
Kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) kini merambah dunia pendidikan, mengubah cara belajar dan mengajar. Perubahan ini tidak datang sebagai alat bantu biasa, tetapi menjadi kekuatan radikal yang menyusup hingga ke sendi paling dasar dalam pendidikan.
AI yang bisa menulis dan membuat konten, seperti ChatGPT atau Gemini, bisa berperan sebagai tutor pribadi, teman belajar, bahkan guru digital yang bisa membantu siswa kapan saja dan di mana saja. UNESCO pun menerbitkan antologi tentang tantangan AI dalam pendidikan.
Perubahan yang menjadi sorotan UNESCO misalnya sistem penilaian tradisional. AI sekarang bisa menulis esai yang rapi dan mengerjakan tugas dengan baik dengan sedikit bantuan manusia. Jangankan guru, mesin pun tak mudah membedakan hasil kerja siswa dan buatan AI.
Antologi yang meliputi “Disruptions, dilemmas and directions” itu juga melihat dunia pendidikan kini menjadi arena persaingan perusahaan-perusahaan teknologi besar. Mereka berlomba memasukkan produk AI ke sekolah-sekolah dengan beragam janji.
Artikel ini mencoba meringkas apa saja yang dibahas dari publikasi per September 2025 tersebut. Terbagi dalam tiga tema: Disrupsi oleh kehadiran teknologi AI, dilema yang dihadapi sekolah dan pengambil kebijakan, serta apa yang mungkin dilakukan.
Disrupsi yang Mengubah Segalanya
AI dalam pendidikan membawa perubahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Yang paling terasa adalah guncangan pada sistem penilaian tradisional. Bayangkan seorang guru yang terbiasa memberikan tugas esai untuk mengukur kemampuan siswa.
Dengan alat GenAI, tiba-tiba siswa bisa menghasilkan tulisan yang sangat baik hanya dalam hitungan menit. Hal ini membuat pertanyaan mendasar: Bagaimana kita tahu apakah hasil tugas benar-benar mencerminkan kemampuan siswa?
Disrupsi lainnya terlihat pada perubahan cara belajar itu sendiri. AI kini berperan sebagai tutor pribadi yang tersedia 24 jam, mampu memberikan penjelasan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa.
Teknologi ini tidak hanya memperluas akses informasi, juga mengubah hakikat pengetahuan. Siswa tidak lagi perlu menghafal fakta-fakta karena AI bisa memberikan jawaban instan untuk hampir semua pertanyaan.
Namun, disrupsi ini juga menimbulkan kekhawatiran akan pembebanan kognitif. Seperti orang yang terlalu bergantung pada GPS sampai tidak bisa lagi membaca peta, siswa berisiko kehilangan kemampuan berpikir kritis karena terlalu mengandalkan AI.
Selain itu, dunia pendidikan kini menjadi arena persaingan perusahaan teknologi yang menjanjikan pembelajaran lebih cepat dan efisien, seringkali tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya dari guru dan siswa.
Contoh dari fenomena ini adalah pada Juni 2025, Google menambahkan 30 alat AI baru ke dalam Google Classroom tanpa penjelasan tujuan atau menanyakan apakah alat-alat tersebut diinginkan oleh sekolah dan pendidik.
Keputusan sepihak seperti ini menunjukkan bagaimana perusahaan teknologi bisa membuat perubahan penting dengan sedikit atau tanpa pengawasan dari pengguna seperti dinas pendidikan atau sekolah.
Penggunaan AI dalam layanan publik seperti Amazon Web Services juga memperburuk ketergantungan yang sudah ada pada sumber infrastruktur dan informasi yang sifatnya kepemilikan tunggal oleh swasta.
Dilema yang Membingungkan
Di tengah perubahan ini, muncul berbagai dilema yang tidak mudah dipecahkan. Dilema pertama dan paling mencolok adalah soal ketidaksetaraan akses. Meskipun AI canggih sudah tersedia, kenyataannya sepertiga penduduk dunia masih belum terhubung internet.
AI terbaik membutuhkan langganan berbayar dan infrastruktur yang memadai, sehingga hanya mereka yang mampu secara ekonomi yang bisa merasakan manfaatnya. Hal ini menciptakan jurang digital baru yang semakin memisahkan si kaya dan si miskin dalam hal akses pendidikan.
Dilema budaya dan bahasa juga tak kalah pelik. Kebanyakan AI dilatih menggunakan data berbahasa Inggris dan mencerminkan nilai-nilai budaya Barat. Akibatnya, sistem pengetahuan lokal, bahasa daerah, dan kearifan tradisional berisiko terpinggirkan.
Bayangkan jika pengetahuan nenek moyang kita tentang pengobatan herbal atau teknik bercocok tanam lokal tidak diakui oleh sistem AI karena tidak tercatat dalam bahasa yang “dipahami” oleh teknologi tersebut.
Masalah etika dan privasi menambah kerumitan dilema ini. AI belajar dari data dalam jumlah yang sangat besar, termasuk informasi pribadi. Siapa yang berhak menggunakan data tersebut? Bagaimana memastikan privasi terlindungi?
Yang lebih mengkhawatirkan, AI cenderung mereproduksi bias yang ada dalam data pelatihan. Jika data tersebut mengandung stereotip gender, ras, atau kelas sosial, AI akan terus menyebarkan pandangan yang keliru ini kepada generasi pelajar.
Pertanyaan paling fundamental adalah tentang masa depan peran manusia dalam pendidikan. Bisakah AI suatu hari menggantikan guru? Bagaimana kita menyeimbangkan antara potensi AI untuk personalisasi pembelajaran dengan risiko mengisolasi siswa dari interaksi manusiawi yang vital?
Ada ketegangan antara tuntutan efisiensi yang dijanjikan AI dengan kebutuhan akan “kelambatan” dalam pembelajaran mendalam, refleksi, dan pembentukan karakter yang memerlukan waktu dan sentuhan manusia.
Situasi tambah rumit ketika keterlibatan perusahaan teknologi dalam pengelolaan kehidupan sehari-hari, baik publik maupun swasta, menjadi semakin dalam. Hal ini membuat semakin sulit untuk membentuk teknologi sesuai tujuan demokratis.
Perlawanan demokratis terhambat oleh tertanamnya perusahaan teknologi dalam infrastruktur tata kelola, saat keputusan dibuat oleh perusahaan teknologi dengan sedikit atau tanpa pengawasan dari organisasi pengguna.
Arah Masa Depan
Menghadapi disrupsi dan dilema tersebut, dunia pendidikan tidak boleh terjebak dalam pilihan ekstrem antara menolak atau menerima AI begitu saja. Arah yang paling masuk akal adalah mengembangkan pendekatan yang berpusat pada manusia.
Teknologi AI seharusnya dikembangkan untuk melayani kebutuhan manusia, bukan sebaliknya. Ini berarti menempatkan hak asasi manusia, keadilan, dan inklusi sebagai prinsip utama dalam setiap pengembangan AI untuk pendidikan.
Secara praktis, guru perlu memikirkan kembali cara mereka mengajar dan menilai siswa. Alih-alih melarang penggunaan AI, pendidik bisa menjadikannya mitra dalam memberikan umpan balik yang lebih kaya kepada siswa.
Penilaian bisa lebih fokus pada proses berpikir, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi, bukan sekadar hasil akhir yang bisa dengan mudah dihasilkan AI. Guru juga perlu mengembangkan keterampilan baru dalam memandu siswa menggunakan AI secara bijak dan etis.
Peran guru sendiri tidak akan hilang, melainkan bertransformasi. Guru akan menjadi lebih seperti pelatih yang membantu siswa mengembangkan keterampilan meta-kognitif, kecerdasan emosional, dan kemampuan bekerja sama.
Mereka akan fokus pada aspek-aspek pembelajaran yang tidak bisa digantikan AI, seperti memahami emosi siswa, memberikan motivasi personal, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan.
Dari sisi kebijakan dan tata kelola, diperlukan pendekatan yang lebih partisipatif dan demokratis. Ini berarti sistem AI harus dikembangkan dengan mendengarkan dan menghormati kebutuhan pendidik dan siswa.
Tindakan konkret meliputi pelibatan guru dan siswa dalam proses desain, audit berkala untuk memastikan keadilan sistem, transparansi algoritma, dan perlindungan data yang ketat. Tidak kalah penting adalah pengembangan melek AI bagi parapihak dalam pendidikan.
Namun, regulasi yang lebih baik saja tidaklah cukup. Regulasi saat ini sebagian besar mengasumsikan AI dapat digunakan dalam pendidikan untuk tujuan yang progresif secara sosial dengan memanfaatkan instrumen kebijakan dan mekanisme tata kelola yang sudah ada.
Diperlukan pendekatan yang lebih radikal, apa yang disebut sebagai “kontra-tata kelola” – strategi yang menolak dan mengarahkan ulang tata kelola AI melalui fokus pada kekuasaan dan organisasi, bukan hanya desain yang lebih demokratis dan etis.
Kontra-tata kelola AI melibatkan gerakan yang terutama mengarahkan perlawanan terorganisir, kolektif, dan dipimpin komunitas terhadap sistem politik dan ekonomi yang mendasari AI, bukan hanya mengintervensi desain teknologinya.
Contoh praktik kontra-tata kelola termasuk audit yang dipimpin komunitas terhadap undang-undang AI di Kanada, dengan penyebaran publik dalam bentuk laporan, diskusi, kerja media, dan kebebasan informasi.
Selain itu, pembuatan kebijakan perlu memikirkan kembali bentuk demokrasi partisipatif dan deliberatif saat ini untuk menangani dinamika baru yang diciptakan oleh sintesis manusia-mesin. Ini melibatkan eksperimen tentang cara melibatkan aktor non-manusia seperti AI dalam tata kelola pendidikan.
Meskipun pendekatan ini mungkin tidak nyaman karena mengguncang pemikiran dan nilai-nilai manusia, premisnya adalah kemampuan AI dapat dikombinasikan dengan keterampilan analitis manusia untuk menciptakan jenis pandangan ke depan yang baru dalam tata kelola AI.
Arah ke depan juga menuntut kolaborasi global. UNESCO dan organisasi internasional lainnya telah memfasilitasi dialog antarnegara untuk memastikan AI dalam pendidikan berkembang secara adil. Tujuannya menciptakan ruang bersama untuk berbagi pengalaman, belajar dari kesalahan, dan mengembangkan standar etis yang universal.
Masa depan AI dalam pendidikan bukan tentang pertarungan antara manusia melawan mesin, melainkan tentang bagaimana menciptakan kemitraan yang harmonis. AI harus menjadi alat yang memperkuat kemampuan manusia, bukan menggantikannya.
Ini membutuhkan dialog yang terus-menerus, refleksi mendalam, dan keberanian untuk berimajinasi tentang bentuk pendidikan yang lebih baik. Hanya dengan pendekatan yang bijak dan kolaboratif, kita bisa memastikan bahwa revolusi AI benar-benar membawa manfaat bagi semua anak di dunia, tanpa meninggalkan siapa pun.
*Photo by Barry Zhou via Unsplash
Komentar Anda?