
Di era akal imitasi (AI) yang transformatif, kedaulatan komputasi AI menjadi kepentingan nasional yang krusial. Saat ini dunia dalam ketidaksetaraan global, sistem dengan dua kasta: Negara dengan kedaulatan komputasi AI dan negara-negara yang bergantung pada mereka.
Bayangkan saat pasokan listrik, air, dan koneksi internet dimonopoli oleh hanya segelintir negara atau perusahaan asing. Kedengaran menakutkan? Kira-kira begitu fenomenanya terhadap otak digital dunia—infrastruktur komputasi untuk AI.
Apa jadinya saat pemerintah ingin membangun sistem AI untuk layanan publik—misalnya kesehatan atau pendidikan—tetapi semua data dan pemrosesan harus dikirim ke pusat data milik perusahaan asing, berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia.
Inilah yang disebut sebagai AI compute sovereignty atau kedaulatan komputasi AI: Kedaulatan dalam memiliki, dan/atau mengendalikan pusat data, serta chip untuk menjalankan AI.
Laporan bertajuk AI Compute Sovereignty: Infrastructure Control Across Territories, Cloud Providers, and Accelerators dari Oxford Internet Institute mengupas tuntas lapisan demi lapisan yang menyelubungi tema-tema tentang kedaulatan AI.
Ini soal kedaulatan nasional, keamanan data, bahkan geopolitik. “AI Compute sovereignty adalah bentuk baru dari kekuasaan digital,” tulis para peneliti. Dunia bersaing membangun model AI, dan infrastrukturnya—data center, jaringan komputasi awan, serta chip akselerator.
Dari sembilan penyedia cloud terbesar—seperti AWS, Microsoft Azure, Google Cloud, Alibaba Cloud, dan Huawei—hanya 33 negara yang memiliki infrastruktur cloud AI di wilayah mereka.
Bahkan dari jumlah itu, hanya dua negara (AS dan Tiongkok) yang mengoperasikan pusat data AI dengan chip buatan sendiri. Sisanya? Negara-negara itu harus”menyewa” kekuatan dari luar negeri. Termasuk Indonesia.
Singapura menjadi “tuan rumah digital” untuk data center dari AS dan Tiongkok, sebagai strategi hedging agar tidak bergantung pada satu kekuatan. Indonesia, sebaliknya, “masih tergantung” pada penyedia dari Tiongkok.
Setidaknya ada tiga lapisan (layer) untuk memahami kompleksitas ketergantungan global yang meluas dan dilema strategis yang dihadapi berbagai negara. Ketiganya akan diulas dalam artikel ini berdasarkan laporan Oxford Internet Institute.
Batas Baru Kedaulatan di Era AI
Kekuatan transformatif AI di berbagai domain—ekonomi, sosial, dan militer—secara intrinsik terhubung dengan infrastruktur komputasi yang mendasarinya. Kontrol atas infrastruktur ini menjadi batas baru bagi keamanan nasional dan daya saing ekonomi.
Konsep kedaulatan kini tengah mengalami perluasan, melampaui batas-batas fisik tradisional. Kedaulatan komputasi AI bukan sekadar masalah teknis atau ekonomi; ini redefinisi mendasar kekuasaan nasional abad ke-21, saat kontrol atas kemampuan digital mendefiniskan otonomi nasional.
Jika suatu negara tidak dapat mengendalikan infrastruktur AI-nya—mulai dari tempat data diproses hingga siapa yang memiliki teknologi dasarnya—kemampuannya untuk berinovasi, melindungi data warganya, dan mempertahankan kemandirian strategis akan sangat terganggu.
Tengok serangan Israel ke Iran, yang mengandalkan jaringan internet Elon Musk, Starlink. Meski Iran memutus jaringan milik mereka demi keamanan, Starlink memberi keuntungan bagi Israel saat serangan berlangsung.
Demikian pula dalam hal AI. Status komputasi AI kini menjadi keharusan dalam aspek keamanan nasional, menunjukkan evolusi dalam konsep kekuasaan negara.
Meski begitu, rantai pasok teknologi yang sangat terglobalisasi dan terkonsentrasi, khususnya dalam semikonduktor dan layanan cloud, membuat kemandirian total hampir mustahil bagi sebagian besar negara.
Ini menciptakan ketegangan tak terhindarkan antara aspirasi nasional untuk kedaulatan dan realitas saling ketergantungan teknologi global. Konsentrasi pasar yang ekstrem, dominasi NVIDIA dan sedikitnya penyedia cloud skala besar, menciptakan ketergantungan sebagian besar negara di dunia.
Keinginan untuk “bebas dari” kontrol digital pihak asing berhadapan dengan kebutuhan praktis untuk selalu mutakhir mengandalkan layanan asing. Ketegangan ini pasti akan mendorong keputusan strategis yang kompleks dan berpotensi menyebabkan peningkatan gesekan geopolitik.
Kerangka Kedaulatan Komputasi AI
1: Yurisdiksi Teritorial atas Pusat Data Komputasi AI
Ini adalah interpretasi kedaulatan komputasi paling luas, berfokus pada lokasi fisik sumber daya komputasi AI di dalam batas-batas suatu negara. Ini selaras dengan model negara berdaulat Westphalia, di mana otoritas pemerintah terikat pada wilayah fisik yang terdefinisi.
Ketika pusat data komputasi AI berlokasi fisik di suatu negara, pemerintah memiliki kesempatan untuk meregulasinya dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah lain. Termasuk menegakkan pemeriksaan.
Negara manapun mengidamkan klaim teritorial atas komputasi di dalam negeri melalui insentif (insentif investasi) dan regulasi (UU lokalisasi data). Korporasi multinasional pun membaca kebutuhan ini, dan menawarkan layanan digital “berdaulat” sebagai fitur.
Raksasa seperti Microsoft, AWS, dan Huawei secara aktif memasarkan program “kedaulatan”. Tingkat kontrol teritorial atas komputasi AI jadi pembeda kompetitif bagi penyedia cloud. Kedaulatan sudah menjadi barang dagangan, geopolitik menjadi fitur produk yang dipasarkan.
Ini langkah pertama yang krusial tetapi tidak cukup komprehensif. Meski suatu negara memiliki yurisdiksi hukum atas pusat data tersebut, penyedia cloud asing masih dapat dipaksa oleh pemerintah asalnya untuk memberikan akses.
Artinya, meskipun residensi data penting untuk alasan hukum dan privasi, itu tidak menjamin kontrol penuh negara atas proses komputasi AI, yang mencakup tumpukan perangkat lunak dan komponen perangkat keras.
Berikut adalah tabel yang menggambarkan kehadiran komputasi AI cloud publik dan mekanisme kontrol teritorial di berbagai negara:
2: Kebangsaan Penyedia Cloud Komputasi AI
Melampaui lokasi fisik semata, adalah kebangsaan penyedia cloud yang mengelola komputasi AI di wilayah suatu negara. Ada dua perspektif utama di sini: “kebebasan untuk” dan “kebebasan dari”.
“Kebebasan untuk” artinya berdaulat dalam mengendalikan data center, chip AI, dan kontrol teknis atas sistem digitalnya. Sebaliknya, “kebebasan dari” ingin terhindar dari dominasi perusahaan atau pemerintah asing, misalnya tidak ingin datanya diakses AS atau Tiongkok.
Di era pasca-Snowden, kekhawatiran menyeruak karena penyedia cloud asing bisa dipaksa mematuhi arahan pemerintahnya, meski fasilitas komputasi AI ada di dalam yurisdiksi negara lain. AS misalnya, punya UU yang menjangkau perusahaan asal AS meski beroperasi di luar negeri.
Untuk mencapai kedaulatan berdasarkan kebangsaan penyedia ini sangat menantang. Pasar cloud global saat ini didominasi oleh segelintir penyedia: Dari AS ada Amazon Web Services (AWS), Google Cloud, atau Microsoft Azure; Tiongkok punya Alibaba Cloud, Huawei Cloud, atau Tencent Cloud.
Memilih penyedia cloud dari AS daripada Tiongkok, atau sebaliknya, menjadi kebijakan luar negeri yang kritis. Ini bisa memberi sinyal kesetiaan atau preferensi strategis dalam persaingan teknologi yang sedang berlangsung di antara (dua) kekuatan global tersebut.
Misalnya, negara-negara yang bersekutu dengan AS mungkin didorong oleh pakta keamanan yang ada atau nilai-nilai demokrasi bersama. Sementara yang bersekutu dengan Tiongkok dapat dipengaruhi oleh insentif ekonomi atau keinginan untuk melakukan diversifikasi dari pengaruh Barat.
Strategi “hedging” dipilih negara yang tak mau “memihak”, mengandalkan penyedia dari berbagai negara asing. Sebanyak 12 negara diidentifikasi melakukan ini, termasuk Hong Kong, India, Korea, Singapura, Singapura, misalnya, menggandeng AS maupun Tiongkok.
Sebaliknya, strategi “aligning” berarti memilih untuk mengandalkan penyedia dari satu negara. Total 18 negara diidentifikasi memilih strategi ini, termasuk Australia, Jepang, Malaysia, Brasil, dan Indonesia.
Tencent akan membangun Pusat Data Internet (IDC) ketiganya di Indonesia, sebagai bagian dari komitmen baru senilai sekitar US$500 juta dalam bentuk infrastruktur, sumber daya, dan investasi di Indonesia hingga 2030.
3: Kebangsaan Vendor Akselerator Komputasi AI
Ini konsepsi kedaulatan komputasi paling granular atau paling mandasar, berfokus pada kebangsaan penyedia akselerator AI (chip). Bahkan jika pusat data berlokasi di dalam suatu negara dan dimiliki oleh perusahaan domestik, kemampuan mereka bergantung pada pasokan chip AI.
Di sinilah kekuatan geopolitik paling terasa dan ditegaskan. AS, melalui NVIDIA dan kemampuannya untuk memberlakukan kontrol ekspor, memiliki kuasa besar mendikte siapa yang mendapatkan akses ke komputasi AI mutakhir.
NVIDIA, adalah vendor akselerator AI yang sangat dominan bagi penyedia cloud, memegang pangsa pasar chip dunia hingga 80-95%. Meskipun fabrikasi dialihdayakan, NVIDIA tetap mempertahankan hak lisensi dan mengendalikan ekspor.
Selain itu, 90% fabrikasi semikonduktor ada di Taiwan oleh TSMC, yang bergantung pada peralatan litografi dari perusahaan Belanda ASML.
Ketegangan geopolitik dan kontrol ekspor, seperti US CHIPS Act 2022 yang mencegah NVIDIA menjual akselerator canggih ke Tiongkok, telah mengintensifkan pengembangan akselerator in-house oleh penyedia cloud hiperskala utama AS dan Tiongkok.
Tiongkok makin getol berinvestasi agar berdaulat dalam desain akselerator AI dan kapabilitas fabrikasi. Contohnya termasuk kemitraan Huawei dengan SMIC untuk chip 7nm dan program pengembangan chip akselerator AI Alibaba dan Tencent.
Meskipun penyedia cloud hiperskala Tiongkok seperti Huawei telah memperkenalkan model chip akselerator AI in-house, kehadirannya di pasar global masih minim. Hanya enam dari 132 wilayah yang mendukung akselerator yang menawarkan akselerator Huawei Ascend.
Bagi sebagian besar negara, mengembangkan industri akselerator AI domestik tidak realistis. Sebaliknya, upaya untuk memastikan keamanan pasokan pada tingkat ini berkisar pada “friendshoring“, yaitu memilih vendor chip akselerator AI asing mana yang akan diandalkan.
Risikonya, ini berarti memilih ketergantungan pada kekuatan asing daripada mencapai kemerdekaan. Ini menggarisbawahi ketidaksetaraan teknologi yang mendalam, melekat dalam lanskap komputasi AI. Ini tentang siapa yang akan bergantung, bukan apakah akan bergantung.
Implikasi dan Tantangan Kedaulatan AI
Salah satu implikasi mendalam dari kerangka kerja ini adalah ilusi kontrol pada lapisan yang lebih rendah. Suatu negara mungkin mencapai kedaulatan teritorial (Lapisan 1) tetapi sangat rentan jika tidak memiliki kontrol pada Lapisan 2 (kebangsaan penyedia) atau Lapisan 3 (kebangsaan akselerator).
Kerangka kerja ini secara inheren bersifat hierarkis. Tidak mungkin melompat ke Lapisan 3, tanpa menguasai Lapisan 1 dan 2. Lewat US CLOUD Act pemerintah AS dapat mengakses data yang dipegang perusahaan AS, terlepas dari lokasi fisik pusat data. Kedaulatan teritorial saja tidak cukup.
Komisi Eropa bisa melarang layanan data center dimiliki asing secara mayoritas sebagai upaya menegaskan kontrol. Namun, mengingat hiperskala AS dan Tiongkok mendominasi pasar cloud global, banyak negara dipaksa memilih di antara dua penyedia asing ini.
Negara-negara menghadapi dilema strategis yang kompleks, menyeimbangkan kebutuhan kritis akan akses ke kemampuan AI mutakhir (yang dikendalikan asing) dengan isu keamanan nasional dan otonomi.
Lahirlah bentuk baru ketidaksetaraan global, sistem dengan dua kasta: Negara-negara dengan kedaulatan komputasi (AS, Tiongkok) dan negara-negara yang bergantung pada mereka. Implikasinya pada pembangunan ekonomi, keamanan, dan distribusi kekuatan masa depan.
Mencapai kedaulatan komputasi AI berarti membutuhkan strategi nasional yang komprehensif dan multifase, secara bersamaan mengatasi ketiga lapisan kerangka kerja, alih-alih berfokus pada aspek-aspek terisolasi seperti lokalisasi data semata.
Mimpi menggapai kedaulatan harus dilandasi komitmen jangka panjang, mengakui bahwa keuntungan inkremental dan kemitraan strategis lebih mungkin terjadi daripada lompatan tiba-tiba menuju kemerdekaan penuh. Ini maraton, bukan sprint, dalam mengamankan otonomi digital di era AI.
*Ilustrasi bendera Tiongkok dan USA dari Al Arabiya
Komentar Anda?