Skandal Cambridge Analytica berawal dari bocornya aksi “pencurian” data 50 juta pengguna Facebook. Facebook dituding tahu soal ini namun memilih bungkam.
Cambridge Analytica (CA), perusahaan analisis data berbasis di Inggris pernah membantu kampanye Donald Trump. Investigasi The New York Times bersama The Observer of London mengangkat keganjilan peran CA dalam pemanfaatan data pribadi pengguna Facebook.
CA diduga memanfaatkan data pribadi pengguna secara ilegal saat membantu Donald Trump menduduki kursi Presiden Amerika Serikat pada 2016. CA merupakan anak perusahaan asal Inggris bernama SCL Group, penyedia data analisis bagi pemerintahan dan organisasi militer di dunia.
Data dimaksud berupa profil kepribadian warga Amerika Serikat, yang dibangun berdasarkan penelitian akademisi asal Universitas Cambridge, Inggris, Aleksandr Kogan (32). Situs MIT Technology Review menemukan jejak risetnya pada 2014 di platform bernama Amazon Mechanical Turk (MTurk). Platform ini digunakan untuk “survei”, tetapi pengguna harus login menggunakan akun Facebook.
Login ke sebuah aplikasi atau platform di internet menggunakan akun media sosial, adalah hal yang lazim. Tak dinyana, hasil anotasi mirip survei kepribadian biasa itu dapat disandingkan dengan data perilaku si pengguna yang tersimpan di Facebook.
Analisis terhadap data-data inilah yang dianggap sebagai “pencurian” data pengguna, digunakan untuk memprofilkan karakter dan kepribadian mereka. Pengguna secara tidak sadar memberi akses kepada peneliti untuk mengakses data mereka di Facebook.
Saat kasus mencuat, Facebook sudah mengeluarkan pernyataan resmi yang berisi bantahan keterlibatan mereka. Mark Zuckerberg juga buka suara. Melalui sebuah status yang diunggah akunnya, Rabu (21/3/2018), Zuckerberg mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini.
“Kami punya kewajiban untuk melindungi data Anda, jika kami tak bisa maka kami tidak layak melayani Anda,” bunyi petikan unggahan itu.
Dirinya mengaku telah membuat kesalahan dan berjanji akan lebih berhati-hati dengan membatasi akses aplikasi pihak ketiga pada profil pengguna, seperti foto maupun alamat e-mail.
“Kabar baiknya, kami telah mengambil tindakan penting untuk mencegah hal ini terulang lagi,” tukasnya.
Bagaimana data bisa “bocor”
Pada laporan investigasi The New York Times bersama The Observer of London terungkap, awal mula kekisruhan ini adalah eksperimen CA untuk memetakan kepribadian pengguna media sosial.
CA mendapatkan suntikan dana senilai US $15 juta dari seorang pendonor kaya raya Partai Republik, Robert Mercer (2014). Dana tersebut memberi ruang bagi CA untuk bereksperimen.
Christopher Wylie (21), salah satu perancang konsep CA yang bersaksi di media–termasuk The New York Times, Observer, dan The Guardian–membawa konsep pemetaan kepribadian calon pemilih ke perusahaan itu.
Wylie menemukan konsep itu di sebuah tulisan ilmiah dari Universitas Cambridge, Inggris, oleh Michal Kosinski dan David Stillwell. Dua orang barusan bereksperimen dengan pemetaan kepribadian–salah satunya lewat profil pengguna Facebook.
Dikisahkan The Guardian, negosiasi Wylie dengan Kosinski gagal untuk mengakuisisi hasil penelitian tersebut. Saat itulah, peneliti lain dari Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan, muncul. Ia menjanjikan data yang sama dengan milik Kosinski.
Perusahaan induk Cambridge Analytica (SCL) pun berbisnis dengan Kogan lewat perusahaan miliknya, Global Science Research (GSR). Kogan-lah yang menjaring data pribadi lebih dari “50 juta” fesbuker. Wylie mengklaim punya bukti kerja sama SCL dengan GSR.
Kogan membuat survei kepribadian berbayar bagi respondennya lewat MTurk. Namun, ada “jebakan” di balik survei itu. Responden diminta memberi akses terhadap data profil Facebook mereka. Gabungan analisis data-data inilah yang dijual Kogan ke CA lewat GSR.
Facebook sempat memblokir aplikasi survei Kogan atas laporan pengguna, tetapi blokir dicabut karena Kogan beralasan ini adalah survei demi kepentingan akademik.
Facebook maupun Cambridge Analytica yang jadi sasaran menyusul meruaknya skandal ini, menyeret nama Kogan sebagai kambing hitam. Peneliti dari Universitas Cambridge itu yang dituding mencuri data pribadi.
Kepada CNN (20/3/2018) Kogan bilang “merasa menjadi kambing hitam”. Ia memang mengaku mengumpulkan informasi dari 30 juta warga AS (ia membantah angka 50 juta yang muncul dalam pemberitaan) melalui salah satu fitur Facebook.
Namun, Kogan berkukuh tak melanggar aturan Facebook mengenai penggunaan data pribadi. Menurutnya, ribuan pengembang aplikasi dan ahli data menggunakan metode yang sama dengannya. Begitu pikirannya saat itu, setelah diyakinkan staf CA, Christopher Wylie.
Pada dasarnya Kogan meminta pengguna login pada aplikasi survei di MTurk menggunakan akun Facebook. Jejaring sosial terbesar di dunia ini memang mengizinkan pengembang aplikasi untuk memanfaatkan fitur tersebut, dengan sejumlah syarat.
Metode ini rupanya mengundang risiko bagi pengguna. Menurut Facebook dalam rilis resminya, Kogan memindahtangankan data pengguna Facebook yang dikuasainya kepada pihak ketiga, dalam hal ini Cambridge Analytica.
Saat mengendus aksi ini pada 2015, Facebook sempat meminta kepada Kogan dan pihak terkait, untuk menghapus data-data dimaksud. Masih menurut Facebook, parapihak memenuhi permintaan tersebut.
Perusahaan besutan Mark Zuckerberg inipun mengaku terkejut saat mengetahui bahwa “sebagian data itu ternyata belum dihapus.” Facebook merasa telah dikhianati.
Dalam wawancaranya bersama CNN, Kogan justru menuding Facebook membisniskan data pribadi pengguna. “Memanfaatkan data pengguna untuk mencari untung adalah model bisnis mereka,” ujar dia.
Kogan yang merasa terpojok, tak hanya menyerang Facebook. Kogan juga mengaku tak tahu-menahu bila data yang dijualnya ke CA telah digunakan untuk menarget khalayak untuk kampanye Trump.
Dalam kesempatan lain ia juga menampik klaim akurasi data CA yang sukses mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih. Cambridge Analytica percaya mereka sukses memenangkan Trump berkat penargetan iklan kampanye yang spesifik untuk warga AS.
“Akurasi data itu terlalu dilebih-lebihkan,” cetusnya. “Pada praktiknya, dalam hemat saya, kemungkinan salah menebak kepribadian seseorang itu bisa enam kali lebih besar daripada tebakan benarnya,” imbuhnya yang dikutip The Verge.
CA dan Facebook bertanggung jawab
Dalam sebuah presentasi, Alexander Nix, CEO Cambridge Analytica, memamerkan iklan dukungan terhadap hak kepemilikan senjata di AS. Tema kampanye yang rajin diusung Trump di Pilpres AS 2016.
Perusahaan analis data ini mengaku menggabungkan berbagai sumber data sebagai dasar analisisnya. Menggunakan algoritme komputer, CA memprediksi kepribadian pemilih, sehingga dapat dipengaruhi melalui serangkaian pesan kampanye yang didesain khusus.
Lewat laporan media Inggris Channel 4 yang ditayangkan Selasa (20/3/2018) lalu, Nix terekam sedang menggambarkan cara-cara tak senonoh dalam beroperasi. Tak lama setelah itu, ia pun dinonaktifkan dari posisi CEO.
“Komentar Nix tidak merefleksikan nilai atau cara perusahaan ini beroperasi, dan penangguhan jabatannya adalah bukti keseriusan perusahaan dalam memandang persoalan ini,” demikian pernyataan Cambridge Analytica yang dikutip Reuters.
Merekapun membantah semua tudingan, dan menyatakan telah menghapus data yang dipersoalkan setelah menyadari adanya pelanggaran aturan perlindungan data.
Seorang kontributor Forbes, Kalev Leetaru, menduga kasus pencurian data ini bukan sepenuhnya kesalahan Cambridge Analytica. Persoalan dasarnya justru terletak pada sistem keamanan privasi yang dimiliki Facebook.
Pihak-pihak seperti Cambridge Analytica bisa dengan mudah menyalin data pengguna melalui kuis-kuis yang beredar di Facebook, bahkan lewat tes-tes kepribadian di luar Facebook.
“Tes-tes semacam itu tercatat sebagai aplikasi yang paling populer di antara pengguna. Padahal tanpa pengguna sadari, tes-tes semacam itu merekam semua hal pribadi langsung dari penggunanya itu sendiri,” sebut Kalev.
Pada Oktober 2015, sebanyak 7,5 juta pengguna Facebook tercatat mengikuti tes semacam ini. Ini adalah tes yang dilakukan Kosinski dan Stillwell, dan memang dilakukan demi kepentingan akademik.
Beragam kasus kebocoran data yang dialami Facebook belakangan ini membuat divisi yang membawahi keamanan data pengguna di perusahaan ini terguncang. Alex Stamos, Chief Security Officer (CSO) Facebook, dikabarkan mengundurkan diri per akhir tahun ini.
Selain itu, mengutip The Verge, nyaris 120 pegawai Facebook sudah dialihtugaskan ke bagian produk dan infrastruktur, diduga untuk mendukung perbaikan keamanan di jaringan sosial itu.
*Photo by Thought Catalog