Mengejar popularitas atau jangkuan yang luas di media sosial memang bukan hal terlarang. Tapi sebaiknya hindari cara-cara yang melanggar etiket, seperti mempromosikan perilaku menebar spam.
Spam adalah penyalahgunaan sistem komunikasi elektronik untuk mengirim pesan secara massal, pesan-pesan yang tidak diinginkan. Bentuk spam paling populer adalah lewat email atau surel. Namun, istilah spam diterapkan pada aksi serupa di kanal lain.
Seringkali, surel spam ini dikirim untuk tujuan komersial. Pelakunya mengirimkan pesannya secara konsisten. Beberapa kalangan menilai aksi ini tidak etis, tapi masih banyak pihak yang memanfaatkannya. Padahal spam ini bisa jadi cara untuk mendapatkan akses ke komputer orang lain.
Kini, spam tak sekadar tentang pesan massal berantai yang menyebalkan. Aksi ini berkembang di era media sosial untuk membuat komentar, mengeklik tombol suka (like), atau bahkan mengirim emoji atau emoticon.
Aksi ini bisa terjadi baik pada satu atau banyak postingan, baik teks, foto maupun video secara bertubi-tubi dan terus-menerus. Misalnya, ada satu akun yang tiba-tiba men-like banyak postingan hingga puluhan atau ratusan hanya dalam satu waktu.
Dampaknya sama-sama menyebalkan. Bayangkan bila ada puluhan atau ratusan like pada postingan atau kiriman Anda di Facebook, Twitter, atau Instagram, tanpa sebab yang jelas? Inilah yang melahirkan istilah like spamming atau spam like. Istilah lainnya adalah boom like.
Perilaku ini populer karena media sosial menjadikan fitur menyukai kiriman sebagai salah satu fitur utama. Mendulang banyak like telah jadi semacam pencapaian. Di panggung seperti Instagram, Facebook, atau Twittter, kurang lebih berlaku persepsi yang sama.
Karena jumlah pengikut atau like yang banyak menjadi bukti bahwa akun tersebut memiliki jangkauan yang luas, bisnis menjalankan like spam menjamur. Bahkan banyak yang menawarkan kiat untuk mendapatkan banyak like tanpa harus memiliki banyak pengikut.
Lalu bayangkan saat akun lembaga resmi negara justru mendorong publik melakukan aksi tersebut, demi promosi akun mereka lewat kuis berhadiah? Tak sampai di situ, mereka juga mendorong publik melakukan aksi tak terpuji lainnya: menge-tag atau menandai akun lain agar mengikuti kuis yang sama.
Ini sekadar contoh, bagaimana perilaku spamming dan tagging yang seharusnya dihindari, justru dipromosikan, bahkan ditawari hadiah. Bagaimana mungkin hal ini masih terjadi?
Perhatikan aturan penggunaan media sosial
Perilaku yang tidak wajar (inauthentic behavior) sudah lama jadi salah satu alasan pengelola media atau jejaring sosial memberi sanksi kepada penggunanya. Perilaku-perilaku yang tak wajar ini dinilai sebagai pelanggaran, sehingga seharusnya dihindari, bukan dinormalisasi.
Berikut, contoh kebijakan di Twitter. “Anda tidak diperkenankan untuk menggunakan layanan Twitter dalam cara yang dimaksudkan untuk menahan atau melebih-lebihkan informasi secara artifisial atau terlibat dalam perilaku yang memanipulasi atau mengganggu pengalaman orang di Twitter.”
Twitter dengan jelas menyatakan tidak mengizinkan spam atau manipulasi platform jenis lainnya. Definisi manipulasi platform menurut mereka adalah “penggunaan Twitter untuk terlibat dalam aktivitas massal, agresif, atau menipu yang menyesatkan orang lain dan/atau mengganggu pengalaman mereka.”
Manipulasi platform dimaksud memiliki banyak bentuk, dan peraturan ini mencakup sejumlah besar perilaku yang dilarang, termasuk:
- spam dengan motivasi komersial, yang umumnya bertujuan untuk mengarahkan kunjungan atau perhatian dari percakapan di Twitter ke akun, situs web, produk, layanan, atau program;
- engagement yang tidak autentik, yang mencoba untuk membuat akun atau konten terlihat lebih populer atau aktif dari yang sebenarnya;
- aktivitas terkoordinasi, yang berupaya memengaruhi percakapan secara artifisial dengan cara menggunakan lebih dari satu akun, akun palsu, otomatisasi, dan/atau penyusupan script; dan
- aktivitas berbahaya yang terkoordinasi yang mendorong atau mempromosikan perilaku yang melanggar Peraturan Twitter.
Kemudian, perilaku me-mention atau tagging akun lain juga tidak boleh sembarangan. Tagging atau mention sembarangan, sudah dianggap bagian dari pelanggaran privasi, karenanya harus dihindari. Apalagi “memaksa” akun lain mengikuti akun tertentu.
Hal ini juga dijelaskan di aturan penggunaan Twitter. Anda tidak diperkenankan untuk menggelembungkan pengikut atau keterlibatan Anda sendiri atau orang lain secara artifisial. Ini meliputi:
- memperjualbelikan inflasi metrik Tweet atau akun – memperjualbelikan pengikut atau engagement (Retweet, Suka, sebutan, Jajak Pendapat Twitter);
- aplikasi – menggunakan atau mempromosikan aplikasi atau layanan pihak ketiga yang mengklaim dapat menambah jumlah pengikut atau engagement pada Tweet;
- inflasi resiprokal – bertransaksi atau berkoordinasi untuk saling bertukar mengikuti atau keterlibatan Tweet (termasuk tetapi tidak terbatas dalam perilaku “follow trains,” “decks,” dan “Retweet for Retweet”); dan
- pemindahtanganan atau penjualan akun – membeli, menjual, bertransaksi, atau menawarkan penjualan, pembelian, atau transaksi akun Twitter, nama pengguna, atau akses temporer ke akun Twitter.
Mengikuti atau “berhenti mengikuti secara serampangan” – mengikuti lalu berhenti mengikuti sejumlah besar akun dalam upaya menggelembungkan jumlah pengikut seseorang, pun termasuk pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap fitur Twitter.
Demikian pula perilaku mengikuti sembarangan, yaitu mengikuti dan/atau berhenti mengikuti sejumlah besar akun yang tidak berkaitan dalam waktu singkat, khususnya dengan cara otomatis. Demi kuis berhadiah, biasanya pengguna rela mengikuti akun tertentu sesuai ketentuan, lalu berhenti mengikutinya setelah masa berlaku kuis tersebut berlalu.
Bila telanjur terlibat
Saat menggunakan Twitter semua kicauan bersifat publik, kecuali disetel privat. Artinya, siapapun bisa menyertakan akun Anda dalam mention, dan tidak mungkin dihapus selain oleh pembuatnya. Setidaknya, sampai saat ini fitur dimaksud belum tersedia.
Bila Anda telanjur berada dalam situasi seperti di atas: Disebut dalam kicauan yang sebenarnya bermotif mengejar hadiah, alias tidak ada relevansinya secara langsung dengan Anda, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghindarinya.
Jika pengirimnya Anda kenal dekat, mungkin bisa membicarakan secara baik-baik. Mintalah mereka secara sopan untuk menghapus sebutan akun Anda dari kicauan tertentu, bila memang tidak menginginkannya. Tapi, tidak ada jaminan cara ini berhasil.
Meskipun Anda tidak dapat melakukan apa pun tentang penyebutan yang tidak diinginkan, Anda setidaknya dapat menghapusnya dari daftar “mention” di aplikasi Twitter. Misalnya dengan memblokir si pengirim. Bila memblokir akun terlalu ekstrem, coba fitur membisukan kata kunci.
Twitter memberi Anda pilihan untuk membisukan kicauan yang berisi kata, frasa, nama pengguna, emoji, atau hashtag tertentu. Membisukan akan menghapus kicauan ini dari tab Notifikasi, notifikasi push, SMS, notifikasi email, linimasa, dan balasan (mention) untuk tweet.
Anda juga bisa menyetop notifikasi untuk percakapan tertentu. Saat membisukan percakapan, Anda tidak akan memperoleh notifikasi apa pun tentang percakapan tersebut. Namun demikian, Anda akan tetap melihat tweet dari percakapan tersebut di linimasa dan saat Anda mengeklik kicauan yang asli.
Bagi Anda yang mengelola akun-akun resmi lembaga negara atau pemerintah, sudah ada panduan untuk “Memaksimalkan Penggunaan Media Sosial dalam Lembaga Pemerintah”. Buku ini juga menyinggung pemanfaaatan kuis atau kontes di media sosial, dengan cara-cara yang lazim.
Selain itu banyak sekali tulisan tentang kiat mengelola akun media sosial tanpa menyebabkan penyebaran spam. Terakhir, ingatlah selalu di internet pun ada etiket, yang disebut netiket.
*Photo by Yan Krukov from Pexels