Pola asuh orang tua berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecanduan anak pada internet. Ayah yang terlalu permisif maupun ketat, justru menjerumuskan anaknya pada candu berinternet.
Kecanduan internet ditandai dengan penggunaan internet berlebihan akibat tak mampu mengendalikan diri. Dampaknya bisa menganggu fungsi sehari-hari, misalnya bolos kelas, penurunan prestasi sekolah dan kurang tidur.
Di Jakarta, sebanyak 31,4% remaja termasuk rentan kecanduan internet. Ini karena secara umum remaja memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, sedangkan fungsi otak untuk mengendalikan perilaku masih dalam proses perkembangan.
Bagian otak yang menangani pemikiran rasional, korteks prefontal, belum sepenuhnya berkembang hingga usia 20-an. Ini berarti remaja secara alami lebih impulsif dan cenderung bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr. dr. Kristiana Siste, SP.Kj (K) yang dikutip Suara.com pada 2020 silam, pola asuh orang tua berperan dalam menyuburkan kecanduan internet pada anak. Gaya pola asuh di Asia, cenderung lebih berpengaruh daripada gaya Eropa.
“Beban anak dan remaja secara akademik di negara Asia sangat tinggi,” ujarnya menjelaskan perbedaan gaya parenting orang tua di negara Asia dengan Eropa, dalam sebuah webinar bersama Kemenkes.
Orang tua di Asia terlalu menuntut anak mendapat nilai sempurna pada pelajaran eksakta atau sains, pada akhirnya memberi beban berlebih pada anak. Akibatnya anak depresi, lalu melampiaskan tekanan tersebut lewat bermain internet.
Ini berbeda dengan kultur di Eropa, dimana orang tua bisa menghargai anaknya, meski tidak menonjol di bidang eksakta. Anak-anak yang memiliki bakat di bidang lain pun mendapat tempat layak.
Penjelasan Dokter Kristiana dalam artikel itu, sebangun dengan penelitian tentang pengasuhan orang tua dan dampaknya pada perilaku internet si anak. Ada yang menemukan korelasi positif antara gaya pengasuhan otoriter Sang Ayah dengan perilaku nakal remaja dan penggunaan narkoba. Pola asuh yang terlalu ketat itu juga mempengaruhi temperamen anak.
Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung menuntut terlalu tinggi sementara daya tanggapnya rendah. Mereka mengontrol anaknya dengan ketat, menghindari negosiasi, doyan menghukum, dan berjarak secara emosional.
Orang tua jenis ini mendominasi hubungan orang tua-anak, dalam membuat rencana dan keputusan untuk anak-anak mereka, memenuhi harapan mereka, dan menekan anak-anak.
Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter memandang pengawasan orang tua sebagai penghalang komunikasi di antara mereka. Mereka pun menghindari komunikasi dengan orang tua mereka dan lebih banyak terlibat dalam aktivitas daring untuk mencari kenyamanan dan menghindari konflik.
Kecanduan internet pun dianggap sebagai pengobatan diri sendiri, dan menjadi strategi koping yang maladaptif. Semakin banyak mereka menghabiskan waktu daring untuk menghindari interaksi keluarga yang penuh tekanan, semakin tinggi kemungkinan mereka menunjukkan gejala kecanduan internet.
Sebaliknya, sikap terlalu permisif orang tua juga mempengaruhi perilaku kecanduan internet ini. Sebuah riset di kalangan anak setingkat SMP di Surabaya menemukan gaya parenting yang terlalu permisif menyuburkan kecanduan gawai (baca: internetan) pada anak-anak.
Riset dilakukan para peneliti dari Universitas Airlangga terhadap 114 remaja (44 anak lelaki dan 70 perempuan) berusia antara 12-15 tahun, direkrut secara acak pada November 2019. Sebanyak 77,2 persen remaja terkategori pecandu internet dan mayoritas mengalami tingkat kecanduan internet ‘ringan’ (52,60 persen).
Hasil korelasi menunjukkan bahwa pola asuh paternal permisif pun berkorelasi positif dengan tingkat kecanduan tersebut. Artinya, semakin tinggi pola asuh permisif (dan/atau otoriter) yang diterapkan Ayah, semakin tinggi pula tingkat adiksi internet yang diderita si anak.
Meski sikap Ibu juga berpengaruh, tetapi hubungan terkuat yang ditemukan adalah gaya pengasuhan permisif ayah dengan tingkat kecanduan internet anak. Hal ini diperkuat dengan studi longitudinal sebelumnya, yang menemukan bahwa hubungan ayah-anak secara signifikan mempengaruhi perilaku berisiko remaja di luar hubungan ibu-anak.
Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif ternyata berkontribusi pada kebingungan identitas anak mereka. Orang tua seperti ini tidak mampu mengontrol perilaku anak dan membiarkannya bebas. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif seperti ini rentan terjerumus ke dunia maya.
Anak menjadi tergantung pada orang lain, sulit mengendalikan dorongan hati, melihat situasi bermasalah dengan ketidakpastian dan keraguan, dan merasa bahwa orang tua mereka tidak dapat memberikan dukungan dan nasihat dalam konflik.
Sahih bila disebutkan bahwa pola asuh berperan signifikan terhadap adiksi internet pada remaja. Penting sekali bagi Ayah tidak menggunakan gaya pengasuhan permisif dan/atau otoriter untuk mencegah kecanduan internet di kalangan anak-anak mereka.
Menerapkan pola asuh yang efektif dan meningkatkan kualitas interaksi antara orang tua-remaja adalah cara terbaik untuk menciptakan kesejahteraan mental serta mencegah remaja kecanduan internet.
Lalu orang tua harus bagaimana? Upaya pencegahan perilaku adiksi internet (AI) perlu dilakukan sebelum menjadi semakin parah. Perilaku tersebut bisa merusak otak anak untuk berkembang, sehingga para orang tua disarankan mencari tahu seberapa jauh tingkat kecanduan internet pada anak.
Menurut dr. Siste, ketika anak tampak sudah mulai menggunakan internet atau handphone selama 4 jam sehari secara akumulatif, saat itulah orang tua harus mengecek tingkat adiksi anak. Apalagi jika anak menunjukkan gejala lain, seperti malas sekolah, hingga tidak ingin keluar rumah.
Untuk mengecek tingkat adiksi anak, ia telah membuat sebuah aplikasi Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) yang bisa diakses publik lewat situs web. Alat ukur dalam bentuk kuesioner ini dapat menunjukkan ada tidaknya adiksi pada anak, dan seberapa jauh tingkat adiksi tersebut.
Aplikasi tersebut nanti memberi keterangan, apa yang harus dilakukan setelah adiksi, dan pencegahannya sebelum adiksi berlaku. Tersedia di Play Store sejak 2019, belakangan belum ditemukan adanya pemutakhiran lebih lanjut.
Di situs resminya, dijelaskan bahwa KDAI merupakan kuesioner yang dapat digunakan setiap remaja (10-20 tahun). KDAI terdiri dari 44 pernyataan, dan setiap pernyataan memiliki 7 pilihan jawaban. Tujuh pilihan terdiri dari: sangat jarang, jarang, kadang-kadang, sering, sangat sering, selalu, dan tidak sesuai.
Dapat ditemui juga kiat tidak kecanduan internet, misalnya menekuni minat dan hobi yang tidak menggunakan internet, membatasi waktu penggunaan internet, atau menonaktifkan pemberitahuan di gawai.
Penting bagi orang tua untuk mencegah kecanduan internet pada anak misalnya dengan menetapkan pedoman penggunaan internet sesuai dengan usia. Nyatanya, anak-anak tak sekadar menggulir tanpa berpikir. Penelitian menemukan ada empat hal utama yang biasa dilakukan remaja di media sosial, yaitu:
- Ekspresi diri – berbagi postingan yang menggambarkan siapa mereka dan apa yang mereka pedulikan;
- Interaksi relasional – mengirim pesan dan terhubung dengan keluarga, teman, dan minat romantis;
- Eksplorasi – mencari dan belajar tentang bidang minat;
- Penjelajahan – pengguliran umum melalui umpan dan aplikasi.
Meski adiksi internet adalah hal negatif, keempat hal barusan setidaknya menunjukkan bahwa anak-anak atau remaja juga mendapat hal positif saat internetan. Menghentikan mereka begitu saja dari media sosial mungkin bukan solusi terbaik, karena sama saja mencegah mereka belajar dari internet.
Sisi positif ini juga bisa dioptimalkan. Menurut psikolog Kimberly Young, orang tua anak usia 10-12 tahun dapat menemani anak menggunakan internet dan memberi penjelasan mengenai situs, permainan, atau video yang mereka akses.
Sedangkan terhadap remaja 12-18 tahun, orang tua dapat memberikan kebebasan dalam menggunakan internet namun tetap mengawasi penggunaannya; memasang aplikasi yang dapat membatasi waktu internetan; atau sepakat untuk tidak menggunakan internet selama 1 hari/minggu.
Memahami mengapa dan bagaimana di balik penggunaan media sosial oleh remaja, keluarga dapat membuat Perjanjian Standar Sosial Keluarga — sebuah kesepakatan bersama guna membantu menavigasi media sosial dan teknologi secara positif.
*Photo by Katerina Holmes via Pexels.com