Literasi digital di Indonesia belum sampai level “baik”. Jika skor indeks tertinggi adalah 5, indeks literasi digital Indonesia baru berada sedikit di atas angka 3.
Pernyataan barusan dikutip langsung dari laporan penelitian tentang status literasi digital di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo bekerja sama dengan Siberkreasi dan Katadata Insight Center pada 2020.
Dokumen laporan aslinya, bisa diunduh publik lewat tautan di situs literasidigital.id. Kalimat pertama laporan itu sudah mengindikasikan, ada yang tidak beres dalam kemampuan literasi digital netizen di Indonesia.
Namun, temuan ini bukan hal utama menurut versi Kemkominfo. “[…] responden menyatakan akses internet semakin cepat, terjangkau dan tersebar sampai ke pelosok,” demikian narasi besar dalam siaran pers mereka. Tak terasa ada yang salah dengan kemampuan literasi digital netizen Indonesia.
Bahkan, siaran pers itu pun terkesan melunakkan temuan dengan mengkorting angkanya. “Indeks literasi digital belum mencapai skor ‘baik’ (4.00), baru sedikit di atas ‘sedang’ (3.00)…” demikian penggalan kutipan dari pernyataan resmi tersebut.
Perbandingan capaian skor 3 dari 4, sementara dalam laporan aslinya adalah skor 3 dari 5, mustahil sebuah ketidaksengajaan atau sekadar saltik. Sebabnya kemungkinan ingin mengesankan bahwa gap antara kondisi saat ini dengan kondisi ideal “tidak terlalu jauh”. Mengundang pertanyaan lanjutan, mengapa?
Akan terasa semakin kontradiktif saat membaca bahwa capaian literasi informasi dan data (information and data literacy) paling rendah skornya. Bahkan ada saran, “Indonesia perlu meningkatkan sub-indeks informasi dan literasi data, dimana termasuk di dalamnya adalah tentang berpikir kritis tentang media dan data.”
Bila membaca kedua dokumen–siaran pers Kemkominfo dan dokumen lengkap laporan penelitian–penyimak yang kritis akan melihat jomplangnya isi kedua naskah. Tapi, apalah daya. Sub-indeks tentang Informasi dan Literasi Data netizen Indonesia yang memuat pilar Berpikir Kritis, hanya mencapai skor 3,17 dari 5.
Jadi, mari tengok ulang hasil penelitian dalam dokumen setebal 90 halaman tersebut.
Profil netizen yang diteliti
Penelitian ini mengukur kemampuan Literasi Digital menggunakan kerangka UNESCO bertajuk “A Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills” (2018). Melalui survei, responden diminta mengisi 28 pertanyaan atau indikator yang dijabarkan dari 7 pilar dan 4 sub-indeks, yang membentuk Indeks Literasi Digital.
Responden diminta melakukan self assessment dengan menjawab empat pertanyaan (indikator) untuk masing-masing pilar. Jawaban diukur dengan skala Likert dari 1 (terkecil) sampai 5 (terbesar). Skor 3 berada tepat di tengah. Semakin besar skor, semakin tinggi literasi digital.
Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka (face to face interview) dengan populasi target seluruh warga Indonesia yang mengakses internet berusia 13 hingga 70 tahun. Sampel dalam survei di 34 provinsi ini berjumlah 1.670 responden, yang diperoleh dengan metode multistage random sampling.
Dengan jumlah sampel tersebut, margin of error survei diperkirakan ±2,45 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Karakteristik responden mencakup penduduk urban (perkotaan) 46,1 persen, dan rural (perdesaan) 53,9 persen. Porsi rural semakin besar untuk Indonesia Timur, sementara porsi urban paling besar adalah di wilayah Indonesia Barat, mengikuti proporsi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
Dari sisi jenis kelamin, proporsinya berimbang antara jumlah laki-laki dan perempuan. SMA dan sederajat merupakan pendidikan terakhir yang ditempuh oleh 56,9 persen responden, dan 62,7 persen responden memiliki status ekonomi sosial C atau berpengeluaran per bulan sebesar Rp2.000.001 hingga Rp4.000.000.Akses internet di rumahAkses internet di rumah
Profil mereka tergolong unik. Meski sebagian besar responden (74 persen) mengaku mengakses internet di rumah, masalah yang sering mereka hadapi adalah jaringan tidak stabil (koneksi sering terputus), jaringan internet tidak selalu ada, dan biaya paket data.
Namun, saat mereka yang menjawab “Ya” ini ditanyai tentang perkiraan rata-rata biaya akses internet keluarga per bulan, mereka yang menjawab Rp100 hingga Rp300 ribu mencapai 39,9 persen. Sedangkan yang menjawab Rp50 hingga Rp100 ribu justru lebih banyak, 40 persen lebih.
Keanehan lainnya, hampir 100 persen responden memiliki handphone dan hampir seluruh pemilik handphone tersebut bisa terkoneksi ke internet. Hanya 18,4 persen dari responden yang memiliki PC atau laptop, dan tidak semuanya terkoneksi internet. Hanya 65,1 di antara pemiliki laptop/PC yang terkoneksi internet.
Karakteristik ini terasa unik karena terkoneksi dari rumah biasanya diasumsikan menggunakan kabel (fixed line), baik dengan tembaga (koaksial) maupun optik fiber pita lebar (broadband). Per Juni 2020, harga langganan 11 penyedia layanan fixed broadband rumahan menurut Tech in Asia Indonesia, tak ada yang di bawah Rp100 ribu per bulan.
Maka, jawaban atas pertanyaan survei “Apakah di rumah Bapak/ibu memiliki akses internet?”, tampaknya harus diinterpretasi sebagai “bisa melakukan koneksi internet meski di rumah”. Tidak berarti bahwa mereka menggunakan koneksi fixed broadband.
Literasi informasi dan data serta berpikir kritis
Baik, mari kita tengok profil literasi digital netizen Indonesia dalam laporan ini. Dari empat sub-indeks, fokus saja pada Sub-indeks 1: Literasi informasi dan data. Pilar pertamanya juga bertajuk Literasi informasi dan data.
Pilar pertama ini diukur dengan 4 pertanyaan, yaitu (1) kemampuan mencari dan mengakses data, informasi dan konten di media digital sesuai kebutuhan; (2) kemampuan menyaring data, informasi dan konten sesuai kebutuhan di media digital.
Berikutnya, (3) kemampuan menyimpan data, informasi, dan konten dalam media digital; serta (4) kemampuan mengarahkan/mengatur pencarian data, informasi dan konten sesuai kebutuhan.
Pilar berikutnya di Sub-indeks 1 ini adalah Berpikir kritis, yang juga diukur dengan empat pertanyaan, yaitu (1) tentang keterbiasaan mencari tahu apakah informasi yang ditemukan di situs web adalah benar atau salah.
Lalu pertanyaan tentang (2) terbiasa atau tidak membandingkan berbagai sumber informasi untuk memutuskan kebenaran informasi, (3) memeriksa kenyataan identitas lawan bicara yang ditemui daring, serta (4) terbiasa mencari tahu penulis informasi untuk mengetahui rekam jejak/kredibilitasnya.
Patut disorot bahwa capaian Sub-indeks 1 ini paling rendah dibandingkan dengan sub-indeks lain. Meski tidak dikategorikan buruk, menyiratkan bahwa kemampuan literasi digital netizen Indonesia butuh perhatian.
Menjawab pertanyaan seputar pilar literasi informasi dan data, jawaban untuk dua pertanyaan reratanya lebih dari 40 persen yang tampak percaya diri. Sedangkan dua pertanyaan lain, di atas 40 persen memilih “netral”.
Polanya sedikit berbeda dalam menjawab pertanyaan seputar berpikir kritis ketika menghadapi informasi. Lihatlah pada grafik pilar berpikir kritis, rerata di atas 40 persen responden yang memilih jawaban “tengah” atau skor 3 untuk setiap pertanyaan.
Saat dipilah berdasarkan wilayah, Indonesia Barat paling rendah capaiannya. Paling tinggi justru di wilayah Indonesia Timur. Hanya pada Sub-indeks 1 ini capaian di Indonesia Timur bisa lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain.
Bayangkan, untuk aspek literasi informasi dan data serta berpikir kritis, Indonesia Timur ternyata “lebih baik” dibanding Indonesia Tengah dan Barat.
Indonesia Timur, dengan stereotype berpendidikan lebih rendah dari saudaranya di Tengah dan Barat, rupanya merasa memiliki kemampuan berpikir yang kritis di internet.
Bila melihat semua sub-indeks, capaian Indonesia Tengah khususnya pulau Jawa tak mendominasi. Betapa menariknya. Sayang, sulit mencari data pembanding untuk mempertajam temuan ini. Kita tunggu saja survei lanjutan, yang (semoga) bisa memvalidasi temuan barusan. Sementara ini, kita akan gunakan data tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, apakah skor 3 dari 5 sudah cukup? Idealnya, tentu saja tidak.
Secara umum, tingkat literasi digital yang diukur dengan cara ini belum bisa memberi kita keyakinan. Literasi digital masih harus ditingkatkan, terutama karena dunia digital sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Apalagi pada masa pandemi, lonjakan akses ke internet membuat urgensi peningkatan tingkat literasi digital jadi semakin tinggi. Hoaks seputar pandemi, infodemi, menjadi salah satu tantangan utama dalam upaya memutus penyebaran virus korona.
Pendidikan yang terhambat karena pembelajaran jarak jauh tergantung teknologi dan metodenya masih asing bagi guru, juga jadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Pasalnya, pandemi belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Bukan hanya netizen umum yang butuh literasi digital agar tak jadi korban hoaks pandemi. Ada guru yang perlu kemampuan tingkat lanjut untuk memanfaaatkan teknologi digital dalam pembelajaran, ada UMKM yang perlu bertahan hidup dengan mencari konsumen di dunia maya, dan para pihak yang lain.
Tidak gegabah rasanya bila menyatakan bahwa capaian literasi digital yang tak menggembirakan ini, jauh lebih butuh prioritas untuk diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan, dari pada buru-buru mendorong gim elektronik ke sekolah.
*Photo by Roberto Nickson from Pexels