Beranda  »  Sorotan Media   »   Lebih Banyak yang Resah Karena AI

Lebih Banyak yang Resah Karena AI

Oleh: Melekmedia -- 25 Oktober, 2025 
Tentang:  –  Komentar Anda?

Disney Pixar Cars Tow Mater

Kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) kini merambah hampir setiap sudut kehidupan kita. Dari asisten virtual di ponsel hingga algoritma yang menentukan konten media sosial yang kita lihat, kehadirannya semakin tak terhindarkan.

Pertanyaannya: bagaimana sebenarnya publik global menyikapi teknologi yang terus berkembang pesat ini? Riset terbaru Pew Research Center memberikan gambaran menarik.

Survei yang dilakukan pada musim semi 2025 di 25 negara menunjukkan mayoritas orang sudah mengenal AI—setidaknya pernah mendengar atau membacanya. Namun, alih-alih disambut dengan antusiasme, gelombang AI justru memicu kekhawatiran yang lebih besar.

Sekitar 34% responden di seluruh negara yang disurvei mengaku lebih khawatir daripada bersemangat dengan penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari. Sementara 42% merasa sama khawatir dan sama antusiasnya. Hanya 16% yang benar-benar excited daripada cemas.

Di Amerika Serikat, Italia, Australia, Brasil, dan Yunani, kekhawatiran ini bahkan lebih kentara—sekitar separuh dari populasi dewasa menyatakan kecemasannya. Sebaliknya, Korea Selatan terlihat lebih rileks, dengan hanya 16% yang mengaku lebih khawatir.

Ada korelasi menarik yang terungkap dalam data: Semakin tinggi pendapatan per kapita sebuah negara, semakin tinggi kesadaran tentang AI. Di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Prancis, dan AS, sekitar setengah populasi dewasa mengaku sudah mendengar tentang AI.

Bandingkan dengan India (14%) dan Kenya (12%), di mana kesadaran masih jauh lebih rendah. Tapi ini bukan sekadar soal akses informasi, tapi juga cerminan dari seberapa cepat teknologi ini diadopsi dan diperbincangkan dalam ruang publik.

Siapa yang Dipercaya Mengatur AI?

Ketika ditanya siapa yang mereka percaya untuk mengatur penggunaan AI secara efektif, mayoritas responden menjawab: Negara mereka sendiri. India memimpin dengan 89%, diikuti Indonesia (74%) dan Israel (72%). Hanya di Yunani 22% warga percaya pemerintah mampu menangani AI.

Posisi Indonesia cukup menarik dalam survei ini. Dengan 74% tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal regulasi AI, Indonesia berada jauh di atas median global yang hanya 55%. Ini menunjukkan optimisme publik Indonesia yang relatif tinggi terhadap kemampuan pemerintah mengelola AI.

Sebuah kontras dengan skeptisisme yang terlihat di banyak negara maju. Di AS sendiri hampir merata: 44% percaya, 47% tidak. Menariknya, kepercayaan ini juga bersifat partisan. Di AS, 54% pendukung Partai Republik percaya pemerintah, sementara 36% dari Demokrat yang percaya.

Ketika menyangkut lembaga internasional, Uni Eropa ternyata lebih dipercaya publik global daripada AS atau China. Sebanyak 53% responden mempercayai UE untuk mengatur AI, dibandingkan dengan 37% untuk AS dan 27% untuk China.

Kepercayaan pada China, khususnya, lebih tinggi di kalangan generasi muda dan di negara-negara seperti Indonesia dan Afrika Selatan, di mana pandangan terhadap China cenderung lebih positif.

Di Indonesia, masyarakat lebih cenderung mempercayai China daripada AS sebagai regulator AI—sebuah pola yang mencerminkan dinamika geopolitik dan hubungan bilateral yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Dilema ini dihadapi Indonesia, saat penguasa AI hanya dua di dunia.

Demografi Mempengaruhi Persepsi

Tidak semua orang memandang AI dengan cara yang sama. Riset ini menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan usia, gender, pendidikan, dan kebiasaan digital.

Usia: Generasi muda jauh lebih aware dan lebih antusias. Di Yunani, misalnya, 68% orang dewasa di bawah 35 tahun sudah banyak mendengar tentang AI, dibandingkan hanya 20% dari mereka yang berusia 50 tahun ke atas.

Generasi muda juga cenderung lebih excited dengan AI, sementara kelompok yang lebih tua cenderung lebih khawatir.

Gender: Di lebih dari setengah negara yang disurvei, laki-laki lebih banyak mendengar tentang AI dibanding perempuan. Sebaliknya, perempuan di banyak negara cenderung lebih khawatir tentang dampak teknologi ini.

Pendidikan: Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar kemungkinan mereka mengenal AI dan merasa lebih antusias—atau setidaknya lebih seimbang dalam merespons kehadiran teknologi ini.

Pengguna internet aktif: Mereka yang menggunakan internet hampir terus-menerus jauh lebih mungkin untuk merasa excited tentang AI. Di setiap negara yang disurvei, kelompok ini juga paling aware tentang perkembangan teknologi.

Refleksi untuk Media dan Publik

Data ini menggarisbawahi satu hal penting: meski AI sudah ada di mana-mana, pemahaman publik tentangnya masih timpang. Ada kesenjangan besar antara negara maju dan berkembang, antara generasi tua dan muda, dan antara mereka yang terkoneksi digital dengan yang tidak.

Bagi jurnalis dan pelaku literasi media, ini adalah pengingat bahwa narasi tentang AI tidak bisa hanya soal inovasi dan kemajuan. Publik butuh edukasi yang lebih merata, regulasi yang jelas, dan ruang untuk menyuarakan kekhawatiran mereka.

Karena pada akhirnya, teknologi yang baik bukan hanya yang canggih—tapi yang dipahami dan dipercaya oleh masyarakat yang menggunakannya.

*Photo by Mohit Suthar via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

```


Exit mobile version