Peran media sebagai medan pertempuran kampanye politik, mungkin sudah tak aneh di negara yang demokrasinya sudah maju. Di antara banyak contoh kasus, salah satu yang menarik perhatian dunia mungkin kasus Obama.
Saat mencalonkan kembali menjadi presiden, Barack Obama “diserang” oleh aktor gaek dari atas panggung. Tontonan “baku serang” yang mereka suguhkan, bisa menjadi pelajaran menarik.
Bagi yang bertanya-tanya tentang apa yang dibahas, di bawah ini adalah video dari Clint Eastwood, dalam sebuah Konvensi Partai Republik beberapa waktu lalu.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendapat cacian dan kecaman keras dari lawan politiknya, lewat monolog yang ditampilkan aktor dan sutradara legendaris ini. Silakan simak video berdurasi sekitar 12 menit tersebut.
Peristiwa ini mewarnai perebutan kursi presiden AS November 2012 lalu. Ini salah satu peristiwa menarik dalam hal pemanfaatan media dalam kampanye politik.
Anda lihat dalam video ini, Eastwood menyerang Obama habis-habisan, bahkan dengan kalimat-kalimat yang bisa dibilang sangat vulgar dan tidak sopan untuk ukuran “Budaya Ketimuran”.
Dengan menggunakan kursi kosong sebagai metafora Obama, ia bermonolog dengan Sang Presiden. Untuk aktor sekelasnya, bukan persoalan berat untuk berakting meski di atas panggung politik.
Kalimat-kalimat pedas tapi cerdas mengalir dari penampilan singkatnya ini. Sebagai aktor dan sutradara, Clint Eastwood juga menunjukkan kualitasnya sebagai politisi andal, tak sekadar jual tampang sebagai aktor.
Tak sedikit pendukung Obama marah dan mengkritik Partai Republik, partai dukungan Eastwood. Tapi inilah indahnya kebebasan berekspresi.
Adapun Obama tidak menanggapinya dengan serius. Dalam wawancara dengan harian USA Today di atas pesawat kepresidenan Air Force One, Minggu (2/9/2012), Obama menegaskan sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Eastwood. Berikut kutipan beritanya dari Kompas.com:
“Satu hal tentang menjadi presiden atau mencalonkan diri jadi presiden (adalah) — jika gampang tersinggung, mungkin Anda sebaiknya memilih profesi lain,” jawab Obama.
Sebagai politisi, mereka pasti sadar serangan dari lawan politik bisa datang kapan saja. Reaksi Obama, justru tetap memuja Eastwood, seperti yang dia akui sudah dilakukannya sejak masih kecil.
Respons tim media Obama, yang kemudian mengirim sebuah foto melalui akun Twitter resmi Presiden AS itu, yang jadi terasa “beda kelas”. Sebuah “pertempuran” yang istimewa, “kursi” dibalas dengan “kursi”.
Apa yang dipertontonkan ini menarik. Memberi pelajaran bahwa dalam politik, ketika media menjadi medan tempur, jangan gegabah mengirim pesan.
Pesan itu dirancang sedemikian rupa sehingga tetap kontekstual, tidak vulgar dan kampungan. Tidak pula bermuka dua, pura-pura santun padahal berangasan.
Bahwa serangan pasti dilakukan lawan, itu bukan sesuatu yang mengejutkan dalam politik. Bagaimana kecerdasan dalam menanggapi serangan itu, adalah sebuah seni “perang”.
Apalgi saat pihak yang diserang atau bahkan para “penonton” di pinggir gelanggang, bisa turut menikmatinya. Lebih bagus lagi kalau bisa turut mencerdaskan penontonnya.
Kampanye hitam barang haram?
Seringkali, sulit membedakan aktivitas kampanye politik di media, mana kampanye hitam yang dilarang, atau sekadar kampanye negatif yang memanfaatkan kelemahan lawan.
Masih banyak orang yang belum begitu paham dalam membedakan, mana kampanye hitam, kampanye negatif, ujaran kebencian, atau fitnah belaka.
Yang dua terakhir, jelas bisa masuk dalam kategori kejahatan, tetapi yang pertama dan kedua, biasanya “lumrah” dilakukan dalam kampanye politik.
Kasus Obama, menjadi menarik karena ia Presiden AS pertama yang berkulit hitam. Artinya, ia adalah kaum minoritas yang mampu menunjukkan dirinya sebagai calon presiden pada 2008.
Anda bisa bayangkan tantangan yang dihadapinya, mengingat isu diskriminasi ras adalah isu yang masih langgeng di dunia manapun.
Berapa banyak kampanye hitam yang harus dihadapinya saat itu? Serangan monolog ala Clint Eastwood, mungkin tak seberapa. Obama bahkan dibuatkan banyak situs khusus yang menyerangnya.
Situs penentang Obama, antiobama.net, masih berjalan sampai sekarang, dan masih bisa diakses oleh siapapun di dunia (paling tidak sampai artikel ini dibuat).
Artinya, selama bisa ditunjukkan data yang akurat di balik serangan yang dilancarkan dalam kampanye, maka hal itu akan sah saja dilakukan.
Berlaku hal yang sama, ketika masyarakat turun ke jalan melakukan aksi massa menolak sebuah kebijakan, tentu didasari argumen yang jelas bila ingin mendapat dukungan. Bukan sekadar “pokoknya”.
Seberapa besar kampanye yang menyerang Obama saat ia mencalonkan kembali tahun 2012 lalu, laporannya bisa Anda lihat di sini.
Nah, pelajaran menariknya adalah, bagaimana dalam kampanye-kampanye politik melalui berbagai media di Indonesia ke depan, tidak malu-malu untuk melakukan serangan.
Serangan itu wajar saja, selama tidak menyerang fisik, atau bersifat fitnah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keakuratan datanya.
Lebih baik kalau serangan itu digunakan justru untuk mencerdaskan publik. Misalnya kalau ada kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebijakan tak berpihak, dan sejenisnya.
Apalagi bila diikuti dengan kehebatan si penyerang dalam mengemas serangannya, dan solusi sebagai tandingan atas kelemahan lawan yang diserangnya.
Tidak semua kampanye yang menyerang bisa disebut kampanye hitam, toh sudah ada peraturan yang menentukan. Itulah koridor utamanya.
Ingatlah aksi balasan Obama di atas, jangan pundungan kalau mendapat serangan dari lawan politik. Balas serangan “kursi” dengan “kursi”.