International Federation of Journalists (IFJ) merilis laporan terbaru untuk mendapat dukungan dalam rangka pengecekan fakta di Asia, di tengah meningkatnya misinformasi di ranah daring.
Laporan bertajuk “Managing the Misinformation Effect—The State of Fact-Checking in Asia”, menyoroti risiko keamanan, tantangan, dan keprihatinan yang dihadapi para pengecek fakta yang kini kian marak.
Menyambut Hari Pemeriksaan Fakta Internasional pada 2 April 2023, laporan tersebut berupaya menggambarkan inisiatif pemeriksaan fakta di lima negara: Indonesia, India, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka.
Kelima wilayah cukup rawan dengan isu perpecahan agama dan etnis, polarisasi sosial, politik otoriter, media partisan, dan tingkat melek media yang relatif rendah sehingga jadi lahan subur misinformasi.
IFJ adalah organisasi jurnalis terbesar, mewakili 600 ribu profesional media dari 187 serikat dan asosiasi perdagangan di lebih dari 140 negara. Berdiri pada 1926, IFJ berbicara atas nama jurnalis dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa dan gerakan serikat pekerja internasional.
“Pengecekan fakta adalah sekutu yang kuat bagi jurnalis di garis depan perang melawan misinformasi. Meski pengecekan fakta membutuhkan keterampilan khusus, banyak dari keterampilan ini—terutama verifikasi—sangat mirip dengan prosedur jurnalistik,” demikian pernyataan IFJ.
Dalam laporan IFJ, Anda tidak akan menemukan istilah “berita palsu”, karena istilah tersebut sangat problematik. Frasa berita palsu atau fake news seringkali digunakan justru untuk menyerang media—untuk menghindari pengungkapan fakta yang dinilai merugikan kepentingan si penyerang.
Alih-alih menggunakan berita palsu, laporan IFJ menggunakan “misinformasi” untuk semua jenis informasi yang salah, palsu, tidak akurat, atau misleading—baik yang disebarkan secara sengaja atau tidak sengaja. Sedangkan istilah “disinformasi”, spesifik digunakan untuk merujuk konten misinformasi yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak tertentu.
Di antara rekomendasinya, IFJ mengatakan media mainstream harus mengintegrasikan pemeriksaan fakta ke dalam protokol jurnalistik standar dan memperbaiki kesalahan mereka sendiri sesegera mungkin. Pemeriksaan fakta “harus duduk di puncak agenda berita harian”.
Inisiatif fact-checking harus memperluas jangkauannya untuk meningkatkan melek media dan aktif mencari dukungan dari media, masyarakat sipil, dan pembela hak asasi manusia dalam menyebarluaskan temuan mereka.
“Universitas dan sekolah perlu didorong mengajarkan keterampilan dalam membaca kritis informasi resmi, media massa, dan media sosial untuk mendorong melek media,” demikian pernyataan IFJ dalam laporannya.
Rekomendasi terakhir disebut bakal penuh tantangan, mengingat hasil tes PISA di Indonesia menunjukkan kemampuan siswa membaca dan menarik kesimpulan dari apa yang dibacanya relatif masih rendah.
Sekilas cek fakta di Indonesia
Misinformasi meluas ketika satu pihak mengendalikan sumber informasi, sementara di sisi lain sangat sedikit sumber alternatif, atau masyarakat sulit mengidentifikasi sumber informasi yang dapat dipercaya.
Kondisi-kondisi ini terjadi sepanjang tahap perkembangan era digital, baik ketika komunikasi digital masih dalam tahap awal maupun selama ledakan digital. Pada periode ini, misinformasi telah signifikan mempengaruhi kehidupan publik.
Pada sebagian periode, negara turut berperan dalam penyebaran misinformasi—menambah kontribusi dari kelompok-kelompok dengan kepentingan politik atau agama.
Contoh nyata disinformasi oleh negara terjadi pada awal 1960-an selama transisi Orde Lama ke Orde Baru. Kampanye nasional yang disponsori negara menyalahkan “Gerakan 30 September 1965” atas kematian tujuh jenderal militer, yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi.
Kampanye ini menyebabkan pembunuhan sekitar 500 ribu hingga 1 juta anggota, simpatisan, dan kelompok yang diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) hampir di seluruh Indonesia.
Pihak berwenang menyebarkan informasi yang salah, dan media memperbesar masalah ini. Pers ditekan oleh negara, dan kepentingan kelompok agama, militer, dan politik yang merajai media.
Dampak dari informasi yang salah ini terasa bahkan setelah berakhirnya Orde Baru pada 1998, dan masih berlanjut hingga saat ini meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Di era digital, ketika media daring seperti media sosial, blog, platform, dan pesan instan mencapai jumlah pengguna yang besar secara global, misinformasi ikut berkembang. Kelompok tertentu di Indonesia mendorong disinformasi dengan mengeksploitasi potensi dari ekonomi digital.
Sejak 2000-an media sosial menjadi tempat berbagi informasi dan sumber informasi alternatif. Publik memperoleh informasi lebih cepat daripada otoritas memproduksi informasi. Karena warga biasa dapat memproduksi dan mendistribusi informasi, ekosistem pun kian kompleks.
Banyak pihak berpendapat mudahnya penyebaran disinformasi—umumnya dikenal sebagai “hoax” atau “hoaks” dalam Bahasa Indonesia—disebabkan oleh rendahnya tingkat literasi digital masyarakat dan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi informasi yang salah.
Pada saat yang sama penetrasi internet dan kepemilikan smartphone terus meningkat, dan media massa justru kehilangan kepercayaan publik dan tidak lagi menjadi rujukan untuk informasi.
Situasi ini mendorong inisiatif berbagai pihak melakukan gerakan literasi untuk melawan hoaks, termasuk pendidikan tentang identifikasi hoaks dan pemeriksaan fakta bagi akademisi, jurnalis, dan media.
Salah satu yang populer adalah jaringan Cek Fakta, mencakup Live Fact-Check untuk Debat Pemilihan Presiden 2019. Para fact-checker dari MAFINDO dan 24 media dalam konsorsium Cek Fakta, akademisi dan mahasiswa, serta ahli dari beberapa organisasi masyarakat sipil ikut terlibat.
Selain berbagi tugas untuk mengidentifikasi pernyataan yang dapat diverifikasi, mencari sumber informasi atau data yang akurat, dan menyusun hasil verifikasi secara tertulis, jejaring juga menerbitkannya bersama.
Misalnya, CNNIndonesia.com membuat halaman khusus untuk menerbitkan hasil verifikasi mereka. Kompas.com membuat saluran khusus untuk Fact Check Pemilihan 2019 dengan upaya serupa oleh Liputan6.com, Merdeka.com, dan media lainnya.
Kerja-kerja jejaring ini bukan tanpa tantangan. Setelah menggelar Live Fact-Check selama debat calon presiden 2019, situs Cekfakta.com diretas aktor jahat. Peretas mengubah halaman utama situs web Cekfakta.com untuk menampilkan video YouTube tentang hantu.
Jurnalis dan pemeriksa fakta non-jurnalis juga mengalami serangan digital dan ancaman dari pihak yang tidak nyaman dengan pengungkapan fakta yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Serangan ini termasuk doxxing, yaitu publikasi data pribadi seperti alamat rumah.
Kesehatan mental pemeriksa fakta juga menjadi perhatian. Tim pemeriksa fakta di media cenderung memiliki sedikit anggota karena butuh keterampilan khusus dalam memverifikasi, terutama konten-konten digital. Tim kecil ini seringkali harus menghadapi gambar atau video yang menimbulkan trauma saat memeriksa keasliannya.
Tantangan lain adalah hasil pemeriksaan fakta lebih kecil kemungkinan menjadi viral dibandingkan dengan hoaks yang diurainya. Materi hoaks lebih menarik minat karena isu dan sensasionalitas dibandingkan pendekatan yang dingin dan seimbang dari pemeriksaan fakta.
Rekomendasi untuk upaya cek fakta
Fact-checking sangat penting dalam membela demokrasi dengan memerangi mis/disinformasi, mendorong melek media, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap media.
Semua pihak, termasuk media, jurnalis, serikat pekerja, pendidik, penggalang dana, donor, dan fact-checker, memiliki peran penting dalam upaya ini.
Kolaborasi pemeriksaan fakta antara organisasi media dan non-media, termasuk kelompok universitas, perlu terus ditingkatkan. Media memiliki keterbatasan sumber daya manusia karena tetap memproduksi produk jurnalistik lainnya, termasuk laporan berita mendalam dan investigasi.
Kerja sama antara media dan universitas di masa depan akan lebih efektif jika didukung oleh fakultas informatika. Para ahli dapat memberikan dukungan dalam aspek teknologi digital, seperti meningkatkan jumlah tampilan artikel fact-check, sistem keamanan situs web, dan aplikasi kecerdasan buatan pendukung fact-checking.
Selain itu, universitas dapat bertindak sebagai unit penelitian dan pengembangan untuk merumuskan dan menguji aplikasi sebelum digunakan oleh media. Perguruan tinggi juga dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk bekerja sama dalam memperkuat gerakan fact-checking.
Pihak pendidikan tinggi pun diharapkan semakin memahami perkembangan di bidang media dan tantangan yang dihadapi dalam memproduksi informasi yang andal dan akurat untuk masyarakat, termasuk melakukan fact-checking, dari konten hingga teknologi.
Bagi para pemeriksa fakta, perlu langkah-langkah khusus untuk memastikan kesehatan fisik dan mental mereka. Media membutuhkan prosedur operasi standar untuk melindungi fact-checker dari serangan digital.
Mereka juga perlu dipantau secara teratur, untuk membatasi tekanan dari paparan berulang pada gambar traumatik dan mengambil tindakan jika terdapat tanda bahwa fact-checker membutuhkan dukungan.
Selain itu, platform media sosial harus mendukung outlet media atau komunitas fact-checking untuk memastikan bahwa konten hasil pemeriksaan fakta terdistribusi secara memadai di situs web atau platform media sosial.
Berkontribusi pada kelompok fact-checking saja tidak cukup untuk memenuhi kewajiban dalam kekacauan informasi saat ini. Platform media sosial perlu pro-aktif di sisi teknologi sehingga hasil pemeriksaan fakta dapat menjangkau publik secara maksimal.
Serikat jurnalis harus mengeksplorasi dan memperluas upaya untuk mendukung dan mewakili “hak untuk menerbitkan” hasil pemeriksaan fakta serta mengekspresikan solidaritas dengan menerima partisipasi mereka sebagai pekerja media.
Penggalang dana dan donor harus terus mendukung inisiatif fact-checking dengan mendukung pelatihan, program awal, dan program keberlanjutan mereka. Sementara, inisiatif pemeriksaan fakta harus mempertimbangkan model pendanaan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang.
*Photo by Bermix Studio on Unsplash