
Pernah merasa tiba-tiba ingin membagikan sebuah video atau berita yang baru saja Anda lihat di media sosial, tanpa berpikir dua kali? Atau Anda heran mengapa konten yang aneh atau kontroversial justru lebih sering muncul di linimasa?
Anda tidak sendirian. Di era digital ini, konten viral seringkali datang dengan jebakan misinformasi atau disinformasi, dan ada alasan kuat mengapa kita begitu mudah terjebak. Mari kita bongkar tiga alasan utama mengapa konten viral begitu kuat memengaruhi kita:
Otak Kita Cari Emosi, Bukan Kebenaran
Percaya atau tidak, otak kita dirancang untuk bereaksi cepat terhadap emosi, jauh sebelum kita sempat berpikir logis. Ini seperti dua lajur di jalanan, yang harus dipatuhi pengguna jalan: Jalur cepat, dan jalur lambat.
Jalur cepat ini seperti jalur instan, dirancang untuk respons seketika terhadap hal-hal yang memicu perasaan atau emosi yang kuat. Misalnya, saat melihat benda melengkung di pohon, otak akan menyuruh Anda melompat mundur (sepertinya ular, padahal cuma selang air).
Sementara jalur lambat, adalah tempatnya logika bekerja. Jalur ini lebih detail dan akurat, tetapi membutuhkan lebih banyak waktu dan energi untuk memproses informasi. Karena diproses secara kritis, kemungkinan besar hasilnya lebih akurat.
Perkembangan emosional remaja dan respons impulsif
Masalahnya, sistem emosional di otak kita berkembang lebih dulu dan lebih cepat, terutama saat remaja. Hormon dan perubahan kimia otak membuat kita lebih responsif terhadap sensasi kuat dan cenderung mengambil risiko.
Jadi, ketika sebuah video memicu kemarahan, kekaguman, atau bahkan rasa jijik, otak kita langsung “pindah” ke jalur cepat ini, membuat kita bereaksi impulsif—seringkali dengan membagikannya ke irang lain—sebelum sempat berpikir ulang ihwal kebenarannya.
Penelitian menunjukkan konten yang memicu emosi tinggi (membuat kita merasa sangat aktif atau bersemangat, baik positif seperti kekaguman atau negatif seperti kemarahan) jauh lebih mungkin menjadi viral.
Kemarahan, khususnya, adalah pemicu viralitas yang sangat efektif. Sebaliknya, pemicu emosi rendah seperti kesedihan, cenderung kurang viral. Ini berarti pembuat konten tahu betul cara memancing reaksi kita. Istilah sekarang, konten yang triggering.
Jalan pintas mental picu konten viral
Selain itu, otak kita punya “jalan pintas mental” yang disebut bias kognitif. Ini membuat kita cenderung lebih suka dan percaya informasi yang sesuai dengan keyakinan kita, tanpa peduli akurasinya. Lazim disebut bias konfirmasi.
Lalu ada juga yang suka FOMO, ikut-ikutan, mengikuti apa yang dilakukan atau dipercayai banyak orang lain, karena kita ingin merasa menjadi bagian dari kelompok. Mereka ini suka berasumsi bahwa “tidak mungkin semua orang salah”.
Jadi, ketika emosi yang kuat membanjiri, bias-bias ini akan membuat kita semakin mudah menerima dan menyebarkan konten, tidak peduli lagi apakah informasi itu akurat, atau tidak. akanya, saran paling mudah mencegah hoaks adalah, mikir dulu sebelum posting.
Algoritma Ekstrem Bikin Konten Viral
Media sosial itu gratis, tapi sebenarnya kita “membayarnya” dengan perhatian kita. Platform-platform ini beroperasi dalam “ekonomi perhatian”, di mana perhatian kita adalah komoditas utama yang dijual kepada pengiklan. Ngerti kan maksudya?
Untuk memenangkan persaingan ini, mereka merancang algoritma yang sangat canggih untuk membuat kita terus-menerus terlibat. Caranya, hanya memberi ruang untuk konten-konten yang dianggap bakal menarik emosi tinggi.
Algoritma ini melacak setiap klik, like, komentar, dan berapa lama kita betah melihat sebuah postingan. Bagi algoritma, “nilai” sama dengan “keterlibatan”. Semakin banyak like, komentar, dan share yang didapat, konten itu dianggap semakin “baik”, dan makin sering menjumpai pengguna lain.
“Ekonomi Kemarahan” dan katak dalam tempurung
Tak heran bila konten yang “netral” atau biasa jarang muncul di linimasa. Algoritma tahu bahwa konten yang memicu emosi kuat—yang membuat kita terkejut, marah, tertawa terbahak-bahak, atau ingin berdebat—akan menghasilkan lebih banyak interaksi.
Fenomena ini menjelaskan kenapa artikel media yang cenderung “netral”, berusaha obyektif pada fakta saja, bukan pada drama, jadi tidak mendapat tempat yang seharusnya di linimasa media sosial. Media pun beradaptasi, dipaksa nutur pada algoritma.
Ini menciptakan apa yang disebut “ekonomi kemarahan“, di mana jangkauan dan perhatian konten diukur dari potensinya untuk memprovokasi kemarahan. Dokumen internal dari beberapa platform bahkan menunjukkan bahwa konten menghasut lebih “diprioritaskan” oleh algoritma.
Akibatnya, kita sering terjebak dalam “gelembung filter” dan “ruang gema”. Ini adalah situasi di mana algoritma hanya menunjukkan kepada kita informasi yang sesuai dengan keyakinan kita, atau yang dibagikan oleh orang-orang yang berpikiran sama dengan kita.
Ini memperkuat bias kita dan membuat kita semakin terisolasi dari pandangan yang berbeda, sehingga lebih rentan terhadap misinformasi atau konten ekstrem. Seperti katak dalam tempurung.
Efek “Teman Gue Juga Share”
Kita cenderung lebih percaya informasi dari orang yang kita kenal secara pribadi—teman, keluarga—daripada dari selebriti atau influencer. Ini adalah kecenderungan alami manusia untuk memprioritaskan kepercayaan interpersonal.
Jadi, ketika teman atau akun yang kita percaya membagikan sesuatu, kita cenderung menganggapnya valid, bahkan jika sumber aslinya tidak terverifikasi.
Efek ikut-ikutan (bandwagon effect) berperan besar di sini. Kita melihat banyak orang, di lingkaran sosial kita, membagikan sesuatu, dan kita merasa perlu ikutan. Ini didorong keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok, takut ketinggalan (FOMO), dan asumsi bahwa “tidak mungkin semua orang salah”.
Selain itu, media sosial dirancang untuk “keterlibatan dangkal”. Mengklik like atau share hanya butuh sedikit usaha kognitif, bisa cepat. Berbeda dengan “keterlibatan mendalam” seperti menulis komentar panjang atau membuat konten asli, yang butuh lebih banyak pemikiran.
Lingkungan yang serba cepat ini, ditambah banjir informasi yang kita hadapi setiap hari, membuat kita cenderung “lebih cepat share daripada search“. Otak kita kewalahan dengan banyaknya data, sehingga kita memilih jalan pintas emosional daripada analisis kritis.
Itulah kenapa melek media sangat penting. Kita harus melawan cara kerja naluriah otak kita sendiri. Ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan, “semudah” memblokir konten atau menghapusnya dari internet. Meski blokir atau sensor akan butuh sumber daya besar.
Apa yang Bisa Kita Lakukan
Memahami apa yang sebenarnya terjadi saat kita mudah tertipu oleh konten viral adalah langkah pertama untuk menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas. Kita perlu:
- Pikirkan Emosi Anda: Sadari ketika sebuah konten memicu emosi kuat. Beri diri Anda waktu sejenak sebelum bereaksi atau membagikannya.
- Verifikasi Sumber: Jangan langsung percaya hanya karena banyak yang membagikan atau karena teman Anda yang membagikan. Cari tahu sumber aslinya dan periksa kredibilitasnya.
- Keluar dari Gelembung: Sengaja mencari informasi dari berbagai sumber, bahkan yang mungkin tidak sesuai dengan pandangan Anda. Ini membantu Anda melihat gambaran yang lebih lengkap.
- Tingkatkan Literasi Digital: Pelajari cara mengidentifikasi taktik misinformasi dan bias kognitif yang mungkin memengaruhi Anda.
Dengan lebih sadar akan cara kerja otak kita dan algoritma media sosial, kita bisa lebih bijak dalam menavigasi lautan informasi digital dan melindungi diri dari pusaran viral yang menyesatkan.
*Photo by lloyd Newman via Unsplash
Komentar Anda?