaan sosial,” kata dia. “Ketika pers bebas tergerus, erosi demokrasi hampir selalu mengikuti,” imbuhnya.
*Gamabr tangkapan layar dari situs RSF Index 2023