Oversharing kadang terasa menyenangkan, tetapi bisa mengundang konsekuensi. Apa batas kebebasan agar tak kebablasan?
Warganet Indonesia doyan berbagi apa saja. Karakteristik seperti ini lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tak suka berbagi sama sekali.
Dalam riset Ipsos (2013) sebanyak 15 persen responden mengaku berbagi apa saja di media sosial. Mereka yang berbagi hal-hal penting 35 persen.
Warganet Indonesia yang mengaku suka berbagi beberapa hal mencapai 45 persen, dan hanya 5 persen yang mengaku tak berbagi sama sekali.
Proporsi ini berbanding terbalik dengan perilaku berbagi (sharing) pada masyarakat dunia: 6 persen berbagi semua hal, 18 persen seputar hal-hal penting, 57 persen berbagi beberapa hal, dan 19 persen tidak berbagi.
Apakah yang doyan berbagi apa saja ini bisa dikategorikan oversharing? Bisa jadi, karena oversharing adalah perilaku berbagi secara berlebihan di media sosial. Apa saja jadi bahan postingan, termasuk yang harusnya privat.
Perilaku ini bisa dikategorikan sindrom. Bisa jadi tabir asap untuk masalah psikologis yang serius, seperti gangguan kecemasan dan gangguan kepribadian lainnya.
Jika Anda secara kompulsif berbagi secara berlebihan dan sulit menghentikannya, lalu merasa malu sesudahnya, saatnya untuk menganggap oversharing secara lebih serius.
Siklus saling berbagi detail informasi yang sifatnya privat ini dalam kondisi tertentu tak dapat ditolerir, karena mengundang risiko. Apalagi dilakukan di ranah terbuka—seperti di media sosial.
Apa sebenarnya oversharing
Menurut Associate Professor of Psychology di Macquarie University, Australia, Simon Boag, fenomena oversharing diasumsikan pelakunya sebagai respons terhadap cerita (curhat) orang lain.
“Anda memberi tahu saya banyak sekali tentang diri Anda, serta semua orang yang Anda kenal, dan saya pun berusaha melakukan hal yang sama,” kira-kira demikian kata dia.
Pada umumnya oversharing berbahaya karena ada data pribadi yang disebarkan. Misalnya alamat rumah, nomor rekening bank, detail hubungan dengan pacar atau kerabat, dan informasi lain sejenis.
Publik yang ikut menyimak bisa merasa tak nyaman, aktor jahat yang mengincar bisa girang karena tak perlu kerja keras untuk menguntit.
Kamus Oxford Advanced Learner’s (2015) menjabarkannya sebagai “terlalu banyak berbagi informasi daripada yang ingin didengarkan orang tentang kehidupan pribadi seseorang.”
Fenemona ini di satu sisi dianggap lazim karena ada orang yang senang bicara, dan kebiasaan itu terbawa ke media sosial. Di sisi lain ada yang pendiam di dunia nyata tapi rajin ngoceh di media sosial.
Makalah Hanif Akhtar di jurnal Psikologika (2020), menyimpulkan motif oversharing antara lain menjaga relasi sosial dengan orang lain, melakukan presentasi diri, serta hiburan dan pembelajaran.
Perilaku inipun tak eksklusif pada generasi “pribumi” di ranah digital. Sebuah studi menemukan bahwa risiko oversharing dalam percakapan—atau blak-blakan pada audiens yang tidak tepat—meningkat seiring usia.
Dalam kasus tertentu, ada yang berbagi terlalu banyak karena marah atau kesal, dan ingin mendapat dukungan. Oversharing menjadi alat untuk mendapatkan perhatian.
Rasa aman yang dirasakan ketika seseorang mengutarakan opini atau sikapnya di media sosial menjadi penyebab terstimulasinya dopamin dalam otak, lalu timbul sensasi nikmat.
Kenikmatan setelah berbagi di ruang terbuka seperti media sosial, sayangnya bisa melanggar hukum yang membatasi ungkapan tertentu.
Menghadapi oversharing, publik bisa merespons dengan TMI alias “too much information“, frasa yang mengingatkan agar seseorang tidak berbagi informasi secara berlebihan.
Berlebihan, tapi apa batasnya?
Bila mengumbar data pribadi mengundang risiko, oversharing juga bisa melanggar hukum saat menerabas prinsip dalam pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi.
Masih ingat kasus Florence Sihombing? Ia berurusan dengan hukum lantaran diadukan atas tulisannya di media sosial Path yang dianggap menghina rakyat dan Kota Yogyakarta.
Flo dan motornya tak dilayani di SPBU lantaran antre di jalur mobil. Ia menumpahkan kekesalan di Path yang tertutup, tapi jadi ramai lantaran tersebar di jejaring/media sosial lain.
Flo mungkin oversharing, tapi tak seharusnya divonis bersalah secara hukum. Permintaan maaf secara terbuka rasanya sudah cukup.
Di satu sisi, opini Flo adalah sebuah bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi hukum. Lagi pula, ia tak menghina orang per orang tertentu—tak memenuhi unsur dalam hukum soal penghinaan.
Tapi yang kontra menilai pernyataannya membuat banyak orang tersinggung. Pertimbangan JPU yang memberatkan adalah “penghinaan melalui Path menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat”.
Betul, ada sekelompok masyarakat yang akan tersinggung dengan pernyataan Flo. Hal itu sangat mungkin terjadi. Tetapi tersinggung atau sakit hati, belum tentu bisa diperkarakan.
Unsur “perbuatan tidak menyenangkan” yang sering kali dijadikan alasan tidak lagi berlaku dalam KUHP. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan tidak ada lagi “pasal perbuatan tidak menyenangkan” sejak 2013.
Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena memberi peluang kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum terutama bagi pihak yang dilaporkan.
Di sisi lain, meski negara menjamin kebebasan berekspresi warganya, tak semua ekspresi bisa diterima—apalagi secara terbuka (lewat media sosial).
Sebagai hak asasi, ia ada batasnya. Kovenan Internasional atas Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjelaskan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Kebebasan itu tak boleh mengadvokasi kebencian berupa hasutan atau provokasi untuk mendiskriminasi, mengajak permusuhan atau melakukan aksi kekerasan (Pasal 19 dan Pasal 20 ICCPR).
Kebebasan itu “hanya dapat dilakukan sesuai aturan hukum dan harus: (a) menghormati hak atau reputasi orang lain; (b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat”.
Oversharing, bila terkategori ujaran kebencian yang menganjurkan kekerasan, akan berurusan dengan penegak hukum.
Ujaran kebencian dan ujaran berbahaya
Ekspresi penuh kebencian bisa mengarahkan oversharing menjadi hate speech, yang bisa terjangkau hukum. Meski, ujaran kebencian ini juga konsep yang problematik.
Sebuah proyek berjudul “Dangerous Speech Project” membedakan hate speech dengan dangerous speech untuk memperjelas kedudukan hukumnya.
Ujaran kebencian disebut ofensif, menyakitkan, dan bahkan mengancam, tetapi hal itu tidak selalu mengilhami kekerasan oleh mereka yang terpapar. Karenanya, belum tentu melanggar hukum.
Di sisi lainnya, dangerous speech atau ujaran berbahaya tidak selalu penuh kebencian, alih-alih menanamkan rasa takut, yang bisa sama kuatnya dengan kebencian, tetapi mengilhami aksi kekerasan.
Jadi kedua kategori tersebut tumpang tindih sebagian. Kuncinya adalah potensi terhadap terjadinya kekerasan, atau tindak pidana lain.
Ciri lainnya adalah: Pada umumnya ujaran kebencian merugikan orang lain secara langsung; melukai perasaan, harga diri, atau martabat orang yang terpapar pesan tersebut.
Sebaliknya dangerous speech menimbulkan banyak kerusakan secara tidak langsung, dengan menakut-nakuti sekelompok orang, menanamkan kebencian—dan akhirnya menganjurkan kekerasan terhadap kelompok lain.
Ujaran kebencian juga dapat merugikan secara tidak langsung, dengan membujuk sekelompok orang untuk membenci kelompok lain—di sinilah kategorinya tumpang tindih.
Maka, melek media penting untuk mengingatkan tentang apa yang dapat dan harus dihindari saat menyebarkan konten di media sosial.
Oversharing yang lazimnya terjadi di luar kontrol, sebisa mungkin harus dihindari. Ada hal yang tak perlu dibagikan kepada publik, cukup dibicarakan dalam ruang terbatas.
Saat emosi memuncak baiknya jauhi internet, khususnya media sosial, karena bila ekspresinya keterlaluan bisa menjurus pada ujaran berbahaya yang melanggar hukum.
Bila berbagi berlebihan bagian dari kecemasan, BPD (borderline personality disorder), atau trauma masa kanak-kanak, sangat disarankan untuk mendatangi konselor atau terapis.
*Photo by Andrea Piacquadio