Meneropong Literasi Digital dari Hasil PISA – Melék Media


Beranda  »  Artikel » Literasi Baru   »   Meneropong Literasi Digital dari Hasil PISA

Meneropong Literasi Digital dari Hasil PISA

Oleh: rahadian p. paramita -- 23 Mei, 2022 
Tentang: , ,  –  Komentar Dinonaktifkan pada Meneropong Literasi Digital dari Hasil PISA

meta kognitif cottonbro

Seberapa baik kemampuan warganet Indonesia dalam mencermati sumber informasi yang kredibel? Hasil analisis PISA ini mungkin bisa menjawab.

Programme for International Student Assessment atau PISA diorganisasikan oleh Organisation for Economic Co-operation Development (OECD). PISA diakui sebagai benchmarking internasional untuk kualitas pendidikan.

Studi ini mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Setiap 3 tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains.

Selain itu, PISA pada 2018 juga melakukan survei tentang kebiasaan membaca daring untuk memenuhi kebutuhan informasi (misalnya berita daring versus surat kabar).

Tema barusan inilah yang menarik perhatian. Pasalnya, capaian siswa Indonesia dalam laporan PISA 2018 tidak menggembirakan. Ulasan lengkapnya telah diterbitkan OECD per 2021 lalu.

Riset itu tentang kemampuan mencermati sumber informasi. Dianggap penting, meski akademisi belum sepakat tentang prevalensi dan gentingnya isu disinformasi atau “berita palsu” ini.

Kendati begitu, konsekuensi dari kurangnya informasi telah banyak terdokumentasi, dan terbukti dapat menyebabkan polarisasi politik, penurunan kepercayaan pada lembaga publik dan merusak demokrasi.

PISA 2018 mempertanyakan banyak hal kepada siswa berusia 15 (setingkat SMP atau sederajat) tentang perilaku dan kebiasaan berinternet.

Misalnya, apakah di sekolah diajarkan memanfaatkan kata kunci saat menggunakan mesin pencari seperti Google atau Yahoo, dll., serta cara mempercayai informasi dari Internet.

Kemudian mereka juga ditanya bagaimana membandingkan halaman web yang berbeda dan memutuskan informasi yang relevan untuk tugas sekolah, juga konsekuensi dari menyebarkan informasi kepada publik secara online.

Ada pula pertanyaan tentang bagaimana menggunakan deskripsi singkat di bawah tautan di daftar hasil pencarian, cara mendeteksi apakah informasi bersifat subjektif atau bias, dan bagaimana caranya mendeteksi email phishing atau spam.

Kemampuan menilai kredibilitas sumber

Dari sekian banyak pertanyaan, salah satu yang akan diulas di sini tentang mendeteksi email phishing atau spam. Topik ini relevan dengan tema melek media, khususnya literasi digital di Indonesia.

Di bawah ini adalah pertanyaan yang diajukan kepada siswa, secara umum menilai kemampuan dalam mencermati kredibilitas sumber informasi (phishing atau bukan).

Adapun “kunci jawaban” menurut para ahli yang dikonsultasikan OECD, memberi rating “paling tepat” untuk pernyataan kedua, keempat, lalu kelima; berbanding terbalik dengan pernyataan pertama dan ketiga.

Kuesioner PISA 2018 tentang phishing di email

Secara umum sekitar 40 persen siswa di negara-negara OECD menjawab bahwa mengeklik tautan untuk mengisi formulir sesegera mungkin dianggap agak sesuai atau sangat tepat.

Sekitar 31 persen siswa di negara-negara OECD melaporkan bahwa menghapus email tanpa mengeklik tautan akan sangat tepat.

Siswa di Denmark, Jerman, Irlandia, Jepang, Belanda, dan Inggris Raya mendapat skor tertinggi dalam indeks ini di antara negara dan tingkat ekonomi yang berpartisipasi dalam PISA 2018.

Sebaliknya, di antara negara-negara OECD, siswa di Cile, Kolombia, Hongaria, Korea, Meksiko, dan Turki memiliki skor terendah. Adapun siswa di Baku (Azerbaijan), Kazakhstan, Filipina, Thailand, dan Indonesia memiliki skor terendah dari seluruh negara partisipan.

Siswa dari latar belakang sosial-ekonomi yang diuntungkan di semua negara yang berpartisipasi mencetak skor lebih tinggi dalam indeks ini daripada siswa dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung.

Membedakan fakta-opini dan kredibilitas sumber

Lebih lanjut, PISA juga melaporkan bagaimana kaitan kemampuan membedakan opini dengan fakta dalam sebuah informasi, dengan kemampuan menilai kredibilitas sumber.

Tes membedakan fakta dengan opini, diambil dari pertanyaan tentang bacaan, seperti tampak di bawah ini. Dari tiga paragraf bacaan, siswa kemudian diminta menjawab mana yang termasuk fakta, dan mana opini.

Untuk menerima nilai penuh, siswa harus menjawab semua dengan benar. Untuk kredit parsial, siswa harus bisa menjawab 4 dari 5. Jika kurang dari 4 jawaban yang benar, mereka tidak menerima kredit.

Jawaban yang benar adalah: Fakta, Opini, Fakta, Fakta, Opini.

Pertanyaan tes untuk membedakan opini dengan fakta, PISA 2018

Dari hasil tes untuk membedakan fakta vs opini, capaian siswa Indonesia lagi-lagi tak menggembirakan. Meskipun, bukan yang paling buruk.

Gambar 5.7 berikut mengilustrasikan bagaimana capaian dalam strategi efektif menilai kredibilitas sumber, juga mencapai rekor yang lebih baik dalam hal membedakan fakta dari opini.

Ini juga menggambarkan sistem pendidikan sebuah negara dengan siswa yang dapat berstrategi dalam menilai kredibilitas sumber, berkorelasi dengan kemampuan siswa dalam membedakan opini dengan fakta.

Capaian Indonesia, sebaliknya. Terburuk dalam hal menilai kredibilitas sumber, lumayan buruk dalam hal membedakan opini dengan fakta dari sebuah kepingan informasi.

Metakognitif yang “lemah”

Hasil tes PISA 2018 ini seharusnya mengirim peringatan yang tegas dan jelas: pendidikan kita ketinggalan jauh dalam urusan literasi (digital).

Siswa rupanya tak memiliki pengetahuan yang cukup untuk berstrategi dalam menghadapi konten yang diduga palsu, atau dicurigai sebagai tipuan (phishing). Dampaknya, mereka akan lebih mudah tertipu.

Kemampuan dasar ini bahkan jauh sebelum masuk ke dalam empat pilar literasi digital yang digadang pemerintah. Upaya mengatasinya akan berkejaran dengan dampaknya.

Catatan khusus perlu dialamatkan pada penerapan metakognitif di sekolah.

Mengapa Metakognitif? Karena pertanyaan PISA menggunakannya, dinyatakan secara jelas dalam dokumen OECD: 21st-Century Readers: Developing Literacy Skills in a Digital World (2021, hal 107).

Metakognitif adalah jenis pengetahuan kompleks. Salah satu penjelasannya bisa ditemukan dalam Taksonomi Bloom hasil revisi (2001). Taksonomi ini membedakan Cognitive Process Dimension dengan Knowledge Dimension.

Proses kognitif menggambarkan aksi yang terjadi “di dalam kepala” siswa, terdiri dari enam tingkatan kemampuan kognitif, yang lazim diurutkan dalam Lower Order Thinking Skills (LOTS) hingga Higher Order Thinking Skills (HOTS).

Adapun dimensi pengetahuan menyangkut obyek atau tema yang diproses; atau sedang dipelajari. Ia terdiri dari empat jenis pengetahuan: Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif.

Percuma mampu menghafalkan dan menilai prosedur evakuasi bencana yang baik, bila tak mampu menerapkannya dalam situasi nyata yang bisa sama sekali berbeda dengan teori di atas kertas.

Kemampuan dalam hal mitigasi bencana, seperti dalam contoh barusan, adalah pengetahuan yang harus dikuasai sejak dini. Guru harus mampu mengajari siswa melebihi pengetahuan faktual, konseptual, atau prosedural.

Sebuah studi oleh Hermayawati (2020) dari Universitas Mercu Buana Yogyakarta, pernah menelisik penerapan keempat jenis pengetahuan dalam penilaian 40 guru di sebuah madrasah.

Meski penelitian ini sangat terbatas, dapat memberi gambaran bagaimana guru mengalami kesulitan menerapkan keempat jenis pengetahuan—khususnya pada jenis metakognitif.

Studi lainnya dalam buku yang diterbitkan Kemendikbud (2019) menyebutkan pemahaman guru, kepala sekolah, pengawas dan pejabat dinas pendidikan tentang metakognisi masih beragam.

Peran kepala sekolah dan pengawas dalam hal implementasi metakognisi, menurut para guru belum optimal.

Kendala pelaksanaan metakognisi antara lain belum adanya petunjuk mengenai strategi metakognisi, keterbatasan informasi tentang strategi metakognisi, belum adanya pelatihan khusus tentang strategi metakognisi, dan beban guru yang terlalu banyak.

Salah satu cara “mudah” menguasai Taksonomi Bloom, melalui buku asli yang membahas taksonomi ini. Di sana dijelaskan darimana asal-usulnya, seperti apa konsepnya, dan bagaimana penggunaannya.

Misalnya tentang kata kerja operasional dalam kalimat tujuan belajar, bukan sembarang kata kerja melainkan kata kerja yang secara spesifik menggambarkan kinerja kognitif siswa.

Pun mengenai jenis-jenis pengetahuan yang mewakili “kata benda” dari pengetahuan yang dipelajari: Empat jenis pengetahuan versi Bloom yang telah dibahas di artikel ini, termasuk metakognitif.

*Photo by cottonbro

Artikel lain sekategori:

Maaf, Anda tak bisa lagi berkomentar.



Exit mobile version