Sensor di internet tidak lebih baik dari melek media. Sensor, khususnya di internet, mengandalkan mesin yang butuh sumber daya sangat besar tetapi dengan hasil tak seberapa.
Sejak awal kehadiran radio, televisi, dan film hingga lahirnya World Wide Web saat ini, media telah menjadi daya tarik bagi generasi muda. Namun orang tua, pendidik, dan para aktivis selalu gelisah tentang pesan media yang menerpa kalangan anak-anak dan remaja.
Budaya populer dituding mengagungkan kekerasan, seks yang tidak bertanggung jawab, junk food, obat-obatan terlarang, dan alkohol. Dapat pula memperkuat stereotip tentang ras, jenis kelamin, orientasi seksual, dan kelas. Meresepkan gaya hidup yang ambisius, dan obsesi berlebihan pada produk.
Gagasan sensor terhadap konten pun sudah lama menyertainya. Sejak awal lahirnya televisi, misalnya, bukan hanya sensor yang diusulkan; bahkan penolakan sama sekali atas kehadirannya di ruang keluarga.
Kementerian Kominfo RI telah mengoperasikan mesin sensor konten negatif di internet sejak Januari 2018. Mesin yang diberi nama Trust+, menapis konten negatif secara lebih cepat dibandingkan sistem manual.
Namun, sejak awal pun sensor yang merupakan upaya pemblokiran terhadap akses, menuai respons negatif karena seharusnya tak dilakukan sembarangan. Butuh dasar hukum yang kuat untuk menerapkannya.
Pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, juga Pasal 28 J UUD 1945, penempatan pembatasan haruslah dibuat dan diatur dengan Undang-Undang. Sementara, UU ITE yang jadi rujukan terlalu luas dan tidak spesifik mengatur tentang sensor.
Sementara luasnya kewenangan pembatasan yang dimiliki Trust+ berpotensi melanggar berbagai hak yang masuk dalam kategori kebebasan atas akses informasi. Kasus pun tidak sedikit, ada yang salah blokir, dan lain-lain.
Pemerintah melalui Kemkominfo selalu mengatakan bahwa selama ini tidak memblokir situs atau melakukan surveilans, namun menggunakan wewenangnya untuk meminta operator memblokir situs yang melanggar aturan.
Mesin Trust+ fungsinya hanya melacak konten negatif berdasarkan kata kunci yang ditetapkan, sedangkan pemblokiran adalah proses lain, tidak dikendalikan secara langsung di sistem ini. Begitu katanya.
Sensor dipilih meski tak efektif dan efisien
Selain dari sisi hukum, biayanya pun dipertanyakan. Dari nilai pagu paket mesin sensor internet yang mencapai Rp211 miliar pada 2017, PT Inti memenangkan lelangnya dengan harga penawaran Rp198 miliar.
Dengan biaya sebesar itu, Kemkominfo menargetkan 30 juta konten pornografi dan 50 persen konten negatif di internet bisa langsung diblokir setelah mesin beroperasi.
Tahun lalu, Kementerian Kominfo berencana memasang mesin lagi khusus untuk blokir judi online dan meminta DPR mengucurkan anggaran Rp1 triliun. Belum tahu bagaimana kelanjutan ide ini.
Maraknya judi online dianggap telah meresahkan karena sulit diberantas. Bahkan pengelola situs judi online tak kalah pintar dari negara. Situs-situsnya diblokir, mereka menyusup ke domain yang dikelola pemerintah.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sempat merilis 291 situs web pemerintahan diretas oleh mafia judi online. Masih banyak ditemukan situs resmi, baik itu go.id maupun ac.id (domain akademi), yang disusupi situs-situs judi.
Pemblokiran situs-situs dengan memakai domain go.id, memaksa pemerintah tak memblokir seluruh sistem di domain tersebut, karena akan berimbas pada seluruh layanan pemerintah pada domian yang sama.
Memang, ada banyak alasan pembuat kebijakan memilih untuk memblokir akses ke beberapa konten, selain perjudian daring. Misalnya karena kekayaan intelektual, perlindungan anak, bahkan keamanan nasional.
Di luar dari isu-isu yang berkaitan dengan pornografi anak, hanya sedikit konsensus internasional tentang kriteria konten yang perlu diblokir sesuai perspektif kebijakan publik.
Ini karena kriterianya cenderung karet, sulit didefinisikan, ruang lingkup terlalu luas dan sumir, sehingga sering salah sasaran. Misalnya soal pornografi, rumusannya dalam UU Pornografi dinilai masih bersifat karet dan
lentur, memungkinkan praktik multitafsir.
Kelemahan sistem pemblokiran, baik dari sisi rumusan maupun sisi teknis, sudah lama tercium oleh parapihak. Komunitas Internet Society, pada 2017, salah satunya, pernah menerbitkan penelitian tentang pemblokiran di internet. Kesimpulannya, tidak efektif dan efisien.
Berdasarkan analisis teknis, penggunaan pemblokiran internet untuk mengatasi konten atau aktivitas ilegal umumnya tidak efisien, sering kali tidak efektif, dan umumnya menyebabkan kerusakan atau gangguan yang tidak diinginkan pada penggunaan internet.
Mereka mengulas sejumlah metode pemblokiran, mulai dari pemblokiran alamat IP dan protokol lainnya, pemblokiran dengan metode Deep Packet Inspection, pemblokiran melalui URL atau tautan, pemblokiran melalui basis platform (khususnya mesin pencari), dan pemblokiran melalui DNS.
Mengapa melek media lebih baik
Pemblokiran yang dilakukan di internet, pun relatif mudah diatasi. Cukup bertanya ke mesin pencari seperti Google, lewat kata kunci “cara menembus blokir”, bisa menghasilkan lebih dari 600 ribu jawaban.
Kecuali benar-benar mematikan koneksi internet, memblokir satu, dua, atau seribu domain akan melahirkan jumlah solusi yang kurang lebih sama banyaknya. Misalnya lewat VPN, server DNS yang tak menapis tautan, dan lain-lain.
Sensor juga malah menciptakan tabu yang membuat materi terlarang menjadi “lebih menarik”. Anak-anak muda yang ingin tahu akan menentang larangan – mencari jalan tikus demi membuka akses ke konten terlarang tersebut.
Memang, kadang-kadang menyensor akses seperti mengirim pesan moral tentang ketidaksetujuan daripada benar-benar mencegah mereka membaca atau melihat segala sesuatu yang mungkin dianggap tidak pantas.
Tetapi bila ide dasarnya adalah untuk menolak nilai-nilai buruk, dan menanamkan nilai-nilai yang baik, lebih penting lagi demi mengajari anak-anak bagaimana membuat penilaian untuk diri mereka sendiri, maka ada cara lain yang lebih baik.
Cara yang yang lebih efektif daripada sensor untuk melakukannya adalah pendidikan melek media. Melek media tidak sekadar mengajarkan bagaimana pesan media dibuat dan mengapa berbeda dari kenyataan, tetapi juga menunjukkan kepada mereka bagaimana menganalisis pesan-pesan itu.
Melek media memberdayakan kaum muda, tidak hanya untuk memahami dan mengevaluasi ide-ide yang ditemukan dalam budaya populer, tetapi “menjadi kontributor positif bagi masyarakat”, menantang sinisme dan apatisme, dan membantu mereka menjadi agen perubahan sosial.
Apa pun bentuk penyensoran yang dipilih, hal ini tidak mungkin dapat dicapai. Pendidikan dalam melek media bukan sekadar alternatif penyensoran. Melek media jauh lebih baik daripada menyensor, karena meningkatkan pertumbuhan intelektual kaum muda menjadi orang dewasa yang kritis. Alih-alih membatasinya.
Oh tapi kan kita sudah punya gerakan atau program menegakkan melek media? Betul. Siberkreasi adalah salah satu program kerja Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) untuk mengajak masyarakat lebih melek digital agar menggunakan media sosial untuk hal-hal yang produktif.
Kemenkominfo menggelontorkan anggaran untuk operasional Siberkreasi sebesar Rp9,1 miliar dalam satu tahun.
Maka silakan berhitung. Dengan anggaran membeli mesin penapis sebesar Rp211 miliar, Siberkreasi bisa hidup selama 23 tahun. Atau setidaknya selama 10 tahun bila anggarannya kita lipatgandakan per tahunnya.
So what gitu lho?
Sebuah laporan berjudul Media Literacy: An Alternative To Censorship, pernah ditulis pada 2002 dan sempat direvisi setahun setelahnya. Penulisnya Marjorie Heins dan Christina Cho dari Free Expression Policy Project.
Meski ditujukan untuk Kongres Amerika Serikat, namun rekomendasinya saat itu layak ditengok ulang.
Rekomendasi pertamanya, menyatakan bahwa meski banyak gambaran dan gagasan yang buruk dalam budaya populer, efek aktual dari media massa sangat kompleks dan sulit untuk diprediksi.
Oleh karena itu harus dibuat pernyataan yang jelas tentang tujuan nasional untuk mempromosikan melek media sebagai bagian penting dari pendidikan dasar.
Melek media harus lebih diprioritaskan daripada penyensoran sebagai sarana untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat tentang pengaruh budaya populer pada kaum muda.
Pemerintah harus membuat pedoman untuk pendidikan melek media yang mengakui bahwa pemikiran kritis adalah tujuannya, dan bahwa literasi media atau melek media lebih dari sekadar “inokulasi” terhadap konten kekerasan, seksual, atau konten kontroversial lainnya dalam dunia seni dan hiburan.
Komitmen nasional terhadap pendidikan melek media harus didukung dengan pendanaan yang memadai melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta lembaga nirlaba. Dengan catatan, dana tidak boleh diterima dari perusahaan yang menghasilkan keuntungan dengan memproduksi konten media.
Pendidikan melek media harus diintegrasikan ke dalam kurikulum seni bahasa, IPS, seni rupa, kesehatan, dan teknologi informasi. Pelatihan guru sangat penting agar pendidikan melek media efektif, dan harus didukung melalui seminar dan lokakarya, dan dimasukkan dalam program sekolah sarjana dan pascasarjana.
*Photo by KEHN HERMANO from Pexels