Media Sosial dan Demokrasi Deliberatif – Melék Media


Beranda  »  Artikel » Media Baru   »   Media Sosial dan Demokrasi Deliberatif

Media Sosial dan Demokrasi Deliberatif

Oleh: rahadian p. paramita -- 17 September, 2010 
Tentang: , , ,  –  3 Komentar

Habermas at abcdemocracy.wordpress.com

Twitterland dikejutkan oleh serangan dari Julian Aldrin Pasha (JAP), juru bicara Presiden yang tampaknya berupaya membela bosnya dari pencemaran citra. Ada nada kecemasan di sana, sekaligus pelecehan terhadap ruang publik.

Saya tidak paham, kenapa Julian bisa bereaksi sekanak-kanak itu di media sebesar Kompas, hanya untuk bilang bahwa bohirnya itu sejatinya bersikap dan bertindak secara konsisten, disiplin, berdasarkan kebiasaan serta keyakinannya.

Saya tidak benci SBY. Nothing personal. Lha wong ketemu aja gak pernah. Tapi saya kesel dengan lambannya pemimpin tertinggi di negeri ini, yang dipilih langsung oleh 60 persen pemilih. Kalau ia turun jabatan nanti, saya tidak peduli ia tinggal di Cikeas atau menginap di hotel, mau 3 kali jadi ketua RT atau cuma 2 kali.

Masalahnya, beliau itu Presiden, bos. Dan, betul kalau JAP menulis, memang sulit memahami secara utuh cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang presiden bila dibayangkan atau dilihat hanya dari kejauhan.

Tentu saja sulit. Apalagi kalau justru Presiden membangun jarak dengan aspirasi rakyat. Rakyat yang memilihnya, rakyat yang berada di wilayah awam. Sementara kelas menengah mungkin tidak banyak.

Kalau harus merujuk pada aspirasi yang 60 persen pemilih itu, saya yakin sebagian besarnya hanya memilih SBY karena tampan, mempesona, berhasil menurunkan korupsi *katanya*, atau pesakitan yang perlu dibela.

Kaum intelektual bahkan ada yang memilih SBY dengan alasan asal bukan Prabowo. Tapi kalau kita lihat kebijakannya belakangan ini, seberapa banyak yang benar-benar pro rakyat sesuai profil yang sudah memilihnya itu?

Bandul demokrasi mengayun terlalu kencang?

12 tahun setelah reformasi, perubahan yang fundamental terjadi dalam demokrasi di negara kita. Dari demokrasi “setengah hati dan pura-pura”, berubah menjadi demokrasi yang “malu bertanya sesat di jalan”.

Bandulnya bergeser jauh sekali, dari kiri ke kanan, dalam waktu yang relatif singkat. Tapi jangan lupa, perubahan yang cepat itu hanya terjadi di bagian atas bandul. Sementara itu apa yang terjadi di bagian bawah bandul?

Masyarakat lebih banyak yang berada di “bawah sana”, masih di perjalanan menuju perubahan yang disebut-sebut kaum elite. Tidak bermaksud merendahkan intelektualitas rakyat, tapi dalam hal demokrasi, politik, masyarakat awam masih banyak yang merangkak.

Jadi jangan heran kalau masih ada saling pentung di sana-sini, wartawan digorok dan dibacok,  pelawak dipilih jadi politisi, sementara politisi dijadikan pelawak. Proses ini memakan waktu, dan memang butuh kesabaran.

Kalau mau, silakan periksa topik yang masuk jajaran tren di Indonesia. Kalau Anda menemukan topik unyulebaranngampusbuber menetap di sana selama beberapa minggu ini, itulah kira-kira gambaran kasarnya. Sangat kasar, mungkin juga tidak relevan, tapi menurut saya itulah inspirasi masyarakat muda kita kebanyakan.

Sementara banyak perbincangan para pengangguran di ujung gang, di poskamling, petani di tepian sawah-sawah kering, warga berlumuran lumpur, seolah pungguk merindukan bulan yang dijanjikan pada masa kampanye.

Mungkin perbincangan mereka sebenarnya serius, tapi karena suara mereka tidak pernah sampai ke pasar burung, atau masuk ke ruang debat di televisi berita, maka jarang-lah dikomentari secara serius. Maka biasanya, jaman dulu gerakan massa digunakan untuk memobilisasi sejumlah orang, agar mendapat perhatian.

Habermas pernah mengemukakan tentang teori diskursus. Diskursus adalah perbincangan, wacana. Kata diskursus berbeda dengan speech/saying. Discourse adalah suatu bentuk komunikasi yang “serius”, bukan basa-basi.

Dalam komunikasi sehari-hari, kita membeli gas elpiji, bertanya harganya, dan membayarnya. Itu bukan diskursus. Tetapi, begitu ada pertanyaan mengapa banyak gas meledak dan begitu menakutkan, bagaimana cara aman menggunakannya, diskursus mulai tumbuh.

Jadi, diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif, mentematisasi problem. Muncul dua bentuk komunikasi, komunikasi sehari-hari, dan diskursus. Kalau saja perbincangan akar rumput bisa naik dan mampir ke meja para penguasa, mungkin lain ceritanya.

Bayangkan, ketika diskursus tentang pemberantasan korupsi berkembang di sini, dan menyadarkan banyak pembaca, maka lahir generasi yang sadar bahwa korupsi itu berbahaya, kejam, dan tidak berperikemanusiaan.

Semakin sering diskursus semacam ini berkembang, di segala penjuru termasuk di sekolah, maka kita bisa punya generasi baru yang lebih anti-korupsi dari sekedar slogan spanduk kampanye.

Begitu pula diskursus yang berkembang di pasar burung, sangat mungkin menjadi alat penyadaran yang ampuh. Lalu apakah wacana semu yang dituduhkan JAP, adalah bentuk pelecehan diskursus itu menjadi wacana kosong, layaknya obrolan gosip? Kalau menyimak paragraf lengkapnya, mungkin Anda bisa terinspirasi:

Setelah pernyataan Ruhut Sitompul dilontarkan, banyak pertanyaan datang kepada saya. Intinya, bagaimana sikap Presiden? Terus terang, perasaan saya sama dengan perasaan Prof Pabottingi: seperti mendengar pernyataan yang jatuh dari langit di siang bolong tanpa ujung pangkal. Atas nama akal sehat, pernyataan itu harus diluruskan. Mengapa ditanggapi serius?

Jawabannya: karena perhatian media massa. Menjadi penting karena hampir semua media, baik elektronik, dunia maya, microbloggers (Facebook dan Twitter), maupun media cetak, tampak begitu bersemangat menaikkan dan mengedepankan ”nyanyian” sumbang itu.

Substansinya spekulatif. Seputar bahwa apakah suara itu sesungguhnya berasal dari Istana? Atau, mungkinkah ia hanya orang suruhan? Atau, sebaliknya, sebagai menu pembuka hidangan politik, hitung-hitung testing the water? Atau, mungkin ini justru perintah ”certiorari” dari dalam parlemen sendiri?

Rangkaian probabilitas di atas kemudian mendorong saya menyampaikan kepada Presiden bahwa perlu dibuat pernyataan pada saat sambutan peringatan Hari Konstitusi. Pertimbangannya, momentumnya tepat karena wacana itu bersinggungan dengan konstitusi.

Seandainya tanpa ada pernyataan Presiden, hampir pasti isu tersebut kemudian menggelinding memenuhi ruang publik, menggeser isu atau substansi penting lainnya, seraya memberi ruang yang lebih dari cukup bagi para komentator, pengamat, atau pakar komunikasi politik untuk mengemukakan hipotesis dan analisisnya yang belum tentu sepenuhnya benar, kalau tidak pantas dikatakan ngawur.

…..

Ngawur? Wow.

Di kelas menengah, terjadi perubahan besar dengan berkembangnya teknologi informasi, khususnya internet. Tapi kelas menengah yang sanggup mengakses dan mendayagunakan internet dengan baik, dapat memanfaatkannya dengan baik.

Sementara ada kelompok lain di masyarakat, yang tertinggal semakin jauh. Ibarat bandul, pergerakan di bagian bawah pemberat bandul, belum mencapai sisi terjauhnya, sementara di bagian tengah dan pucuk bandul, pergeseran itu seperti tidak terasa sama sekali. Perubahan di satu kelompok masyarakat, belum menjadi perubahan bagi kelompok lainnya.

Mungkin ini bisa kita sebut sebagai digital divide.

Deliberasi melalui media sosial

Dulu, mungkin media massa lah yang sangat berperan. Era ini katanya disebut sebagai era Media 1.0. Di era ini, media massa cenderung satu arah, elit, dan tidak tersentuh. Media massa punya posisi tawar yang tinggi, karena melalui mereka informasi tersebar dan media massa adalah satu-satunya sumber informasi bagi rakyat.

Selain karena memiliki infrastrukturnya, juga memiliki sumberdaya manusia yang baik, media massa punya kemewahan untuk mengeksplorasi isu sesuka mereka. Meski kita tahu ada banyak kode etik yang mengatur cara bermain mereka, tapi para pemegang kebijakan di media, atau penguasa yang menindas media punya peluang mendominasi. Informasi sebagai alat penindas awam, dimainkan dengan mudah di era ini oleh penguasa.

Sekarang, jaman berubah. Media kini bisa di tangan siapa saja. Era Media 2.0 memungkinkan siapa saja kini menjadi produsen, tidak saja sebagai konsumen informasi. Terlepas apakah informasi itu valid atau tidak, sesuai kode etik atau tidak, tapi saluran komunikasi kini terbuka selebar-lebarnya untuk siapa saja. Kecuali mereka yang termarjinalkan oleh ketiadaan infrastruktur informasi dan telekomunikasi.

Kalau JAP malah meledek perkembangan ini, saya justru mau mensyukurinya. Soal kualitas wacana, atau komunikasi yang muncul saat ini memang masih didominasi komunikasi sehari-hari, bukan diskursus sebagaimana diharapkan Habermas.

Tapi dominasi ini tidak akan langgeng. Akan muncul suatu masa dimana diskursus muncul sesekali, menembus dominasi komunikasi rujak cingur, meminjam istilah Gunawan Muhamad, dan membuat perubahan.

Demokrasi Deliberatif yang diteorikan Habermas, mungkin tengah mendapat celah. Celah itu memang tidak bisa ujug-ujug dibuka lebar, karena akan muncul risiko. Perlahan tapi pasti, celah untuk menembus dominasi elite dalam hal berkomunikasi tentang politik, juga dimiliki awam. Budaya bisu yang dulu mendominasi, kini mulai bangun dan menunjukkan kekuatannya. Habermas sudah mewanti-wanti, budaya bisu adalah musuh besar deliberasi.

Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak terjadi. Karena dalam porses deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif. Tetapi setiap kebudayaan tertentu bisa mematahkan proses komunikasi dengan membuat orang tidak berdaya dalam kompetensi komunikatif. Orang dibiarkan pasif.

Tugas dari forum deliberasi adalah membangun kompetensi komunikatif. Caranya, membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri, memberikan ruang perbedaan pendapat sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat itu menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat itu ada cukup banyak perspektif yang dibuka. Dan yang lebih penting untuk silence culture, berbeda pendapat itu tidak menakutkan, tetapi memperkaya.

Teori Demokrasi Deliberatif ini sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman Nazi. Di satu sisi, Nazi adalah kekuatan negara yang sangat besar, tapi itu baru setengah dari kebenarannya. Kebenaran yang lain adalah, Nazi mencerminkan peranan kelompok masyarakat yang kuat atas kelompok yang lain.

Negara hanyalah tunggangan kelompok yang kuat itu. Setiap saat hukum dapat diubah-ubah sesuka Hitler, meski Hitler itu patuh pada hukum, tetapi hukum lebih patuh pada dia. Jadi, dia membuat hukum untuk menggolkan maksud-maksudnya.

Seharusnya civil society yang memegang peranan itu. Demokrasi yang diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya, produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, meski tidak berarti publik dapat mendikte pemerintah. Lalu bagaimana dengan praktik membeli suara publik?

Memang, suara publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli tapi bisa ditelanjangi oleh publik sebagai suara yang dibeli, bisa kehilangan kualitas “publik”-nya, alias tidak bernilai publik. Jadi, kalau kita bisa menelanjangi manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak di permukaan dan akhirnya disadari oleh warga.

Bahwa dewasa ini independensi media massa mulai dirasuki oleh kepentingan politik tertentu, kita cukup tahu sama tahu. Media seharusnya tidak boleh dikendalikan oleh modal dan/atau birokrasi. Kalau media massa dikendalikan, tugas forum warga mendeteksinya, dan melawan hingga mereka merasa tidak nyaman.

Apa yang terjadi sekarang, warga melalui media sosial ada yang mampu menelanjangi “media yang dibeli” oleh kepentingan tertentu, sehingga warga sudah tahu nilai pemberitaan tertentu dari media tertentu, patut dipertanyakan obyektifitasnya.

Perkembangan media sosial, punya roh deliberatif. Di sini, setiap orang adalah suaranya sendiri. Ia bisa menggunakannya untuk manthuk-manthuk saja, atau bertanya, atau menyampaikan pendapatnya. Istilah user generated content, tepat sekali digunakan dalam konteks Habermas bicara tentang konsultasi publik dalam menggolkan sebuah Undang-undang.

Yah, mengendalikan diskursif atas pemerintah melalui UU, dapat dilakukan melalui media sosial. Sebaliknya, jika pemerintah punya sensitifitas terhadap aspirasi rakyat, mereka bisa pandang peta pembicaraan di seantero negeri, seperti contoh yang tampil di atas, lalu mulai berbuat sesuatu.

Apa yang dicurhatkan JAP, jadi tampak naif dan sama sekali tidak elegan, kalau tidak mau dibilang kurang intelek. Bahwa media sekarang menekan posisi pemerintah hingga merasa tidak punya ruang gerak, itu adalah akibat dari apa yang mereka perbuat sendiri. Dimana-mana, ada asap kalau ada api.

Kenapa Ruhut bisa ngomong begitu? Partai Demokrat bisa mengelak dengan sebutan Ruhut memang suka begitu. Pertanyaan besarnya, kenapa orang dengan kualitas macam begitu direkrut oleh sebuah partai segitu besar yang berkuasa pula? Sudah habiskah stok orang pintar di negeri ini?

Penyebaran media sosial, dan perluasan aksesnya ke berbagai lapisan masyarakat, saya percayai bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan digital divide dalam masyarakat. Upaya melekmedia menjadi penting, karena kelompok masyarakat yang awam, cepat atau lambat akan menghadapi perkembangan teknologi informasi.

Hingga saatnya datang, maka masyarakat itu harus sudah siap, agar tak lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya.

*Gambar: abcdemocracy.wordpress.com | Artikel via: Politikana.com

Artikel lain sekategori:

3 Komentar untuk “Media Sosial dan Demokrasi Deliberatif”

  1. berita terbaru

    kerennn… keep posting gan 🙂

  2. berita indonesia

    mas di kasih salam tuh sama si handoko udah lama ga ketemu katanya

  3. prajnamu

    Oh? Handoko siapa yah? 😀



Exit mobile version