KCM – Senin, 06 Oktober 2003, 9:04 WIB
“JIKA saya berbelanja di pasar swalayan dengan anak, mata saya harus waspada. Sering kali, anak saya memasukkan makanan yang tidak boleh dimakannya. Bukan karena dia ingin makan makanan itu, tetapi dia ingin hadiah yang ada di dalam kemasan makanan itu,” kata Susan (31) tentang Rian, putranya yang berumur tujuh tahun.
MENURUT Susan, Rian termasuk “korban” iklan yang ditayangkan televisi. Setiap kali di televisi ada iklan tentang mainan, dia pasti ribut minta dibelikan. “Koleksi robot Digimon saja, dia punya 32 buah. Lengkap. Padahal, harga satu robot mencapai Rp 100.000. Ayahnya yang membelikan. Saya hanya bisa mengomel karena barang telanjur dibeli,” ujar Susan yang tinggal di kawasan Kramat, Jakarta Pusat.
Selain mainan, Rian juga menyukai barang-barang lain bergambar tokoh kartun idolanya. Rian mempunyai sepatu bergambar Spiderman. Dia juga memiliki dua pasang sepatu dengan model dan gambar yang persis sama, hanya warnanya yang berbeda. “Dia mempunyai sepatu berwarna biru dan merah. Kalau ada sepatu yang warnanya hitam, pasti dia minta dibelikan juga,” kata Susan.
Menurut Susan, Rian mengetahui produk-produk itu dari iklan yang ditayangkan di televisi. Begitu banyak iklan di televisi yang diminta anaknya membuatnya sadar bahwa dia mesti mengontrol keinginan anaknya kalau tak ingin si anak tumbuh menjadi sosok yang konsumtif.
“Kalau dituruti, dia bisa minta semua barang yang diiklankan, dari makanan sampai sepatu. Akan tetapi, saya hanya mengizinkan dia membeli barang yang benar-benar diperlukannya. Kalau mainan yang merupakan hadiah dari sebuah produk, saya memilih yang ada unsur edukasinya. Misalnya robot bongkar pasang. Makanannya sendiri belum tentu dimakan karena Rian termasuk anak yang sulit makan,” ujar Susan.
Fenny (34), warga Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, mengaku putranya, Nico (5), selalu meminta dibelikan susu dengan berbagai macam merek. Nico selalu tertarik dengan iklan susu, apa pun mereknya. “Wah, yang ini susunya enak, Ma.” Atau, “Ma, beliin susu ini dong, ada gelas kocok-kocoknya,” kata Nico. Fenny biasanya mau membelikan apa saja merek susu yang diinginkan Nico asalkan putranya mau minum susu, meskipun sebenarnya dia khawatir berganti-ganti merek susu bisa mempengaruhi kesehatan anaknya.
TAYANGAN untuk pemirsa anak-anak di televisi sudah sering dibahas dan dikritik. Dilihat dari jam tayang acara anak, masih ada stasiun televisi yang tidak menyesuaikan jam tayangnya dengan umumnya waktu belajar anak. Hal ini mengakibatkan banyak kegiatan wajib anak, seperti sekolah, tidur siang, maupun belajar, menjadi terganggu karena anak ingin menonton acara televisi.
Misalnya ada stasiun televisi yang memutar acara anak pada pukul 14.00 saat anak harus tidur siang. Ada juga stasiun televisi menyajikan acara anak pada pukul 17.30 sampai 19.30 saat anak harus belajar. Hal itu mengakibatkan konsentrasi anak terpecah, antara ingin menonton dan keharusan belajar.
“Memaksa anak belajar pada jam-jam tayang tersebut juga percuma. Anak menjadi tidak bisa berkonsentrasi karena memikirkan film itu terus,” kata Susan yang berusaha selalu mendampingi putranya menonton acara televisi.
Orangtua sebaiknya mendampingi anak ketika mereka menonton televisi. Dari pengalaman Susan, anak bukan hanya cepat terpengaruh oleh cerita film yang ditayangkan, tetapi juga iklan-iklan yang disisipkan pada acara untuk anak-anak itu.
“Pada acara untuk anak sering ditayangkan iklan komersial yang tidak ada hubungannya dengan anak. Misalnya, slot iklan film Mega Ranger yang ditayangkan RCTI beberapa waktu lalu, dimunculkan iklan pemutih wajah. Pesan iklan itu, ’hanya mereka yang kulit wajahnya putih yang disebut cantik’. Ini kan tidak benar,” cetus Susan.
Ada juga iklan minuman sari buah yang melarang anak memilih buah asli dan mengatakan sari buah buatan itu jauh lebih baik daripada buah asli karena sudah ditambahkan vitamin lain ke dalamnya.
TELEVISI yang menjadi hiburan gratis untuk setiap rumah tangga merupakan media yang sangat efektif untuk iklan. Iklan bisa disisipkan pada slot iklan dalam tayangan untuk anak. Iklan semacam ini bisa efektif sebab anak bisa menjadi salah satu pendorong keputusan belanja orangtuanya.
Dalam penelitian yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bekerja sama dengan Consumer International-Regional Office for Asia and the Pacific (CI-ROAP) tahun 2002, disebutkan bahwa anak menduduki posisi kedua dalam mempengaruhi seseorang untuk membeli produk makanan yang diiklankan.
Apa pun tingkat keuangan keluarga, rendah, menengah, maupun tinggi, anak menduduki posisi kedua sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan orangtua untuk membeli sesuatu barang. Posisi pertama diduduki oleh diri sendiri dan tempat ketiga adalah pasangan (suami/istri) atau anggota keluarga yang dewasa.
Banyak faktor yang membuat anak ingin membeli produk yang diiklankan. Faktor tertinggi sebab mereka memang memerlukan produk tersebut (37 persen), kemudian menyukai produk yang diiklankan (32 persen), iklannya menarik (21 persen), dan sebab model pada iklan tersebut (13 persen).
Ada juga anak yang ingin membeli produk karena merek, pengaruh teman sebaya, iklan yang diulang-ulang, kemungkinan menang undian, adanya penawaran hadiah langsung yang menarik, dan gengsi.
Menurut Harry Susianto, psikolog konsumen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, iklan memang dibuat agar produk tersebut dibeli oleh konsumen. Namun, Harry mengatakan, iklan yang dilihat oleh seorang anak berusia 3-7 tahun tidak akan mengakibatkan anak menjadi konsumtif.
Jika melihat iklan televisi, anak usia tersebut belum bisa membedakan antara kenyataan yang sebenarnya atau buatan. Anak usia 3-7 tahun memang akan meminta orangtua untuk membelikan produk itu. Namun, jika orangtua tidak membelikannya, hal itu tidak menjadi masalah.
“Semuanya tergantung pada orangtuanya. Jika orangtua membiasakan, atau memandang produk itu memang diperlukan, ia pasti akan membelikannya. Namun, itu berarti orangtua yang membiasakan anak berbelanja produk yang diiklankan,” ujar Harry.
Harry mencontohkan, ada orangtua yang memborong sebuah produk karena iklannya mengatakan produk itu sedang menyelenggarakan undian berhadiah. “Melihat orangtua memborong barang hanya untuk mengejar undian tersebut, anak pun akan belajar seperti itu,” kata Harry.
Menurut Harry, sebaiknya orangtua dan guru memberikan penjelasan yang benar kepada anak tentang iklan. Misalnya, jika ada sebuah produk baru yang ditawarkan, tanyakan kepada anak, apakah produk itu benar-benar diinginkan anak? Apakah makanan itu benar-benar seenak yang tampak di televisi? “Tidak ada salahnya jika orangtua atau guru mengambil waktu sejenak untuk menjelaskan soal iklan kepada anak.”
Anak usia di atas tujuh tahun, menurut Harry, biasanya sudah bisa menentukan sendiri apakah produk yang diiklankan itu benar-benar dibutuhkannya. “Anak-anak itu sebenarnya sudah tahu mana hal yang nyata dan mana yang bukan. Misalnya, produk makanan, kalau dia ingin membeli, bisa berarti hanya ingin mencoba atau dia memang sudah tahu bagaimana rasanya,” kata Harry menambahkan. (ARN)
Sumber asli: https://www.kompas.com/kesehatan/news/0310/06/085718.htm (dead link) via dkv-unpas.blogspot.com