Digital literacy atau literasi digital adalah kompetensi baru tuntutan abad-21. Saking banyaknya pandangan tentang literasi baru ini, bahkan UNICEF belum “selesai” mendefinisikannya.
Pada praktiknya media sosial telanjur kebanjiran tulisan status atau kiriman (posting) seolah siapapun bisa melakukannya. Warganet yang melek media, yang diharapkan mampu memahami hingga memproduksi media, langsung dihadapkan dengan tuntutan untuk memproduksi.
Contohnya terlihat jelas bila menilik tugas-tugas anak sekolah. Guru memberi penugasan anak untuk membuat sesuatu, misalnya video atau bahan presentasi, tanpa diajari bagaimana langkahnya.
Ketika anak di bawah umur sudah diperkenalkan dengan media di internet, ia belum memiliki kemampuan bersosialisasi selengkap orang dewasa. Ia belum tahu apa yang pantas dan tak pantas dipublikasikan secara daring. Dia juga belum bisa menghadapi debat, atau bagaimana bereaksi terhadap komentar yang tak layak.
Memperkenalkan media sosial kepada anak, sama dengan menuntutnya berpikir tingkat tinggi yang belum sesuai dengan tumbuh kembangnya. Perlu banyak penyesuaian, termasuk memodifikasi atau membuat media sosial yang lebih ramah anak. Paling tidak, anak-anak diperkenankan berinteraksi dengan anak lain yang kurang lebih seusia, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Begitu pula pada warga di pelosok yang sebelumnya terisolasi. Meski mereka adalah orang dewasa, membuka akses terhadap dunia digital seperti membuka kotak pandora. Bila tidak dibekali dengan kompetensi yang layak, mereka bisa tersesat, seperti orang kota yang dilepas di hutan belantara; tak tahu caranya bertahan hidup.
Loncatan ini muncul karena untuk memproduksi media di era internet seolah perkara sepele. Banyak peranti lunak gratis bisa dipakai. Lalu, isi tulisan atau konten tersebut bermasalah. Banyak sudah kasus seperti ini yang berakhir tragis.
Bahwa program-program literasi digital kini kian digalakkan pemerintah, belum cukup menjangkau pengguna, dan calon pengguna internet, yang tersebar di segala penjuru. Perluasan akses terhadap internet, harusnya berjalan beriringan dengan pendidikan literasi digital bagi warga.
Membangun literasi digital masyarakat, bisa dimulai dengan memperkenalkan fitur-fitur atau platform aplikasi yang ada di internet. Lompatan kompetensi teknologi yang “memaksa” seseorang melakukan sesuatu di luar kemampuannya, menimbulkan kegagapan.
Termasuk ketika mereka dipaksa “mencipta” sebelum waktunya. Ingat, terminologi media 2.0 yang melekat pada media sosial, mengindikasikan ada sesuatu yang baru dan mutakhir. Dalam hal ini, kemampuan mencipta.
Ranah belajar a la Taksonomi Bloom
UNICEF telah menyinggung penggunaan klasifikasi pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang memungkinkan anak-anak berkembang di dunia baru, dunia yang makin digital. Anak-anak diharapkan dapat berkembang secara aman dan berdaya sesuai usia dan latar belakang budaya masing-masing.
Dalam gagasan tersebut muncul kategorisasi pengetahuan, keterampilan dan perilaku, tiga ranah yang selaras dengan tiga ranah belajar untuk tujuan pendidikan versi Benjamin S. Bloom, populer dengan sebutan Taksonomi Bloom atau Ranah Belajar versi Bloom.
Kenapa menengok Taksonomi Bloom? Bicara tentang pembelajaran, taksonomi ini sudah digunakan di dunia pendidikan hampir di seluruh dunia. Kendati bukan satu-satunya teori yang berlaku, rumusan dalam taksonomi ini terbukti membantu banyak pendidik dalam merancang kegiatan belajar.
Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Bloom pada 1956, dalam bukunya Taxonomy of Educational Objectives, yang terbagi dalam tiga buku untuk masing-masing ranah belajar; kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sesuai judulnya, Bloom merancang semacam panduan dalam membuat tujuan pembelajaran yang logis, sehingga memudahkan guru atau pendidik untuk menerapkannya.
Pada 2001, Anderson, Krathwohl, dkk., merevisi ranah kognitif dalam buku “A Taxonomy for Learning and Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives”.
Pengetahuan/Kognitif
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir (memecahkan masalah kompleks). Pengetahuan yang disebut “lengkap” atau “luas”, disesuaikan dengan konteks atau kebutuhannya.
Tidak setiap pengetahuan dibutuhkan secara utuh, cukup bagian tertentu yang berkaitan saja. Misalnya, untuk mengendarai sepeda, tidak perlu tahu sejarah terciptanya sepeda, cukup pengetahuan umum tentang cara merawat sepeda. Setiap pengetahuan relevan dengan kebutuhannya.
Di ranah ini kemampuan berpikir diranking, merujuk pada tingkatan kemampuan berpikir menurut taksonomi yang dikembangkan Bloom. Dalam revisi Anderson, Krathwohl, dkk., jumlah tingkatannya tetap dipertahankan, tetapi ada perubahan posisi pada beberapa kemampuan berpikir.
Sikap/Afektif
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Arti kata sikap secara umum dapat diterjemahkan sebagai “tendensi mental” atau “kecenderungan mental” untuk diaktualkan dalam kecenderungan afektif, baik ke arah yang lebih positif atau negatif.
Jika dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sikap, kecenderungan afektif biasa diekspresikan dalam bentuk suka – tidak suka, setuju – tidak setuju, mencintai – membenci, menyukai – tidak menyukai, dan sebagainya.
“Sikap” dapat dikategorikan menjadi sikap yang: kurang disadari (psikomotorik); lebih mendasarkan kepada kenyataan obyektif (transaksional); lebih berpedoman pada nilai-nilai hidup (transformatif).
Keterampilan Fisik/Psikomotorik
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Ranah psikomotor termasuk di dalamnya adalah keterampilan fisik, baik fisik berupa otot, maupun koordinasi kompleks antara otak dengan otot. Perkembangan psikomotor memerlukan latihan yang terus-menerus dan harus selalu terukur, misalnya dalam ukuran kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur, atau teknik yang tepat dalam melakukan sesuatu.
Taksonomi Kognitif Pembelajaran Digital
Taksonomi ini bisa diaplikasikan ke dalam ranah digital. Dunia digital yang digadang roh pendidikan di abad-21, pembelajarannya bisa ditaksonomikan. Ini menjadi dasar untuk menyusun pembelajaran literasi digital bagi anak maupun orang dewasa.
Taksonomi yang diadopsi dari Bloom, terpopuler di ranah kognitif. Dalam taksonomi ini, Bloom mengurutkan kemampuan kognitif tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Lebih tinggi, karena lebih kompleks dan menuntut penguasaan lebih banyak kemampuan lain. Tengok tabel yang dikembangkan edorigami.wikispaces.com ini:
Sesuai dengan aslinya, kemampuan paling rendah dari ranah kognitif di taksonomi Bloom yang telah direvisi ini, disebut (1) Remembering, atau Mengingat. Ini adalah kemampuan mengingat informasi yang relevan dari long-term memory, ketika informasi tersebut dibutuhkan.
Berikutnya adalah (2) Understanding (Memahami), adalah kemampuan mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang disampaikan, dalam berbagai bentuk, termasuk oral, tertulis, atau dalam bentuk rupa. Kemudian (3) Applying (Mengaplikasikan) terkait dengan kemampuan melaksanakan prosedur dalam situasi tertentu.
Kemudian (4) Analyzing (Menganalisa), yaitu kemampuan mengurai konsep menurut unsur pembentuknya, dan menentukan bagaimana unsur itu terhubung satu sama lain, dan terintegrasi menjadi satu kesatuan. (5) Evaluate (Mengevaluasi) adalah kemampuan membuat penilaian (judgement) berdasarkan kriteria atau standar tertentu.
Tingkat terakhir adalah (6) Creating (Mencipta), adalah kemampuan merangkai atau mengorganisir berbagai unsur menjadi satu kesatuan yang koheren dan memiliki fungsi yang jelas.
Meski tidak tercantum dalam literatur aslinya, banyak ahli mengkategorisasi kemampuan di tingkat 1-3 sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking Skills – LOTS), sedangkan kemampuan nomor 4-6 termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skills – HOTS).
Tingkatan ini menyiratkan, proses pembelajaran harus diarahkan mulai dari penguasaan kemampuan tingkat rendah, menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Tanpa menguasai kemampuan tingkat rendah, kemampuan berpikir tingkat tinggi sulit bisa dicapai.
Mengelola pembelajaran literasi digital
Berdasarkan ilustrasi di atas, tampak bahwa setiap kemampuan kognitif dibutuhkan di dunia digital. Misalnya membuat video dengan HP lalu diupload di YouTube, atau ke Instagram. Tapi sadarkah kita bahwa kemampuan mencipta berada di tingkat tertinggi taksonomi Bloom?
Sebelum mencipta dengan baik, banyak hal harus dikuasai sehingga proses penciptaan itu menghasilkan produk yang baik pula. Bila tidak, kita akan memanen “sampah” di dunia digital.
Bayangkan ketika produksi video kini bisa dilakukan lewat perangkat bergerak, yang dapat diakses oleh anak-anak. Tak heran jika kemudian banyak konten digital di internet yang tak sesuai etika, atau melanggar hak cipta, karena pemahaman yang tak lengkap tentang bagaimana berkarya di era digital ini.
Lalu bagaimana seharusnya mempelajari setiap kemampuan ini? Haruskah diurutkan dari tingkat terendah ke yang paling tinggi?
Taksonomi ini sedianya dibuat untuk para pendidik dalam mengembangkan tujuan pembelajaran. Jika ingin mengajarkan anak-anak tentang kemampuan literasi digital, taksonomi ini bisa membantu. Misalnya, bagaimana mengajarkan anak menulis blog?
Menulis blog, kalau kita kaitkan dengan kemampuan di atas, membutuhkan kemampuan berpikir tertinggi, Mencipta. Maka guru atau siapapun pengajarnya, harus memilah kemampuan apa saja yang harus dikuasai si anak, sebelum ia benar-benar dapat menulis dengan baik.
Kemampuan ini bisa kita urai menjadi beberapa kemampuan mendasar, misalnya bagaimana menilai tulisan/literatur dari internet yang kredibel dan tidak kredibel sebagai referensi. Ini adalah kemampuan Mengevaluasi.
Untuk bisa menilai, maka si anak harus memiliki kemampuan Menganalisis sebuah sumber, apakah memiliki ciri-ciri sumber yang kredibel, atau tidak.
Menguasai cara menulis dengan baik, merupakan kemampuan Mengaplikasikan prosedur menulis. Untuk bisa mempraktikkan prosedur menulis, maka ia harus Memahami betul apa saja prosedur yang harus ditempuh. Masih banyak lagi aspek lain yang harus diperhatikan.
Maka, proses pembelajaran dalam menulis blog, tidak sekedar berhadapan dengan papan ketik dan layar, lalu mengetikkan sesuatu, atau menyalin-tempel (copy paste) tulisan lain dari internet. Ini adalah kemampuan yang kompleks.