Riset terbaru Reuters Digital News Report menemukan penurunan tipis pada responden yang bersedia berlangganan media digital di Indonesia.
Laporan tahunan ini mengungkapkan konsumsi berita digital berdasarkan survei YouGov terhadap lebih dari 93.000 konsumen berita daring di 46 pasar (negara) yang mencakup separuh populasi dunia.
Menurut Reuters Digital News Report 2022 kurang dari sepertiga responden Indonesia menilai media independen dari pengaruh politik atau pemerintah (28 persen), maupun dari bisnis atau komersial (29 persen).
Dinilai punya reputasi baik sejak reformasi, tingkat kepercayaan terhadap berita secara umum stagnan dibandingkan dengan laporan tahun lalu.
Terlepas dari pandangan positif untuk media independen, beberapa tahun terakhir terlihat gangguan pada kebebasan berekspresi di ruang digital.
Ancaman UU ITE belum mereda. Meskipun Dewan Pers seharusnya mengadili semua perselisihan media, pihak berwenang terus membawa tuduhan pencemaran nama baik ke pengadilan.
Pada bulan November, Muhammad Asrul, seorang reporter situs Berita.news untuk kasus dugaan korupsi di Sulawesi Selatan, dihukum dengan pasal pencemaran nama baik dan dipenjara tiga bulan.
Hal lain yang mengkhawatirkan kelompok masyarakat sipil adalah peraturan yang diam-diam diperkenalkan pada akhir November 2020 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Beleid itu memberi otoritas pemerintah untuk mendapatkan akses ke data pengguna, dan memaksa platform menyediakan pemberitahuan menyeluruh hingga perintah penghapusan.
Menurut organisasi hak asasi manusia internasional, peraturan tersebut “memperkenalkan hukuman yang berlebihan untuk ketidakpatuhan, dari denda hingga penghentian layanan sepenuhnya di Indonesia”.
Media berbayar diminati 1/6 responden
Tahun 2021 digambarkan sebagai periode yang suram bagi media, ditambah pandemi Covid-19 yang mempengaruhi perekonomian. Media semakin menderita terutama lantaran hilangnya pendapatan dari iklan.
Surat kabar Suara Pembaruan menghentikan edisi cetaknya pada Februari 2021. Publikasi cetak lainnya, seperti majalah Tempo, surat kabar Kompas, dan The Jakarta Post, telah memperkuat paywall dan bereksperimen dengan model keanggotaan, menawarkan buletin harian kepada pelanggan.
Namun, model baru ini belum menjanjijkan. Sistem paywall atau berita berbayar pada laporan Reuters 2021 dipandang menarik oleh 19 persen responden Indonesia. Profilnya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, dan pada kisaran usia 25-34 tahun.
Pada laporan tahun ini, minatnya malah menurun tipis jadi 18 persen. Profilnya pun berubah, lebih banyak laki-laki. Meski begitu kisaran usianya lebih lebar, dari 18 hingga 34 tahun.
Adapun rerata dalam survei Reuters ini, hanya mencapai 16 persen—kurang lebih seperenam responden. Profilnya lebih banyak laki-laki, dan pada kisaran usia 18-34 tahun.
Norwegia kembali memimpin dengan 41 persen responden yang tertarik berlangganan, diikuti oleh Swedia (33 persen), Finlandia (19 persen), dan Amerika Serikat (19 persen). Di papan bawah, ada Inggris Raya (9 persen), Jepang (10 persen), dan Prancis (11 persen).
Di Australia (18 persen) dan Jerman (14 persen) menunjukkan peningkatan terbesar tahun ini sebesar lima poin persen. Sebaliknya, di Norwegia dan AS menunjukkan sedikit penurunan—termasuk di Indonesia.
Catatan lainnya, minat berlangganan yang relatif tinggi di beberapa negara, sebagian besar masuk ke sebagian kecil media papan atas saja. Sebagian lagi dipengaruhi kondisi perekonomian, dan persaingan dengan layanan pengaliran untuk konten hiburan (serial TV atau film).
Media sosial dan disinformasi
Data Reuters menunjukkan TikTok digunakan oleh hampir setengah (45 persen) reponden berusia 18–24 tahun. Media sosial menjadi kanal distribusi berita, seperti juga surel dan aplikasi perpesanan (46 persen).
Media online dan media sosial masih menjadi sumber berita paling populer di Indonesia. Panggung terpopuler adalah WhatsApp, disusul YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, lalu Tiktok.
Kepopuleran media sosial sebagai sumber berita, mengarahkan perhatian pada perannya dalam menyebarkan disinformasi, propaganda politik, hoax, dan ujaran kebencian. Pandemi turut menyuburkan disinformasi.
Diakui pula bahwa banyak politisi serta partai menggunakan akun otomatis dan pemberi komentar berbayar—dikenal sebagai “buzzer“—untuk mempromosikan kepentingan mereka.
Merespons kekhawatiran penyebaran disinformasi di media sosial, kehadiran Mafindo (Komunitas Anti Hoax Indonesia), sebuah LSM multi-stakeholder dengan lebih dari 15.000 anggota, menjadi penting.
Bersama dengan Cek Fakta, organisasi kolaboratif yang bergerak di bidang pengecekan fakta, Mafindo menawarkan kepada warga cara untuk menghentikan penyebaran disinformasi di media sosial.
Jangkauan media (sepekan)
Televisi, masih mendominasi lansekap media non-internet. Dalam daftar 10 besar televisi, radio, dan media cetak, sembilan di antaranya adalah televisi, menyisakan satu media cetak (Tempo) di urutan buncit.
Di ranah online, Detikcom masih memimpin, disusul Kompas, CNN Indonesia, dan Tribunnews. Versi daring televisi, seperti TVONe News dan Metro TV News pun sukses menjangkau khalayak.
Di sisi lain, Reuters Digital News Report 2022 ini mencatat 35 persen responden Indonesia menghindari berita, dengan berbagai alasan.
Secara umum, proporsi konsumen yang mengatakan menghindari berita, sering atau kadang-kadang, telah meningkat tajam di sejumlah negara.
Jenis penghindaran selektif ini telah berlipat ganda baik Brasil (54 persen) dan Inggris (46 persen) selama lima tahun terakhir. Banyak responden mengatakan berita memiliki efek negatif pada suasana hati mereka.
Proporsi signifikan dari responden lebih muda dan kurang berpendidikan. Mereka menghindari berita karena sulit untuk mengikuti atau memahami—menyarankan media menyederhanakan bahasa dan menjelaskan dengan lebih baik, atau mengontekstualisasikan cerita yang kompleks.
Sumber utama mencari berita
Media online dan sosial tetap menjadi sumber berita paling populer di Indonesia dengan sampel yang lebih urban, tetapi TV dan radio tetap penting bagi jutaan orang yang tidak online.
Situs media sosial seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna di Indonesia, dengan 68 persen orang Indonesia melaporkan mendapatkan berita dari platform sosial – meningkat 4 poin persen dibandingkan tahun lalu.
Sebagian besar orang Indonesia (83 persen) melaporkan menggunakan ponsel cerdas mereka untuk mendapatkan berita, dan penggunaan laptop untuk tujuan ini telah menurun sebesar 8 poin.
Kepercayaan pada media
Secara keseluruhan, tingkat kepercayaan di 21 wilayah lebih rendah dari 46 wilayah yang disurvei; 18 wilayah pada level yang sama, dengan hanya tujuh wilayah yang menunjukkan perbaikan.
Tingkat kepercayaan rata-rata di seluruh wilayah juga sedikit lebih rendah (42 persen) dari tahun lalu. Finlandia mencatat tingkat kepercayaan tertinggi (69 persen), sedangkan AS dan Slovakia ada di "dasar klasemen" (26 persen).
Di Indonesia capaiannya 39 persen atau masih sama dengan tahun lalu. Saat ditanya kepercayaannya terhadap media yang biasa dibaca, angkanya mencapai 41 persen.
CNN Indonesia mendapat kepercayaan paling tinggi, diikuti Kompas. Meski TVOne menempati peringkat atas sebagai merek berita terpopuler, tidak dipercaya oleh sebagian besar responden (16 persen).
Menurut Reuters, ini kemungkinan terkait gaya pelaporannya yang cenderung sensasional.
*Photo by cottonbro
Survei APJII kemarin juga menyodorkan temuannya pengakses media berita lebih sedikit daripada media sosial
Mungkin karena di medsos lebih banyak “teh yang tumpah” :))