Berpikir Kritis ala Taksonomi Bloom – Melék Media


Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Berpikir Kritis ala Taksonomi Bloom

Berpikir Kritis ala Taksonomi Bloom

Oleh: Melekmedia -- 20 Maret, 2023 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Berpikir Kritis ala Taksonomi Bloom

juan rumimpunu berpikir kritis unsplash

Berpikir kritis adalah inti dari melek (literasi) media dan informasi. Membaca atau berhitung saja tak cukup, butuh pemikiran kritis untuk senantiasa waspada.

Istilah literasi seringkali terjebak pada pemaknaan konvensional—membaca, menulis, berhitung—disebut-sebut sebagai salah satu masalah bangsa ini menghadapi limpahan informasi. Misalnya terkait hoaks.

Saat informasi melimpah—termasuk hoaks di dalamnya—minat baca justru rendah. Dalam artikel tentang minat baca di era digital, kebiasaan membaca konten pendek tapi beragam topik di gawai memangkas toleransi terhadap konten panjang mendalam.

Dampaknya cukup serius. Kebiasaan membaca buku yang jumlah halamannya pasti jauh lebih banyak dari jumlah guliran di atas layar ponsel, semakin menyusut.

Tapi bukan semata-mata karena malas membaca, lalu hoaks menjadi subur. Butuh penjelasan lebih panjang mengenai hal itu. Dalam artikel tentang amygdala hijack, telah dibahas pula tentang bagaimana respons kita dikendalikan otak kecil ini.

Penjelasan para ahli dalam artikel barusan menunjukkan bahwa problem utama suburnya hoaks bukan semata-mata karena aliran informasi. Problem mendasarnya adalah insting dalam menyelamatkan diri.

Melawan hoaks, pada akhirnya tak bisa sekadar mengandalkan fakta. Orang-orang yang terinfeksi hoaks, sering kali sudah tahu fakta yang disodorkan. Masalahnya, mereka menolak mempercayai fakta itu. Mereka punya “fakta tandingan”—alternative facts, demikian media barat mengutipnya.

Agar kebal dari informasi yang menyebabkan amigdala mengambil alih kendali, diperlukan kemampuan lebih dari sekadar menyerap informasi. Di antaranya, memilah fakta dari sedemikian banyak informasi; Memahami apa yang berlaku umum alih-alih fokus pada anekdot belaka.

Kemampuan ini termasuk dalam melek media dan informasi. Fokusnya pada berpikir kritis, salah satu upaya melawan kekacauan informasi. “Melek” dalam konteks ini memperluas “literasi”, bukan sekadar tentang membaca. Ia jauh lebih kompleks—perlu mencerna, dan kritis terhadap informasi.

Sementara kedua istilah itu telanjur tercemar, sering campur aduk definisi operasionalnya. Semisal, penggunaan data AMH (Angka Melek Huruf) untuk menunjukkan tingkat literasi (literacy rate).

UU No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, menyebut literasi sebagai “kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.”

Lema “literasi” dalam KBBI sudah lebih luas dari calistung. Di sana sudah mencakup pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Di sisi lain, tingkat literasi atau literacy rate versi UNESCO setidaknya mensyaratkan kemampuan untuk memahami pernyataan pendek dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar bisa “membaca” dalam arti mengeja kata hingga kalimat.

Namun, Bank Dunia mengukur tingkat literasi Indonesia dengan mengadopsi data UNESCO yang mengutip angka AMH dari BPS. Ini bisa dilihat dari data per 2020, yang menyatakan literacy rate Indonesia pada angka 96, persis data AMH versi BPS pada periode yang sama.

Istilah AMH menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah persentase penduduk umur lebih dari atau sama dengan 15 tahun yang dapat membaca dan menulis kalimat sederhana dengan huruf latin dan atau huruf lainnya. Meski, menurut KBBI, melek bisa bermakna insaf; mengerti.

Angka itu tak memperhatikan apakah responden mengerti apa yang dibaca atau ditulisnya. Maka tak mengherankan bila indikator ini tak digunakan lagi dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia.

Barusan hanyalah contoh kecil, kesimpangsiuran istilah literasi dengan membaca dan melek. Dalam konteks melek media dan informasi, istilah melek yang bisa diterjemahkan mengerti pun dipilih untuk padanan literacy media—alih-alih literasi yang sudah telanjur dekat dengan sekadar membaca.

Sebelum membicarakan “berpikir kritis”, penting kiranya menjernihkan istilah mana yang akan digunakan—terutama dalam konteks literasi vs membaca. Penjernihan ini perlu karena membaca dan berpikir kritis dinilai saling berhubungan.

Beberapa ahli menyatakan membaca adalah berpikir, atau bernalar (Ruggiero, 1984). Sebagian lain mengatakan membaca tidak hanya mengambil informasi dari kata demi kata, tetapi proses aktif dalam memahami (Grabe, 2009).

Pandai berpikir kritis memiliki disposisi yang sesuai dan mahir dalam proses kognitif, di sisi lain belum tentu menjadi pemikir kritis yang etis (dalam arti moral). Misalnya, mahir mengembangkan argumen tetapi secara tidak etis menggunakannya untuk menyesatkan dan mengeksploitasi orang lain.

Gabungan kemampuan membaca dan berpikir kritis terkadang dianggap sebagai “membaca kritis”, yang mendorong pembaca terlibat secara mendalam dan aktif dalam teks yang dibaca. Berpikir kritis dan membaca lalu dianggap saling mendukung untuk membangun makna dalam teks.

“Membaca kritis” membawa kita pada penggunaan keterampilan kognitif tingkat tinggi seperti kemampuan menganalisis, mensintesis, memecahkan masalah, dan berpikir meta-kognitif untuk bernegosiasi makna dengan penulis dan membangun makna baru dari teks (Hermida, 2009).

Bila itu yang dimaksud, jelas bukan membaca seperti digambarkan tingkat literasi dalam data Bank Dunia yang diekstrak dari AMH. Kita sudah mendekati definisi “literasi” yang lebih kekinian.

Berpikir kritis ala Bloom

Dalam konteks melek media—meski terjemahan dari media literacy—istilah literasi tidak digunakan di sini karena telanjur multitafsir. Seperti uraian sebelumnya, literasi telanjur diartikan cuma membaca. Adapun melek media berpegang pada makna literacy dalam definisi UNESCO:

Beyond its conventional concept as a set of reading, writing and counting skills, literacy is now understood as a means of identification, understanding, interpretation, creation, and communication in an increasingly digital, text-mediated, information-rich and fast-changing world.”

Definsi UNESCO terasa lebih kekinian, mendefinisikan literacy lebih dalam dari sekadar baca-tulis-hitung (calistung). Mereka telah sampai pada definisi yang lebih luas, seperti kemampuan memahami, mengidentifikasi, menginterpretasi dan berkomunikasi di dunia digital.

Untuk tidak mencampuradukkannya dengan makna konvensional literasi, maka pemilihan kata “melek” terasa lebih tepat menggambarkan definisi UNESCO. Atas alasan yang sama, kemampuan berpikir kritis lebih tersirat dalam istilah “melek” daripada “literasi” yang dicemari konsep AMH.

Berpikir kritis sebagai kecakapan hidup tak tuntas dikuasai dengan membaca (literasi dalam arti konvensional). Berpikir kritis adalah tingkatan kognitif yang tak semenjana. Ia kompetensi yang kompleks. Berpikir kritis setidaknya dapat didemonstrasikan lewat menganalisis.

Kemampuan ini bisa ditemukan dalam ranah kognitif Taksonomi Bloom (2001). Berpikir kritis ada di tingkat keempat hingga keenam, dari enam tingkatan dalam taksonomi versi terbaru. Tiga tingkat tertinggi, artinya bukan kemampuan dasar di ranah kognitif.

Kecuali pada seorang jenius, rata-rata orang belum tentu bisa mencapai tingkatan menganalisis bila hanya terbiasa dengan membaca. Kemampuan menganalisis harus dilatihkan, hingga menjadi kebiasaan.

Proses pembiasaan ini seharusnya terjadi pada proses pembelajaran—di dalam maupun di luar ruang kelas. Dan ini sulit dicapai dengan sekadar membaca. Membaca, secara umum hanya memenuhi tingkatan pertama dalam Taksonomi Bloom; mengingat.

Untuk memastikan penguasaan kemampuan menganalisis, orang-orang pada umumnya dapat berlatih dengan aktivitas yang direkomendasikan Bloom melalui kata-kata kerja operasional.

CategoryKeywords
Remembering: can the student recall or remember the information?Mention the definition, imitate the pronunciation, state the structure, pronounce, repeat, state.
Understanding : Can the students explain the concept, principle, law or procedure?Classify, describe, explain the identification, placed, report, explain, translate, paraphrased.
Applying : Can students apply their understanding in new situation?Choosing, demonstrating, acting, using, illustrating, interpreting, arranging schedule, making sketch, solving problem, writing.
Analyzing: can students classify the sections based on their difference and similarity?Examining, comparing, contrasting, distinguish, doing discrimination, separating, test, doing experiment, asking.
Evaluating: can students state either good or bad towards a phenomenon or certain object?Giving argumentation, defending, stating, choosing, giving support, giving assessment, doing evaluation.
Creating: can students create a thing or opinion?Assemble, change, build, create, design, establish,
formulate, write.
Tingkatan kognitif Taksonomi Bloom (2001) dan kata kerja operasional untuk tujuan belajar

Perhatikan tabel di atas. Pada kolom kata kunci (keywords), Taksonomi Bloom merekomendasikan kata kerja yang dinilai menggambarkan proses kognitif yang berlangsung di otak. Tak ada “membaca” (reading) dalam daftar itu.

Setelah seseorang membaca, aktivitas kognitif seperti menyebutkan kembali, mengulang ejaan, atau mengulangi apa yang telah dibaca perlu dilakukan agar mampu mengingat materinya.

Kemampuan mengingat bisa tercapai bila seseorang dilatih dengan proses kognitif sesuai kata kerja dimaksud. Dengan cara ini, ia dijamin mampu mengingat apa yang telah dibacanya/diterimanya.

Memang tak semua apa yang dibaca bisa diingat, kecuali pada mereka dengan ingatan istimewa. Setidaknya, mampu mengingat inti pesan dari yang dibaca—tak harus persis seperti aslinya.

Kata kerja dalam kolom keywords di atas, dimaksudkan sebagai kata kerja operasional yang dapat dipilih untuk merancang kegiatan belajar. Artinya, saat merancang pembelajaran, pilihlah kata kerja yang tepat sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Bila mengharapkan pembelajar mengingat yang sudah dipelajarinya, kata kerja dalam contoh di kolom itu bisa dipakai. Inilah yang membawa kita pada kesimpulan: Membaca saja tak mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

Maka, kemampuan berpikir kritis tak hanya mengandalkan ingatan. Perlu kemampuan yang lebih kompleks, seperti “menganalisis”, hingga “mencipta”. Coba tengok kata kunci untuk kategori “Analyzing“: Memeriksa, membandingkan, mengontraskan, membedakan, memilah, dst.

Lalu, ingat lagi uraian Hermida (2009) tentang “membaca kritis”.

Menumbuhkan Berpikir Kritis

Daftar aktivitas kognitif yang dirujuk pada tabel di atas bisa membantu pembelajar jadi kritis. Misal setelah membaca, seseorang melakukan analisis melalui perbandingan, pembedaan, dll. sehingga bisa menemukan sesuatu di luar apa yang dibacanya.

Temuan-temuan inilah buah dari berpikir kritis. Dari sekian banyak fakta yang dihafalkan dari kegiatan membaca, seseorang yang mampu berpikir kritis akan menganalisisnya sampai menghasilkan kesimpulan. Tak langsung percaya fakta dari satu sisi saja.

Bila kembali pada data Bank Dunia yang mengutip AMH, kita mungkin perlu bertanya: Kenapa menangkap makna tulisan saja sulit bila tingkat literasi sudah sedemikian tinggi (96 dari 100)?

Jawabannya bisa disimpulkan dari apa yang dikemukakan Bloom lewat taksonominya. Tingkat literasi dalam data itu asalnya adalah AMH, yang mencerminkan kemampuan membaca tanpa memahami isinya. Ia tak lain sebuah literasi semu.

Dengan demikian kemampuan mengingat pun belum tercapai, karena mereka dalam data AMH pada dasarnya belum tentu bisa menangkap isi bacaan, apalagi mengingatnya. Bila menangkap isi tulisan saja masih kesulitan, apalagi menganalisis isinya.

Hoaks tumbuh subur karena pembaca tak mampu menelaah maknanya. Terkecoh oleh kemasan yang menarik perhatian amigdala, lalu percaya begitu saja. Ini mengarah pada lemahnya kemampuan berpikir kritis.

Bagaimana mengukurnya? Mari berkaca dari hasil PISA. PISA pada 2018 juga menyurvei kebiasaan membaca daring untuk memenuhi kebutuhan informasi (misalnya berita daring versus surat kabar). Namun, kemampuan dimaksud jauh lebih kompleks dari apa yang ditunjukkan oleh AMH.

Dari sekian banyak pertanyaan beberapa di antaranya terkait berpikir kritis, contohnya tentang mendeteksi email phishing atau spam. Topik ini relevan dengan tema melek media, khususnya literasi digital di Indonesia. Siswa diminta menilai kredibilitas sumber informasi (phishing atau bukan).

Hasilnya, Indonesia ada di urutan paling bawah untuk kemampuan berstrategi menentukan kredibilitas informasi. Siswa tak memiliki cukup kemampuan untuk menghadapi beragam konten yang diduga palsu, atau dicurigai sebagai tipuan. Mereka jadi rentan tertipu.

Dari hasil analisis PISA dapat kita simpulkan, anak-anak Indonesia belum sampai pada tahap “berpikir kritis”. Via taksonomi versi Bloom, bisa diduga karena proses pembelajaran tak sampai pada tingkatan “menganalisis”.

Apa yang ditunjukkan hasil PISA bukan semata-mata kemampuan membaca, tapi menjurus pada kemampuan berpikir kritis. Solusinya tentu bukan dengan menambah bahan bacaan, atau menambah waktu untuk memaksa siswa membaca, seperti disarankan Kemendikbud.

“… sekolah melibatkan siswa dalam membaca, memastikan rangkuman benar-benar disampaikan dengan kata-kata sendiri tidak sekadar menyalin isi bacaan, memperkaya jenis bacaan, serta mendorong siswa melakukan aktivitas membaca sebagai hiburan di waktu luang,” demikian Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Totok Suprayitno.

Tanggapan itu menyiratkan ada masalah dalam memahami persoalan literasi dalam asesmen PISA. Mengingatkan pada karut marut literasi dalam data AMH dan Bank Dunia.

Kemampuan membaca memang berkorelasi positif terhadap kemampuan berpikir kritis, tetapi korelasinya tidak signifikan. Setidaknya demikian temuan riset empat peneliti pada 2020 silam. Rendahnya kemampuan membaca ditunjukkan dengan kesulitan memahami makna bacaan.

Hal ini sebagian disebabkan karena masih asing dengan berpikir kritis, belum terbiasa belajar atau dilatih dengan kemampuan tersebut. Tanpa daya kritis, membaca seperti aktivitas sia-sia. Karenanya, penting untuk memperkenalkan berpikir kritis melalui metode atau pendekatan tersendiri.

Para peneliti menyarankan pengembangan profesional guru membekali mereka teknik pengajaran terbaik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman membaca yang penting.

Implikasi pedagogis ini membutuhkan aksi dari pembuat kebijakan dan otoritas pendidikan serta para guru untuk meningkatkan dan mengasah kemampuan berpikir kritis dan membaca, sehingga generasi masa depan siap untuk bersaing dalam pasar kerja global di abad ke-21.

Alih-alih cuma “membaca”, perlu menghayati makna modern literasi yang diperkenalkan UNESCO. Setidaknya, mengakui literasi sebagai pembelajaran tingkat tinggi—melebihi kompetensi mengingat informasi atau menghafalkan fakta-fakta.

Kemampuan berpikir kritis harus diasah dengan pembelajaran yang lebih kompleks, mendorong pembelajar menganalisis hingga mencipta. Pembelajaran tingkat tinggi dalam ranah kognitif ini, oleh sebagian disebut High Order Thinking Skills (HOTS).

Bila disejajarkan dengan enam tingkatan Taksonomi Bloom, tiga tingkatan teratasnya dikategorikan HOTS. Ia bisa jadi rujukan. Selain soal tingkatan, perlu mempelajari beragam jenis pengetahuan mulai dari faktual, konseptual, prosedural, hingga metakognitif.

Dengan begitu daya pikir (dan membaca) kritis bisa ditumbuhkan.

*Photo by Juan Rumimpunu on Unsplash

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.



Exit mobile version