Beranda  »  Sorotan Media   »   Serangan Trump ke Media Massa

Serangan Trump ke Media Massa

Oleh: Melekmedia -- 23 September, 2025 
Tentang: ,  –  Komentar Anda?

man wearing Donald Trump mask standing in front of White House

Sepekan terakhir, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan publik atas serangkaian pernyataannya yang secara terang-terangan menyerang berbagai media massa utama di negara tersebut.

“Saya pernah membaca di suatu tempat bahwa stasiun televisi 97% menentang saya, sekali lagi, 97% negatif, namun saya menang dan dengan mudah [dalam pemilihan tahun lalu],” kata Trump. “Mereka hanya memberi saya pemberitaan yang buruk.”

“Maksud saya, mereka seperti punya hak untuk melakukan itu (lisensi). Saya rasa mungkin hak (lisensi) mereka itu harus dicabut,” lanjutnya.

Lalu muncul berita, Departemen Perang AS membuat aturan baru yang membatasi informasi terkait militer hanya boleh disiarkan bila berasal dari siaran pers resmi. Media yang melanggar ketentuan itu akan dilarang, atau dicabut hak meliputnya di Pentagon.

“Departemen tetap berkomitmen pada transparansi untuk mendukung akuntabilitas dan kepercayaan publik. Namun, informasi yang dirilis dari Departemen Perang harus disetujui oleh pejabat berwenang sebelum dipublikasikan, bahkan jika statusnya tidak rahasia,” demikian isi edaran itu.

Rezim Trump jadi seperti Suharto dan Harmoko saat menggunakan SIUPP sebagai senjata membungkam pers. Padahal, Amerika jelas punya aturan berbeda. Meski TV lokal teresterial memang perlu mendapat izin dari FCC, jejaring TV atau radio kabel/berbayar tidak.

Kritik tajam ini bukan hal baru dalam karier politiknya, namun frekuensi dan intensitasnya dalam beberapa hari terakhir menimbulkan kekhawatiran baru tentang masa depan kebebasan pers dan hubungan antara Gedung Putih dan jurnalisme.

Peristiwa ini terjadi setelah serangkaian laporan investigasi yang diterbitkan oleh beberapa media besar, yang dianggap Gedung Putih sebagai upaya bias dan disinformasi. Ini sudah terjadi bahkan sejak periode pertama kepemimpinannya.

Serangan verbal Presiden Trump yang terbaru menargetkan sejumlah media, termasuk The New York Times, CNN, dan The Washington Post. Melalui media sosial maupun pernyataan langsung, Trump menuduh media tersebut menyebarkan “berita palsu” dan ingin merusak pemerintahannya.

Dalam sebuah kicauan yang kemudian menjadi viral, ia pernah menyebut media tersebut sebagai “musuh rakyat”. Ungkapan ini, yang memiliki resonansi sejarah yang kuat, memicu kecaman luas dari organisasi jurnalisme, politisi oposisi, dan para ahli.

Baru-baru ini Trump menyambut baik penangguhan acara diskusi larut malam Jimmy Kimmel di stasiun televisi ABC setelah komedian tersebut berkomentar tentang pembunuhan aktivis konservatif Charlie Kirk yang mengkritik gerakan MAGA presiden.

“Selamat untuk ABC karena akhirnya memiliki keberanian untuk melakukan apa yang harus dilakukan,” tulis Trump di platform Truth Social miliknya. Inilah salah satu kasus yang menarik minatnya untuk memberlakukan perizinan untuk media, lalu mengendalikan isinya.

Ahli hukum di AS menyebut Konstitusi AS melindungi kebebasan berbicara lewat amandeman pertama, akan menjadi penghambat utama hasrat Trump tersebut. Media tidak bisa dibredel hanya karena perbedaan pandangan politik.

Meski demikian, mantan kru di balik acara Jimmy Kimmel Live!, Joe Strazullo, kepada BBC menyatakan ada suasana yang mencekam di ruang redaksi saat ini.

Reaksi ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari substansi laporan dan menempatkan media pada posisi defensif. Bahwa tensi antara Gedung Putih dan media memang selalu tinggi, namun serangan yang terorganisir dan berulang ini dinilai berbeda.

Tuduhan “berita palsu” yang dilontarkan oleh Trump kini menjadi senjata retorika yang kuat, tidak hanya untuk menangkis kritik, tetapi juga untuk meruntuhkan kredibilitas jurnalisme secara keseluruhan di mata pendukungnya.

Fenomena ini menciptakan iklim di mana publik menjadi bingung membedakan antara fakta dan fiksi, yang pada gilirannya mengikis kepercayaan terhadap institusi berita.

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) telah mengeluarkan pernyataan yang mengecam keras retorika Presiden Trump, yang dianggap dapat membahayakan keselamatan fisik para jurnalis.

Pendekatan pemerintahan Trump bahkan mulai disamakan dengan rezim Orbán, yang telah berkuasa sejak 2010. Pemimpin Hungaria ini menjadikan permusuhan terhadap pers sebagai inti dari citra politiknya, meminjam frasa “berita palsu” untuk menyerang media.

Ia telah bertahun-tahun tidak memberikan wawancara kepada jurnalis independen. Organisasi Reporters Without Borders menyatakan Orbán telah membangun “kerajaan media sejati yang tunduk pada perintah partainya” melalui akuisisi surat kabar dan stasiun penyiaran oleh sekutunya.

Kelompok tersebut mengatakan strategi itu memberi partai Orbán, Fidesz, kendali atas sekitar 80% pasar media Hungaria. Pada 2018, para sekutu Orbán menyumbangkan hampir 500 media yang telah mereka akuisisi ke sebuah konglomerat yang dikendalikan pemerintah.

Situasi memicu debat internal di kalangan media. Beberapa jurnalis dan editor berpendapat respons terbaik adalah terus melakukan jurnalisme yang kuat dan faktual, sementara yang lain merasa bahwa media harus lebih proaktif dalam menanggapi tuduhan-tuduhan tersebut.

Seorang koresponden senior di Gedung Putih secara anonim mengatakan, “Kami terus bekerja di bawah tekanan, namun tugas kami adalah untuk melaporkan kebenaran, terlepas dari label apa pun yang dilemparkan kepada kami.”

Persoalan ini tidak hanya memengaruhi media-media besar di AS, tetapi juga menjadi preseden global di mana para pemimpin dunia lainnya mungkin merasa dibenarkan untuk menggunakan taktik serupa dalam menghadapi kritik.

Para pengamat politik dan akademisi melihat tren ini sebagai bagian dari strategi politik yang lebih luas, di mana memanipulasi informasi dan merusak kepercayaan publik terhadap media independen menjadi kunci untuk mempertahankan kekuasaan.

Pada era disinformasi yang merajalela, peran jurnalisme investigasi dan pelaporan faktual menjadi semakin vital. Namun, di saat yang sama, ada risiko publik semakin terpolarisasi, dengan sebagian besar hanya mempercayai sumber informasi yang sesuai dengan pandangan politik mereka.

*Photo by Darren Halstead via Unsplash

Artikel lain sekategori:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

```


Exit mobile version